Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, December 28, 2013

Skandal TPAPD Bolmong dan Tikungan di Peta Politik Mongondow

KABAR buruk kerap datang disaat yang tak tepat. Jumat, 27 Desember 2013, dengan keprihatinan mendalam, saya membaca Berkas Kasus Mantan bupati Bolmong Dinyatakan Lengkap di situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/2013/12/27/berkas-kasus-mantan-bupati-bolmong-dinyatakan-lengkap). Saya tahu, bagi mantan Bupati Bolmong, Ny Marlina Moha-Siahaan, yang sedang memanaskan lagi mesin karir politiknya, berita itu adalah mendung tebal yang tiba-tiba menggantung.

Setelah berlarut-larut, bolak-balik antara Polres Bolmong dan Kejari Kotamobagu, akhirnya berkas perkara tersangka MMS dinyatakan lengkap atau P21. Itu pun, menurut Kasi Pidsus Kejari Kotamobagu, Ivan Baramuli, prosesnya baru tahap satu. Tahap dua atau penyerahan tersangka dari penyidik di Polres Bolmong ke kejaksaan, kemungkinan berlangsung Januari 2014 mendatang. Dengan kata lain, kalau pun prosesnya tanpa kendala, tersangka mulai menjalani sidang di Pengadilan Tipikor selang dua-tiga pekan setelahnya.

Sejatinya penyalahgunaan dana TPAPD di Pemkab Bolmong adalah skandal warisan pemerintahan MMS yang semestinya mudah dan cepat diungkap. Pertama, aparat pemerintah desa yang tunjangannya raib bukan hanya mengeluh lewat bisik-bisik dan informasi tanpa nama. Mereka bahkan secara terbuka menggelar unjuk rasa mempertanyakan dan menuntut hak-haknya.

Kedua, alokasi anggaran TPAPD tercantum di APBD. Begitu anggaran dinyatakan keluar dan tidak pernah tiba di tangan mereka yang berhak, secara administratif proses pencairannya sangat gampang ditelusuri. Dari pejabat yang mengusulkan hingga penanggungjawab tertinggi.

Dan ketiga, polisi sudah menyidik, menetapkan beberapa tersangka di level pelaksana, dan melimpahkan ke kejaksaan yang kemudian membawa ke sidang Tipikor. Hasilnya, beberapa pejabat di lingkup Pemkab Bolmong telah divonis, menjalani hukuman, dan bahkan ada yang saat ini sudah merampungkan masa tahanannya.

Pertanyaannya, mengapa proses untuk tersangka di level lebih tinggi, mereka yang menjadi pengambil, penentu, dan penanggungjawab kebijakan seperti MMS dan dua lainnya yang ‘’konon’’ masih dalam proses, masing-masing FS (mantan Sekda Bolmong) dan FA (kini Sekda Bolmong), memerlukan waktu yang amat panjang? Polisi kekurangan bukti? Para tersangka (yang sudah jadi terhukum) tak mampu menunjukkan bukti keterlibatan atasan mereka karena canggihnya modus hingga bawahan memang sejak mula disiapkan jadi korban? Atau sebab aparat berwenang menyimpang kasus ini, mengeluarkan di saat yang tepat, sebagai peringatan, pembelajaran, dan contoh bagi para calon pelaku tindak pidana yang sama?

Bagaimana pun juga, status tersangka yang setiap malam terbayang-bayang tiap kali menjelang tidur, pasti membangkitkan mimpi buruk. Mengganggu percernaan, pernafasan, aliran darah, stabilitas otak dan jantung, yang hanya kuat dipikul oleh mereka yang benar-benar tidak bersalah atau yang bermental baja. Andai dalam posisi MMS dan dua tersangka lain yang ‘’kini masih dalam proses’’, sejak lama saya mendesak aparat berwenang bergegas menyelesaikan penyidikan dan pelimpahan kasusnya.

Lebih cepat mengetahui bersalah atau tidak dan menanggung hukuman, baik bagi semua pihak dan diri sendiri. Tidur bisa lebih nyenyak sembari memikirkan apa langkah selanjutnya, sebab kehidupan tidak berhenti mendadak karna empat-lima tahun dalam bui. Kecuali, karena malu dan tak kuat menahan aib, lalu mereka memilih menamatkan riwayat hidupnya dengan sukarela.

Saya tidak akan membahas konsekwensi pribadi yang dipikul orang per orang elit birokrasi dan politik (atau sudah berstatus mantan) yang tersangkut skandal TPAPD, yang proses hukumnya masih berlangsung itu. Yang lebih penting bagi warga Mongondow adalah ihwal yang langsung bersentuhan dengan kepentingan kontektualnya, khususnya politik kontemporer, yang salah satu ultimate moment-nya adalah Pemilu, April 2014 mendatang.

