LEWAT tengah
malam, Kamis, 28 November 2013, saya masih bertekun dengan sejumlah dokumen
ketika disambangi BBM dari seorang kawan di Kotamobagu. Yang tiba adalah tautan
facebook seseorang bernama Samsul
Bahri Gonibala (http://www.facebook.com/samsul.bahri.gonibala/notes#!/notes/samsul-bahri-gonibala/penjilat-berdasi-itu-bernama-katamsi/684584574899651).
Saya tidak punya account
facebook dan tidak pernah berniat
memiliki. Atas jasa baik kawan yang kerap bertukar canda itu, yang juga masih
terjaga padahal hari sudah uzur menjelang fajar, saya lengkap mendapatkan
curahan hati Samsul Bahri Gonibala. Isinya, di luar insinuasi saya adalah
penjilat berdasi, tak beda dengan yang ditulis Ketua HMI Bolmong Raya, Eko
Satrio Paputungan. Bikin tulisan saja harus saling contek? Cuma beginikah hasil
pengkaderan yang dilakukan untuk aktivis-aktivis di Bolmong?
Belum reda ketercengangan saya, tautan tulisan Supriadi Dadu
di Kompasiana.Com (http://m.kompasiana.com/post/read/614548/2/seharusnya-katamsi-menuliskan-gerombolan-itu-bernama-satpol-pp-part-1)
masuk menyusul BBM sebelumnya. Setelah menyimak beberapa alinea, saya
menghentikan membaca. Capek sungguh mengikuti kalimat-kalimat yang berkelindang
tak karuan, bercerdas-cerdas padahal yang menulis barangkali turut pula pening
bila kembali membaca apa yang dia tulis.
Sepengetahuan saya, kalau tak salah, selain aktivis HMI,
Supriadi Dadu adalah wartawan di salah satu situs berita Sulut. Amatlah
mengecewakan bila kualitas tulisan seorang wartawan (HMI pula) jauh kelas
dibanding esai putra kedua saya yang baru berusia 12 tahun, yang salah satu
tulisannya terpilih dibukukan di kumpulan tulisan-tulisan terbaik pelajar Primary School se Australia.
Mengingat substansi yang disampaikan dua pengguna media
sosial itu sejalan dengan Ketua HMI Bolmong Raya, apapun yang mereka tulis saya
aminkan saja. Dicaci tanpa alasan jelas, terutama oleh orang-orang yang sakit
hati ketahuan belangnya, telah lama saya mahfumi. Lagipula telah berulang kali
diingatkan, orang-orang yang berpikiran pendek, yang langitnya hanya
sepelemparan batu, mohon jangan membaca Kronik
Mongondow? Blog ini hanya
ditujukan pada mereka yang menyediakan diri berpikir tinggi dan terbuka. Yang
otaknya cupet dan punya keberatan,
tidak perlu lebih mempertontonkan kedunguan. Lapor ke pihak berwenang dan mari
kita uji mana loyang, mana yang bukan.
Kalau pun saya menanggapi dua orang itu, yang tampaknya
menganggap HMI adalah lembaga suci dan kader-kadernya luar biasa lurus
dunia-akhirat, sebab ada bagian tulisan mereka yang terang-terangan membuktikan
jahat, licik, dan manipulatifnya segelintir orang yang membanggakan diri
sebagai aktivis organisasi mahasiswa, ber-label
Islam pula. Padahal aktivis dengan kelakuan seperti ini pasti akan berakhir sebagai
bajingan, sama dengan sederet kader HMI yang kini menghuni jeruji besi atau
berstatus tersangka KPK karena menggarong duit negara.
Pembaca, setelah mengunggah Gerombolan Itu Bernama HMI Bolmong Raya, tiba-tiba sejumlah orang
meng-add PIN BB saya. Saya tak pernah
menolak dan memilih-milih tawaran perkawanan, karenanya seluruh ‘’orang baru’’
yang tidak saya kenal sebelumnya itu di-accept.
Salah satunya Abdi Firmansyah Sutomo, SE. Walau demikian, mengikuti insting
alamiah, saya mewaspadai kawan-kawan dadakan ini, apalagi kemudian percakapan
yang dipertukarkan memancing-mancing dan menggiring saya ke isu-isunya
tertentu.
Ai, bocah-bocah bau kencur, sepertiga rambut di kepala saya
sudah memutih. Warna ini bukan hasil kreativitas salon. Saya sudah cukup
berumur dan berjalan jauh untuk tahu pertemanan mana yang sincere dan mana yang disertai niat-niat tak baik. Maka umpan itu
pun dilemparkan, yang dengan segera dilahap konspirator amatir itu,
dipertukarkan di antara aktivis HMI Bolmong Raya, dimanipulasi oleh Samsul
Bahri Gonibala dan Supriadi Dadu, lalu disebarkan di tulisan yang mereka unggah
di facebook dan Kompasiana.Com.
