KABAR buruk kerap
datang disaat yang tak tepat. Jumat, 27 Desember 2013, dengan keprihatinan
mendalam, saya membaca Berkas Kasus
Mantan bupati Bolmong Dinyatakan Lengkap di situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/2013/12/27/berkas-kasus-mantan-bupati-bolmong-dinyatakan-lengkap).
Saya tahu, bagi mantan Bupati Bolmong, Ny Marlina Moha-Siahaan, yang sedang
memanaskan lagi mesin karir politiknya, berita itu adalah mendung tebal yang
tiba-tiba menggantung.
Setelah berlarut-larut, bolak-balik antara Polres Bolmong
dan Kejari Kotamobagu, akhirnya berkas perkara tersangka MMS dinyatakan lengkap
atau P21. Itu pun, menurut Kasi Pidsus Kejari Kotamobagu, Ivan Baramuli,
prosesnya baru tahap satu. Tahap dua atau penyerahan tersangka dari penyidik di
Polres Bolmong ke kejaksaan, kemungkinan berlangsung Januari 2014 mendatang.
Dengan kata lain, kalau pun prosesnya tanpa kendala, tersangka mulai menjalani
sidang di Pengadilan Tipikor selang dua-tiga pekan setelahnya.
Sejatinya penyalahgunaan dana TPAPD di Pemkab Bolmong adalah
skandal warisan pemerintahan MMS yang semestinya mudah dan cepat diungkap. Pertama, aparat pemerintah desa yang
tunjangannya raib bukan hanya mengeluh lewat bisik-bisik dan informasi tanpa
nama. Mereka bahkan secara terbuka menggelar unjuk rasa mempertanyakan dan
menuntut hak-haknya.
Kedua, alokasi
anggaran TPAPD tercantum di APBD. Begitu anggaran dinyatakan keluar dan tidak
pernah tiba di tangan mereka yang berhak, secara administratif proses
pencairannya sangat gampang ditelusuri. Dari pejabat yang mengusulkan hingga
penanggungjawab tertinggi.
Dan ketiga, polisi
sudah menyidik, menetapkan beberapa tersangka di level pelaksana, dan melimpahkan
ke kejaksaan yang kemudian membawa ke sidang Tipikor. Hasilnya, beberapa
pejabat di lingkup Pemkab Bolmong telah divonis, menjalani hukuman, dan bahkan
ada yang saat ini sudah merampungkan masa tahanannya.
Pertanyaannya, mengapa proses untuk tersangka di level lebih
tinggi, mereka yang menjadi pengambil, penentu, dan penanggungjawab kebijakan
seperti MMS dan dua lainnya yang ‘’konon’’ masih dalam proses, masing-masing FS
(mantan Sekda Bolmong) dan FA (kini Sekda Bolmong), memerlukan waktu yang amat
panjang? Polisi kekurangan bukti? Para tersangka (yang sudah jadi terhukum) tak
mampu menunjukkan bukti keterlibatan atasan mereka karena canggihnya modus
hingga bawahan memang sejak mula disiapkan jadi korban? Atau sebab aparat
berwenang menyimpang kasus ini, mengeluarkan di saat yang tepat, sebagai
peringatan, pembelajaran, dan contoh bagi para calon pelaku tindak pidana yang
sama?
Bagaimana pun juga, status tersangka yang setiap malam terbayang-bayang
tiap kali menjelang tidur, pasti membangkitkan mimpi buruk. Mengganggu
percernaan, pernafasan, aliran darah, stabilitas otak dan jantung, yang hanya
kuat dipikul oleh mereka yang benar-benar tidak bersalah atau yang bermental
baja. Andai dalam posisi MMS dan dua tersangka lain yang ‘’kini masih dalam
proses’’, sejak lama saya mendesak aparat berwenang bergegas menyelesaikan penyidikan
dan pelimpahan kasusnya.
Lebih cepat mengetahui bersalah atau tidak dan menanggung
hukuman, baik bagi semua pihak dan diri sendiri. Tidur bisa lebih nyenyak
sembari memikirkan apa langkah selanjutnya, sebab kehidupan tidak berhenti
mendadak karna empat-lima tahun dalam bui. Kecuali, karena malu dan tak kuat
menahan aib, lalu mereka memilih menamatkan riwayat hidupnya dengan sukarela.
Saya tidak akan membahas konsekwensi pribadi yang dipikul orang
per orang elit birokrasi dan politik (atau sudah berstatus mantan) yang
tersangkut skandal TPAPD, yang proses hukumnya masih berlangsung itu. Yang
lebih penting bagi warga Mongondow adalah ihwal yang langsung bersentuhan
dengan kepentingan kontektualnya, khususnya politik kontemporer, yang salah satu
ultimate moment-nya adalah Pemilu,
April 2014 mendatang.
