Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, December 24, 2013

CPNS 2013: Kisah Sedih di Akhir Tahun

HASIL seleksi calon pengawai negeri sipil (CPNS) tahun ini diumumkan Selasa, 24 Desember 2013. Saya, yang sesungguhnya tak punya sangkut-paut –kecuali karena sejumlah kerabat, teman, dan kenalan terdaftar sebagai peserta--, tak urung turut cawe-cawe mencermati yang lulus dan tidak, khususnya CPNS dari wilayah Mongondow.

Dibanding tahun-tahun sebelumnya, seleksi CPNS 2013 ini boleh dibilang cukup transparan dan fair. Sejak mula Kementerian PANRB ‘’mengkampanyekan’’ prosesnya diupayakan meminimalisir kecurangan (yang galib dituduhkan selama ini). Kementerian ini juga secara terbuka mengumumkan jenis tes serta passing grade (terjemahan yang tepat mungkin ‘’nilai kelolosan’’) yang harus dicapai para peserta, sebagaimana yang diunggah di situs Kementerian PANRB, Selasa, 5 November 2013, Pemerintah Tetapkan Passing Grade Tes CPNS (http://www.menpan.go.id/berita-terkini/1999-pemerintah-tetapkan-pasing-grade-tes-cpns).

Ada tiga jenis tes yang dihadapi para peserta, masing-masing TKP, TIU, dan TWK. Untuk peserta yang mengikuti tes dengan sistem CAT, passing grade  yang ditetapkan masing-masing TKP 60% (nilai ambang batasnya 105), TIU 50% (nilai ambang batasnya 75), dan TWK 40% (nilai ambang batasnya 70). Sedang peserta dengan sistem LJK masing-masing TKP 60% (nilai ambang batasnya 108), TIU 50% (nilai ambang batasnya 70), dan TWK 40% (nilai ambang batasnya 64). Selain tiga jenis tes itu, masih ada TKB untuk instansi, lembaga, atau insitusi yang memang membutuhkan keahlian khusus.

Hanya berdasar pada pemahaman umum TKP dan TIU, saya cenderung setuju dengan model tes yang digunakan Kementerian PANRB. Bila benar TKP mampu menguji karakteristik pribadi dan TIU mampu mendeteksi ‘’kecerdasan’’ seorang CPNS, inilah pendekatan yang relatif ideal. Bagaimana pun karakteristik seseorang memang amat menentukan performance-nya di dunia kerja. Mereka yang malas, bossy, cenderung korup dan semena-mena, serta berbakat besar jadi tukang tipu dan politicking, sebaiknya langsung dicoret sebagai CPNS. Demikian pula, ‘’kecerdasan’’ yang kerap tidak korelatif dengan ‘’kepintaran’’. Banyak orang yang di masa sekolah dan PT selalu tercatat sebagai juara kelas dan punya IP di atas 3,00, ternyata majal di dunia kerja.

Secara pribadi saya pernah harus menghadapi ujian karakteristik pribadi ketika satu ketika menjalani tes etik yang disyaratkan perusahaan tempat bekerja, terutama untuk level di atas manajer. Materi tes yang disodor menguji sejauh mana seorang profesional memahami, meresepi, dan menegakkan komitmen etis profesonalnya. Yang mengejutkan bukan karena saya lolos dengan nilai sempurna (dan menjadi satu-satunya di antara seluruh peserta), tetapi sebab begitu banyak penyandang dua-tiga gelar akademik yang bekerja lebih lama dan di posisi lebih tinggi dari saya, gagal melewati passing grade dan harus dididik kembali di pelatihan etik.

Akan halnya intelegensia umum yang diuji lewat TIU, saya kira bukanlah sejenis psikotes yang umum kita kenal. Dugaan saya, tes ini semata menakar ‘’kecerdasan normatif’’ yang minimal harus dimiliki seorang PNS. Apa sulitnya? Masak seseorang yang lulus SMA/SMK atau PT tidak cukup cerdas? Tentu sangat tidak masuk akal bila selama masa sekolahnya dia terus-menerus mencontek, serta skripsi dan ujian akhirnya hanya sulap-sulapan?

Lain halnya dengan TWK. Apa yang dimaksud dengan wawasan kebangsaan? Seorang CPNS tahu persis sejarah Indonesia masa silam; pahlawan-pahlawan di negeri ini yang gugur karena merintis dan mempertahankan kemerdekaan; atau siapa-siapa menteri di kabinet terakhir? Ataukah wawasan kebangsaan adalah bagaimana setiap anak negeri ini mencintai tanah airnya dengan hati tak tergoyahkan?

Cilakalah bila wawasan kebangsaan yang dimaksud adalah yang pertama. Ekstrimnya, CPNS-CPNS yang orang Indonesia (lebih khusus Mongondow) tulen, yang katakanlah sejak masa kanak hingga PT menempuh pendidikan di luar negeri, hampir dapat dipastikan bakal mencatat capaian di bawah 40% untuk TWK. Kementerian PANRB sedang mencari CPNS atau sarjana sejarah?

Di masa SD hingga SMA tidak masalah bagi kebanyakan kita menjawab pertanyaan: Siapa pendiri Kerajaan Majapahit? Siapa Menteri Pendidikan? Atau siapa yang mengusulkan Piagam Jakarta? Begitu di PT, apalagi untuk mereka yang mengambil studi eksakta, siapa yang repot-repot mengingat Raden Wijaya, nama menteri yang kian hari jumlahnya lebih banyak dari pasukan gerak jalan, dan piagam yang nasibnya tinggal jadi kajian sejarah? Bagi dokter, dokter gigi, sarjana teknik, atau ahli pertanian, tidak masalah dia lupa siapa tokoh bangsa; yang lebih penting dia ingat letak jantung, gigi mana yang harus dicabut, kekuatan pondasi, atau terong harus dibibitkan seperti apa.

Menguji wawasan kebangsaan seseorang, setelah dia dites dengan karakteristik pribadi dan intelegensia umum, adalah kesia-siaan yang menggelikan. Ketika dunia kian maju, globalisasi membuat negara menjadi tanpa batas, Kementerian PANRB justru mempersempit takaran kebangsaan hanya sekadar urusan memahami sejarah dan tetek-bengeknya; bukan bagaimana seseorang (CPNS pula) mencintai dan berkomitmen sekukuh granit terhadap negerinya. Bagi sejumlah orang, terutama mereka yang brilian, memilih menjadi PNS (sementara tawaran di dunia kerja pertikelir melambai-lambai menggoda) bukanlah berkah; melainkan pengorbanan karena kecintaan yang keras kepala terhadap ke-Indonesia-an.

Di Perth, Western Australia, Selasa, 17 Desember 2013, saya sempat bercakap-cakap dengan seorang anak Indonesia yang dengan gemilang menyelesaikan studi masternya di bidang yang masih amat langka, bahkan di Australia. Dia bekerja di salah satu institusi negara di Indonesia, yang sebab kecerdasannya, University of Western Australia menawari kesempatan menjadi pengajar yang otomatis memberikan kesempatan studi lanjutan dan gelar profesor.

Melihat masa depan yang terbentang di hadapannya, saya spontan mengatakan, ‘’Ambil kesempatan itu. Di Indonesia mungkin kau tidak akan pernah mendapatkan tawaran yang begitu bagus.’’ Saya terkejut ketika dia justru menjawab, ‘’Saya memang akan mengambil PhD. Tetapi saya akan kembali dan mengabdi di Indonesia. Dengan segala risikonya.’’

Hari ini, sembari mengecek kelulusan peserta tes CPNS 2013 yang saya kenal, juga membaca aneka keluh dan geram di status BBM, serta BBM dan SMS yang dikirimkan sejumlah orang dari Mongondow; saya membayangkan kegalauan yang mendera banyak orang. Peserta tes yang gagal melewati passing grade, Bupati dan Walikota yang pusing karena (konon) hanya 80% peserta tes tahun ini yang lolos (artinya banyak formasi yang gagal terisi), serta –yang tak bisa dielakkan-- sentimen anak daerah versus pendatang yang tiba-tiba diruyakkan oleh sejumlah orang.  Dan kesedihan itu pun menerjang.

Kelulusan tes CPNS 2013 di Mongondow memang patut dipertanyakan bila pesertanya gagal di TWK; tetapi tidak untuk TKP dan TIU. Bukankah selama ini kita mengharapkan ada proses yang benar-benar jujur dan adil? Dan yang terpilih menjadi CPNS , lalu PNS, adalah mereka yang layak memikul manah?

Apa yang dilakukan Kementerian PANRB tahun ini memang jauh dari sempurna, terutama TWK yang menggelikan itu. Selebihnya, saya kira, harus diterima dengan lapang dada, setidaknya seperti yang ditunjukkan Bupati Bolsel, Herson Mayulu, sebagaimana yang dipublikasi Totabuan Co,  Bupati Bolsel Menyurat ke Menpan RB, Soal Tingginya Passing Grade (http://totabuan.co/2013/12/24/bupati-bolsel-menyurat-ke-menpan-rb-soal-tingginya-passing-grade/).

Ya, hasil seleksi CPNS 2013 ini, khususnya di Mongondow, memang jadi kisah sedih di akhir tahun untuk sangat banyak pesertanya, juga kebanyakan kita yang peduli. Tapi saya hanya bersedih untuk mereka yang tak lolos karena TWK-nya rendah, tidak untuk yang TKP dan TIU-nya payah.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; CPNS: Calon Pegawai negeri Sipil; CAT: Computer Assisted Test; IP: Index Prestasi; LJK: Lembar Jawab Komputer; PANRB: Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; PNS: Pegawai Negeri Sipil; PT: Perguruan Tinggi; SD: Sekolah Dasar; SMA: Sekolah Menengah Atas; SMK: Sekolah Menengah Kejuruan; SMS: Short Message/Pasan Pendek; TIU: Tes Intelegensia Umum; TKP: Tes Karakteristik Pribadi; TWK: Tes Wawasan Kebangsaan; TKB: Tes Kompetensi Bidang; dan TWK: Tes Wawasan Kebangsaan.