Pikatan itu saya sodor di bual-bual BBM dengan Abdi
Firmansyah Sutomo, SE, bahwa pada dasarnya saya juga HMI. Kalau ukuran menjadi
HMI adalah mengikuti LK, saya tercatat sebagai pesertanya ketika HMI Manado
bersekretariat di Gedung Serimpi. Bukan hanya itu, di beberapa angkatan LK I
saya diminta turut memberikan training
(khususnya tulis-menulis), yang satu ketika bahkan ‘’nyaris celaka’’ karena
disodori materi NIK.
Sepotong-dua info itulah yang saya kisik ke Abdi Firmansyah
Sutomo, SE, yang menyambar dengan tawaran, ‘’... kapan-kapan bisa kasih kajian
tentang NIK....’’ Respons saya adalah,
‘’Kalau mau jangan kita, sekalian saja Nadia Madjid, Fami Fachrudin, atau Geisz
Chalifah, supaya kelas berat punya.’’ Saya masih menyimpan percakapan BBM
pribadi ini, yang disebar-sebarkan oleh Abdi Firmasyah Sutomo ke sesamanya, dan
kemudian dipelintir Samsul Bahri Gonibala sebagai penolakan untuk bertemu
dengan HMI Bolmong Raya. Pelintiran (dan kebohongan yang sama) juga dilaku
Supriadi Dadu yang menuduh saya mengaku-ngaku sebagai kader HMI.
Mengetahui dua manipulasi itu, saya mengirim BBM ke Abdi
Firmansyah Sutomo, SE, bahwa (sekali pun sudah mencium niat buruknya sejak
awal) saya kecewa dengan cara jahat, licik, dan tak beretika yang dia lakukan. Mengapa
percakapan antara dua orang yang sama-sama mewakili diri sendiri, bukan atas
nama organisasi, tiba-tiba menjadi ‘’tantangan’’ HMI Bolmong Raya ke saya, yang
tidak berani saya ladeni? Sepotong info bahwa pada dasarnya ‘’saya juga HMI’’ kok mendadak dituduh sebagai
mengaku-aku?
Mari saya tanyakan pada tiga orang itu: Sejak kapan HMI
secara resmi, atas nama organisasi, meminta saya hadir sekadar berbual-bual,
saling ludah, atau duduk sebagai sesama manusia beradab yang memahami apa itu
intelek dan barbar? Pula, kapan dan di mana saya secara terbuka mengaku-ngaku
sebagai alumni HMI? Saya tidak pernah menyelesaikan pendidikan PT di Indonesia
dan malu mengaku ‘’alumni’’; dan kini lebih malu lagi ‘’alumni HMI’’ melihat
laku dan pola aktivisnya, khususnya di Bolmong Raya.
Yang berbahaya bagi negeri ini bukanlah orang-orang tidak
berpendidikan atau mereka yang dengan sinis disebut oleh Samsul Bahri Gonibala
sebagai ‘’hanya lulusan SMA’’, melainkan jahanam yang jahat sejak dalam
pikiran. Terlebih pikiran itu dimuati ideologi dan kecakapan tertentu sebagai
pembenar. Itukah yang kalian pelajari dari NDP di LK-LK yang dilakukan HMI masa
kini?
Tidak salah kawan yang mengirim tautan tulisan Samsul Bahri
Gonibala dan Supardi Dadu berkomentar, ‘’Bae
kita anak Mami, bukang HMI.’’ Memang, untuk apa jadi kader HMI kalau
substansi paling dasar, Islam, yang dibangga-banggakan organisasi ini hanya
sekadar cap sebab kelakuan aktivis-aktivisnya justru jauh lebih buruk dari para
pengusung atheism.
Begini saja, kumpulkan seluruh aktivis dan alumni HMI
Bolmong Raya dan kita duduk buka-bukaan dan saling tunjung jago. Gatal betul
saya menunjukkan pada Ketua HMI Bolmong Raya dan aktivis-aktivis yang dia
pimpin, bahwa kini mereka sedang kuyup ludah ‘’ide harus sesuai dengan
realitas’’. Apa ide Anda tentang kemaslahatan hidup orang banyak sesuai NDP dan
panduan luhur HMI? Bagaimana realitasnya kini?
Tak perlu jauh-jauh, jejerkan mantan pengurus dan
kader-kader HMI yang kini berserak di media massa di Sulut. Yang akan Anda-Anda
lihat adalah tukang peras, kriminal, yang sudah lama mengencingi
keluhuran-keluhuran yang pernah mereka pelajari dan khimati di organisasi ini.
Menyebut nama mereka pun saya tidak jerih; apalagi cuma menempeleng bocah-bocah
yang sedang gegar merasa penting dan pintar, memaki-maki tak karuan, semata
karena ‘’apa daya pengetahuan tak memadai''.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; LK: Latihan Kader; NDP: Nilai Dasar Perjuangan; NIK: Nilai Identitas Kader; PIN: Personal Identification Number; PT: Perguruan Tinggi; dan Sulut: Sulawesi Utara.
BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; LK: Latihan Kader; NDP: Nilai Dasar Perjuangan; NIK: Nilai Identitas Kader; PIN: Personal Identification Number; PT: Perguruan Tinggi; dan Sulut: Sulawesi Utara.