Tak dapat dipungkiri, lepas dari segala kelemahan dan
kekeliruannya selama menduduki kursi Bupati dua periode dan Ketua PG Bolmong,
MMS masihlah salah seorang tokoh yang diperhitungkan di wilayah Mongondow.
Kendati tak banyak terdengar berkiprah, pengaruhnya belum surut. Terakhir,
ketika Provinsi BMR sedang jadi isu utama, MMS bahkan disebut-sebut sebagai
salah satu kandidat Gubernur terkuat.
Di Pemilu 2014 mendatang MMS yang comeback setelah lebih dua tahun ber-hibernasi tercatat sebagai
Caleg PG untuk DPR Sulut, sedang putranya, Didi Moha, yang masih duduk sebagai anggota
DPR RI dari Sulut, juga tercantum di urutan 1 Caleg PG Sulut untuk DPR RI.
Tanpa kasus pidana, apalagi sangkaan korupsi, hampir dipastikan MMS bakal jadi
politikus Bolmong yang melenggang mudah ke DPR Sulut; juga potensial
mempengaruhi konstituen PG memilih Didi Moha –sebagaimana yang dibuktikan pada
Pemilu 2009 lampau.
Kini, ketika kita menghitung mundur jelang ‘’tahun
politik’’, status tersangka penyelewengan TPAPD MMS justru di P21 dan dia bakal
menjalani sidang Tipikor, sementara di saat bersamaan para Caleg mestinya
tengah ‘’menjual diri’’ di hadapan para pemilih. Alhasil, posisi sosial dan
politik MMS (juga Didi Moha) itu bagai déjà
vu yang mengingatkan saya pada apa yang dialami Syarial Damopolii di
Pilwako KK 2008. Ketika itu Syarial Damopolii harus mati-matian menyiasati
kampanyenya sebagai kandidat Walikota dan sangkaan tindak-pidana korupsi yang
dia lakukan, yang tiba-tiba jadi isu panas.
Entah ada kaitannya dengan sangkaan korupsi atau tidak, yang
jelas Syarial Damopolii akhirnya gagal terpilih sebagai Walikota KK. Akankah
nasib yang sama menimpa MMS? Mungkinkah proses hukum yang dijalani MMS juga
berdampak terhadap Didi Moha?
Alih-alih berspekulasi, menurut hemat saya, jawaban terhadap
dua pertanyaan itu justru adalah sederet pertanyaan: Mampukah MMS menghadapi
proses hukum dengan persidangan yang mungkin ketat, melelahkan, dan menuntut perhatian
penuh sembari berkampanye sebagai Caleg –yang juga menuntut keseriusan 24 jam
setiaphari, tujuh hari seminggu? Kalau dia mampu, bagaimana dengan
kredibilitasnya di mata konstituen? Maukah warga Mongondow memilih Caleg yang
sedang terjerat sangkaan Tipikor? Demikian pula, dapatkah Didi Moha berkampanye
tanpa terganggu dengan kasus yang menimpa Ibunya? Mungkinkah konstituen tidak
mengait-ngaitkan MMS dengan Didi Moha, baik karena hubungan kekerabatan yang
sangat dekat maupun afiliasi politik yang identik?
Apa boleh buat, tak
dapat ditolak perkembangan terkini skandal TPAPD bakal mengubah peta dan bandul
politik di Mongondow, bahkan Sulut. Tidak apalah bila hanya karir politik MMS
yang terancam mendadak macet, tapi bagaimana dengan Didi Moha? Sementara, suka
atau tidak, dia (juga petahana lain, Yasti Mokoagow) masih tetap kandidat kuat
dan paling rasional sebagai wakil masyarakat Mongondow di DPR RI 2014-2019.
Saya kira, alangkah keliru bila kita menjadikan Didi Moha ‘’korban
ikutan’’. Walau, tak bisa ditampik pula, ada akibat sosial dan politik yang
harus turut dia pikul dari kasus hukum yang menimpa MMS.***
Istilah dan Singkatan
yang Digunakan:
APBD: Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Caleg: Calon
Legislatif; DPR: Dewan perwakilan
Rakyat; Kasi: Kepala Seksi; KK: Kota Kotamobagu; MMS: Marlina Moha-Siahaan; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pidsus: Pidana Khusus; Pilwako:
Pemilihan Walikota; RI: Republik
Indonesia; Sekda: Sekretaris Daerah;
Sulut: Sulawesi Utara; Tipikor: Tindak Pidana Korupsi; dan TPAPD: Tunjangan Penghasilan Aparatur
Pemerintah Desa.