Tak dapat dipungkiri, lepas dari segala kelemahan dan kekeliruannya selama menduduki kursi Bupati dua periode dan Ketua PG Bolmong, MMS masihlah salah seorang tokoh yang diperhitungkan di wilayah Mongondow. Kendati tak banyak terdengar berkiprah, pengaruhnya belum surut. Terakhir, ketika Provinsi BMR sedang jadi isu utama, MMS bahkan disebut-sebut sebagai salah satu kandidat Gubernur terkuat.

Di Pemilu 2014 mendatang MMS yang comeback setelah lebih dua tahun ber-hibernasi tercatat sebagai Caleg PG untuk DPR Sulut, sedang putranya, Didi Moha, yang masih duduk sebagai anggota DPR RI dari Sulut, juga tercantum di urutan 1 Caleg PG Sulut untuk DPR RI. Tanpa kasus pidana, apalagi sangkaan korupsi, hampir dipastikan MMS bakal jadi politikus Bolmong yang melenggang mudah ke DPR Sulut; juga potensial mempengaruhi konstituen PG memilih Didi Moha –sebagaimana yang dibuktikan pada Pemilu 2009 lampau.

Kini, ketika kita menghitung mundur jelang ‘’tahun politik’’, status tersangka penyelewengan TPAPD MMS justru di P21 dan dia bakal menjalani sidang Tipikor, sementara di saat bersamaan para Caleg mestinya tengah ‘’menjual diri’’ di hadapan para pemilih. Alhasil, posisi sosial dan politik MMS (juga Didi Moha) itu bagai déjà vu yang mengingatkan saya pada apa yang dialami Syarial Damopolii di Pilwako KK 2008. Ketika itu Syarial Damopolii harus mati-matian menyiasati kampanyenya sebagai kandidat Walikota dan sangkaan tindak-pidana korupsi yang dia lakukan, yang tiba-tiba jadi isu panas.

Entah ada kaitannya dengan sangkaan korupsi atau tidak, yang jelas Syarial Damopolii akhirnya gagal terpilih sebagai Walikota KK. Akankah nasib yang sama menimpa MMS? Mungkinkah proses hukum yang dijalani MMS juga berdampak terhadap Didi Moha?

Alih-alih berspekulasi, menurut hemat saya, jawaban terhadap dua pertanyaan itu justru adalah sederet pertanyaan: Mampukah MMS menghadapi proses hukum dengan persidangan yang mungkin ketat, melelahkan, dan menuntut perhatian penuh sembari berkampanye sebagai Caleg –yang juga menuntut keseriusan 24 jam setiaphari, tujuh hari seminggu? Kalau dia mampu, bagaimana dengan kredibilitasnya di mata konstituen? Maukah warga Mongondow memilih Caleg yang sedang terjerat sangkaan Tipikor? Demikian pula, dapatkah Didi Moha berkampanye tanpa terganggu dengan kasus yang menimpa Ibunya? Mungkinkah konstituen tidak mengait-ngaitkan MMS dengan Didi Moha, baik karena hubungan kekerabatan yang sangat dekat maupun afiliasi politik yang identik?

 Apa boleh buat, tak dapat ditolak perkembangan terkini skandal TPAPD bakal mengubah peta dan bandul politik di Mongondow, bahkan Sulut. Tidak apalah bila hanya karir politik MMS yang terancam mendadak macet, tapi bagaimana dengan Didi Moha? Sementara, suka atau tidak, dia (juga petahana lain, Yasti Mokoagow) masih tetap kandidat kuat dan paling rasional sebagai wakil masyarakat Mongondow di DPR RI 2014-2019.

Saya kira, alangkah keliru bila kita menjadikan Didi Moha ‘’korban ikutan’’. Walau, tak bisa ditampik pula, ada akibat sosial dan politik yang harus turut dia pikul dari kasus hukum yang menimpa MMS.***

Istilah dan Singkatan yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; Bolmong: Bolaang Mongondow; Caleg: Calon Legislatif; DPR: Dewan perwakilan Rakyat; Kasi: Kepala Seksi; KK: Kota Kotamobagu; MMS: Marlina Moha-Siahaan; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pidsus: Pidana Khusus; Pilwako: Pemilihan Walikota; RI: Republik Indonesia; Sekda: Sekretaris Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; Tipikor: Tindak Pidana Korupsi; dan TPAPD: Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa.