KRITIK pedas (dan
celaan) saya terhadap aksi sejumlah aktivis HMI Bolmong Raya rupanya bagai
mengusik sarang tawon. Reaksi yang berdatangan tak hanya dari wilayah
Mongondow, melainkan meluas hingga ke aktivis dan mantan aktivis HMI dari
beberapa daerah.
Seorang mantan Ketua Kohati meng-SMS setelah mengetahui ada
tulisan di Kronik Mongondow dari
pertukaran kabar yang lalu lalang di media sosial. ‘’Saya membaca dan langsung nyesek. Kejam betul kritiknya, tetapi
bener juga sih.’’
Komentar yang kurang lebih sama dikirimkan Endi Biaro,
mantan aktivis HMI Cabang Manado yang bertahun-tahun pernah reriungan dengan
saya. Namun saya tidak akan mengutipkan pernyataannya. Endi, sebagaimana
beberapa kawan yang mengakrabi saya di era pikuk kemahasiswaan akhir 1980-an
hingga paruh 1990-an, terlampau bias hubungan personal. Mengutip Endi bisa-bisa
mengesankan saya sungguh tengil, makang
puji, dan narsis.
Dari catatan saya, baik SMS, BBM, dan email yang saya
terima, tak banyak yang mendebat fakta-fakta yang dibeber di tiga tulisan
tentang aksi dan laku aktivis HMI Bolmong Raya di isu demo menggeruduk Rudis
Walikota. Bahwa umumnya hanya menyoroti dan menyayangkan pilihan kata dan
kalimat yang digunakan, yang dianggap dingin, kejam, dan brutal; komentar saya
pendek saja: ‘’Supaya hati tenang dan tidur nyenyak, jangan baca
tulisan-tulisan saya.’’
Lagipula, setelah mengunggah ‘’Bae Kita Anak Mami, Bukang HMI’’, saya mencukupkan saja isu aksi
aktivis HMI Bolmong Raya itu. Kalau ada hal baik yang dianggap dapat dipetik
sebagai pelajaran, silahkan direnungkan. Bila ternyata hanya menimbulkan amarah
dan sentimen, cari cermin dan berkaca. Masak Anda-Anda boleh berbuat sesuka
hati lalu saya tidak boleh berkomentar, mengkritik, dan mencela, padahal aksi
itu dilakukan di ruang publik (dan private)
dengan membawa-bawa pula kepentingan orang banyak?
Keinginan mencukupkan sorotan terhadap para aktivis HMI
Bolmong Raya itu yang membuat saya mengabaikan beberapa tulisan yang mengkritik
unggahan di Kronik Mongondow,
termasuk yang dipublikasi Lintasbmr.Com.
Bagi yang menulis, dengan ini dikonformasi: Saya sudah membaca tulisan Anda dan
tidak akan mengomentari, terlebih mengulas secara khusus. Kecuali Anda masih
tergolong remaja puber aktivitas yang butuh perhatian supaya hati adem-tenteram.
Tetapi tampaknya ada saja aktivis atau mantan aktivis HMI
yang lebih suka menyodorkan cermin ke saya ketimbangan digunakan mematut diri
dan laku sendiri serta organisasi yang dia bela. Tulisan Surat Terbuka untuk Kanda Katamsi (1) dari Alumni HMI, Hamzah Sidiq, di Lintasbmr.Com (http://lintasbmr.com/surat-terbuka-untuk-kanda-katamsi-1/)
adalah contoh termuktahir. Saya jadi serba salah. Direspons nanti cap jelek
yang dilekatkan makin kental. Tidak direspons, bisa-bisa saya dituding
menyepelekan alumni HMI.
Demi respek itu, sebelum bagian dua (mungkin pula tiga dan
seterusnya) dari tulisan itu dipublikasi, saya memaksakan diri bersigegas
menulis tinjauan terhadap aspirasi Hamzah Sidiq. Pertama, di bagian manakah dari tiga unggahan saya di blog ini yang tidak memiliki landasan
fakta? Sebagai alumni HMI dan praktisi hukum (tentu bergelar akademik hukum
pula) saya yakin Anda memahami bahwa kritik (pula celaan) yang benar tidak
didasarkan pada asumsi.
Keyakinan Anda bahwa aksi HMI Bolmong Raya sudah mengantongi
izin, termasuk menggeruduk Rudis Walikota, adalah asumsi yang tidak
bertanggungjawab. Sudahkan Anda mengecek faktanya?
Dua, kata dan
kalimat di tulisan saya memang kejam dan brutal. Baiklah, bagaimana dengan
‘’anjing-anjing’’ yang digunakan Ketua HMI Bolmong Raya terhadap Satpol PP. Anda
mentoleransi bahasa yang lebih buruk ditakar dari adab mana pun, tetapi sangat
terganggu dengan pilihan kata dan kalimat saya yang derajat hinaannya masih
lebih rendah, bahkan tergolong ada di wilayah abu-abu (apakah hinaan atau
justru fakta yang disajikan blak-blakkan)? Logika apa yang Anda gunakan?
Tiga, sejak awal
isi Kronik Mongondow sepenuhnya
sesuka hati dan mood saya. Tidak ada
anjuran dan paksaan pada sesiapa pun agar mengunjungi dan membaca blog ini. Bahwa isinya, dalam persepsi
Hamzah Sidiq, kental dengan kesan kesombongan, amarah, antagonis, unknown and under estimate, dan diliputi
‘’kontroversi hati’’ ala Vicky Prasetyo, tidak akan saya debat. Saya hanya
ingin bertanya: Memang ada pelanggaran apa bila saya mengekspresikan
kesombongan, amarah, antagonis, unknown
and under estimate, dan ‘’kontroversi hati’’? Saya toh tak bisa pula melarang Anda agar tak gundah-gulana, risau, dan
resah; kecuali (sekali lagi) menyarankan jangan pernah membaca blog ini.
Jangan pula mengharapkan ada wisdom yang disesap dari yang saya tuliskan. Anda butuh wisdom, bacalah Al Qur’an, Khotbah
Jumat, atau buku-buku how to, jangan Kronik Mongondow.
Keempat, saudara
Hamzah Sidiq, dari mana Anda menyimpulkan tulisan-tulisan saya justru
merendahkan Mongondow sendiri? Apakah saya pernah memproklamasikan diri sebagai
wakil Mongondow, baik di blog ini atau
di tulisan-tulisan saya di mana pun itu dipublikasi? Janganlah Anda yang tak
cukup mampu memahami dan tersesat, lalu orang lain yang dipersalahkan, terlebih
dengan membawa-bawa Mongondow dalam konteks warga yang menghuni empat kabupaten
dan satu kota di Bolmong Raya.
Sejalan dengan itu, saya kira terlampau tunjung pande Anda mengulas perspektif sosial-budaya Mongondow,
yang seolah-olah sekadar hantu yang saya jadikan tunggangan untuk mengkritik
(dan mencela) aksi aktivis HMI Bolmong Raya. Seberapa banyak sih pengetahuan Anda terhadap budaya,
adat, tradisi, dan praktek sosial di Mongondow? Saya bahkan mendadak meragukan
pengetahuan hukum Anda. Saya ingatkan: Menggeruduk Rudis Walikota adalah trespassing. Di banyak belahan dunia,
termasuk Indonesia, hukum formalnya jelas mengatur bahwa trespassing adalah pelanggaran.
HMI Bolmong Raya ingin beraksi, sepanjang itu di ruang
publik (bahkan di atap Gedung DPR atau Kantor Walikota), silahkan saja. Tapi
sebagai organisasi intelek, apakah demo adalah pilihan terakhir, apalagi isunya
remeh-temeh belaka: Agar Walikota-Wawali KK menanda-tangani komitmen yang
dijanjikan di visi-misinya dengan organisasi ini.
Kelima, saudara
Hamzah Sidiq, sebagai praktisi hukum, di bagian mana tulisan saya yang dapat
dijerat tindak pidana? Kalau ada, bawa ke hadapan hukum. Tidak usah
bertele-tele mencari-cari alasan, mendemonstrasikan pendidikan hukum Anda,
nanti malah cuma jadi sumber celaan baru. Anda keberatan karena saya menulis,
misalnya, ‘’Kongres
untuk memilih Ketua Umum PB tak beda dengan pertemuan para hooligan:
Riuh caci-maki, rebutan palu sidang, saling lempar kursi, hunus-menghunus
pisau, serta bagi-bagi duit dari kandidat dan tim suksesnya untuk membeli suara
cabang-cabang’’? Anda pernah hadir dan mengikuti Kongres HMI yang dilaksanakan
setidaknya dalam 10 tahun terakhir? Fakta seperti apa yang Anda saksikan?
Dan keenam, dengan tulisan yang
melingkar-lingkar dan melungkar-lungkar, kandungan apa yang sesungguhnya ingin
Anda sampaikan: Membela aksi demo HMI Bolmong Raya, bahwa tindakan itu 100
persen benar? Mengkritik pilihan kata dan kalimat yang saya gunakan saat
mengkritik (dan mencela) aksi aktivis organisasi ini? Atau sekadar ghirah bersilat ada seseorang
di luar sana, alumni HMI, yang lebih cerdas, arif-bijaksana, santun dalam
tutur-bahasa, serta tercerahkan; dan karenanya pantas mengkhotbai saya (juga
pembaca Lintasbmr.Com) ihwal
perjuangan membela kebenaran, wisdom,
sejarah pergerakan mahasiswa, budaya, adat, tradisi, dan praktek sosial di
Mongondow, serta kesadaran hukum dan praktek bernegara?
Checkmate! Mohon maaf, saudara Hamzah
Sidiq, posisi Anda di hadapan tiga pertanyaan itu sungguh tak menguntungkan.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BBM: BlakckBerry
Messenger; Bolmong: Bolaang
Mongondow; HMI: Himpunan Mahasiswa
Islam; KK: Kota Kotamobagu; PP: Pamong Praja; Rudis: Rumah Dinas; Satpol:
Satuan Polisi; SMS: Short
Message/Pesan Pendek; dan Wawali:
Wakil Walikota.