Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, December 3, 2013

Gundah-Gulana Pengkhotbah Pencerahan

KRITIK pedas (dan celaan) saya terhadap aksi sejumlah aktivis HMI Bolmong Raya rupanya bagai mengusik sarang tawon. Reaksi yang berdatangan tak hanya dari wilayah Mongondow, melainkan meluas hingga ke aktivis dan mantan aktivis HMI dari beberapa daerah.

Seorang mantan Ketua Kohati meng-SMS setelah mengetahui ada tulisan di Kronik Mongondow dari pertukaran kabar yang lalu lalang di media sosial. ‘’Saya membaca dan langsung nyesek. Kejam betul kritiknya, tetapi bener juga sih.’’

Komentar yang kurang lebih sama dikirimkan Endi Biaro, mantan aktivis HMI Cabang Manado yang bertahun-tahun pernah reriungan dengan saya. Namun saya tidak akan mengutipkan pernyataannya. Endi, sebagaimana beberapa kawan yang mengakrabi saya di era pikuk kemahasiswaan akhir 1980-an hingga paruh 1990-an, terlampau bias hubungan personal. Mengutip Endi bisa-bisa mengesankan saya sungguh tengil, makang puji, dan narsis.

Dari catatan saya, baik SMS, BBM, dan email yang saya terima, tak banyak yang mendebat fakta-fakta yang dibeber di tiga tulisan tentang aksi dan laku aktivis HMI Bolmong Raya di isu demo menggeruduk Rudis Walikota. Bahwa umumnya hanya menyoroti dan menyayangkan pilihan kata dan kalimat yang digunakan, yang dianggap dingin, kejam, dan brutal; komentar saya pendek saja: ‘’Supaya hati tenang dan tidur nyenyak, jangan baca tulisan-tulisan saya.’’

Lagipula, setelah mengunggah ‘’Bae Kita Anak Mami, Bukang HMI’’, saya mencukupkan saja isu aksi aktivis HMI Bolmong Raya itu. Kalau ada hal baik yang dianggap dapat dipetik sebagai pelajaran, silahkan direnungkan. Bila ternyata hanya menimbulkan amarah dan sentimen, cari cermin dan berkaca. Masak Anda-Anda boleh berbuat sesuka hati lalu saya tidak boleh berkomentar, mengkritik, dan mencela, padahal aksi itu dilakukan di ruang publik (dan private) dengan membawa-bawa pula kepentingan orang banyak?

Keinginan mencukupkan sorotan terhadap para aktivis HMI Bolmong Raya itu yang membuat saya mengabaikan beberapa tulisan yang mengkritik unggahan di Kronik Mongondow, termasuk yang dipublikasi Lintasbmr.Com. Bagi yang menulis, dengan ini dikonformasi: Saya sudah membaca tulisan Anda dan tidak akan mengomentari, terlebih mengulas secara khusus. Kecuali Anda masih tergolong remaja puber aktivitas yang butuh perhatian supaya hati adem-tenteram.

Tetapi tampaknya ada saja aktivis atau mantan aktivis HMI yang lebih suka menyodorkan cermin ke saya ketimbangan digunakan mematut diri dan laku sendiri serta organisasi yang dia bela. Tulisan Surat Terbuka untuk Kanda Katamsi (1) dari Alumni HMI, Hamzah Sidiq, di Lintasbmr.Com (http://lintasbmr.com/surat-terbuka-untuk-kanda-katamsi-1/) adalah contoh termuktahir. Saya jadi serba salah. Direspons nanti cap jelek yang dilekatkan makin kental. Tidak direspons, bisa-bisa saya dituding menyepelekan alumni HMI.

Demi respek itu, sebelum bagian dua (mungkin pula tiga dan seterusnya) dari tulisan itu dipublikasi, saya memaksakan diri bersigegas menulis tinjauan terhadap aspirasi Hamzah Sidiq. Pertama, di bagian manakah dari tiga unggahan saya di blog ini yang tidak memiliki landasan fakta? Sebagai alumni HMI dan praktisi hukum (tentu bergelar akademik hukum pula) saya yakin Anda memahami bahwa kritik (pula celaan) yang benar tidak didasarkan pada asumsi.

Keyakinan Anda bahwa aksi HMI Bolmong Raya sudah mengantongi izin, termasuk menggeruduk Rudis Walikota, adalah asumsi yang tidak bertanggungjawab. Sudahkan Anda mengecek faktanya?

Dua, kata dan kalimat di tulisan saya memang kejam dan brutal. Baiklah, bagaimana dengan ‘’anjing-anjing’’ yang digunakan Ketua HMI Bolmong Raya terhadap Satpol PP. Anda mentoleransi bahasa yang lebih buruk ditakar dari adab mana pun, tetapi sangat terganggu dengan pilihan kata dan kalimat saya yang derajat hinaannya masih lebih rendah, bahkan tergolong ada di wilayah abu-abu (apakah hinaan atau justru fakta yang disajikan blak-blakkan)? Logika apa yang Anda gunakan?

Tiga, sejak awal isi Kronik Mongondow sepenuhnya sesuka hati dan mood saya. Tidak ada anjuran dan paksaan pada sesiapa pun agar mengunjungi dan membaca blog ini. Bahwa isinya, dalam persepsi Hamzah Sidiq, kental dengan kesan kesombongan, amarah, antagonis, unknown and under estimate, dan diliputi ‘’kontroversi hati’’ ala Vicky Prasetyo, tidak akan saya debat. Saya hanya ingin bertanya: Memang ada pelanggaran apa bila saya mengekspresikan kesombongan, amarah, antagonis, unknown and under estimate, dan ‘’kontroversi hati’’? Saya toh tak bisa pula melarang Anda agar tak gundah-gulana, risau, dan resah; kecuali (sekali lagi) menyarankan jangan pernah membaca blog ini.

Jangan pula mengharapkan ada wisdom yang disesap dari yang saya tuliskan. Anda butuh wisdom, bacalah Al Qur’an, Khotbah Jumat, atau buku-buku how to, jangan Kronik Mongondow.

Keempat, saudara Hamzah Sidiq, dari mana Anda menyimpulkan tulisan-tulisan saya justru merendahkan Mongondow sendiri? Apakah saya pernah memproklamasikan diri sebagai wakil Mongondow, baik di blog ini atau di tulisan-tulisan saya di mana pun itu dipublikasi? Janganlah Anda yang tak cukup mampu memahami dan tersesat, lalu orang lain yang dipersalahkan, terlebih dengan membawa-bawa Mongondow dalam konteks warga yang menghuni empat kabupaten dan satu kota di Bolmong Raya.

Sejalan dengan itu, saya kira terlampau tunjung pande Anda mengulas perspektif sosial-budaya Mongondow, yang seolah-olah sekadar hantu yang saya jadikan tunggangan untuk mengkritik (dan mencela) aksi aktivis HMI Bolmong Raya. Seberapa banyak sih pengetahuan Anda terhadap budaya, adat, tradisi, dan praktek sosial di Mongondow? Saya bahkan mendadak meragukan pengetahuan hukum Anda. Saya ingatkan: Menggeruduk Rudis Walikota adalah trespassing. Di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia, hukum formalnya jelas mengatur bahwa trespassing adalah pelanggaran.

HMI Bolmong Raya ingin beraksi, sepanjang itu di ruang publik (bahkan di atap Gedung DPR atau Kantor Walikota), silahkan saja. Tapi sebagai organisasi intelek, apakah demo adalah pilihan terakhir, apalagi isunya remeh-temeh belaka: Agar Walikota-Wawali KK menanda-tangani komitmen yang dijanjikan di visi-misinya dengan organisasi ini.

Kelima, saudara Hamzah Sidiq, sebagai praktisi hukum, di bagian mana tulisan saya yang dapat dijerat tindak pidana? Kalau ada, bawa ke hadapan hukum. Tidak usah bertele-tele mencari-cari alasan, mendemonstrasikan pendidikan hukum Anda, nanti malah cuma jadi sumber celaan baru. Anda keberatan karena saya menulis, misalnya, ‘’Kongres untuk memilih Ketua Umum PB tak beda dengan pertemuan para hooligan: Riuh caci-maki, rebutan palu sidang, saling lempar kursi, hunus-menghunus pisau, serta bagi-bagi duit dari kandidat dan tim suksesnya untuk membeli suara cabang-cabang’’? Anda pernah hadir dan mengikuti Kongres HMI yang dilaksanakan setidaknya dalam 10 tahun terakhir? Fakta seperti apa yang Anda saksikan?

Dan keenam, dengan tulisan yang melingkar-lingkar dan melungkar-lungkar, kandungan apa yang sesungguhnya ingin Anda sampaikan: Membela aksi demo HMI Bolmong Raya, bahwa tindakan itu 100 persen benar? Mengkritik pilihan kata dan kalimat yang saya gunakan saat mengkritik (dan mencela) aksi aktivis organisasi ini? Atau sekadar ghirah bersilat ada seseorang di luar sana, alumni HMI, yang lebih cerdas, arif-bijaksana, santun dalam tutur-bahasa, serta tercerahkan; dan karenanya pantas mengkhotbai saya (juga pembaca Lintasbmr.Com) ihwal perjuangan membela kebenaran, wisdom, sejarah pergerakan mahasiswa, budaya, adat, tradisi, dan praktek sosial di Mongondow, serta kesadaran hukum dan praktek bernegara?

Checkmate! Mohon maaf, saudara Hamzah Sidiq, posisi Anda di hadapan tiga pertanyaan itu sungguh tak menguntungkan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlakckBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; KK: Kota Kotamobagu; PP: Pamong Praja; Rudis: Rumah Dinas; Satpol: Satuan Polisi; SMS: Short Message/Pesan Pendek; dan Wawali: Wakil Walikota.