KABID Dikdasmen
Pemkab Bolmong, Takarianta, mengadu karena diperas oknum aktivis LSM. Kamis, 6
Februari 2014, situs totabuan.co
menurunkan beritanya dengan tajuk Kabid
Dinas Bolmong Mengadu. Katanya Dia Diperas Oknum Ketua LSM (http://totabuan.co/2014/02/06/kabid-diknas-bolmong-mengadu-katanya-dia-diperas-oknum-ketua-lsm/).
Saya, yang sejak awal Januari 2014 tak henti ditungkup
kesibukan pekerjaan, sempat mengabaikan berita tersebut. Pengelolaan
pemerintahan dan kinerja aparatnya di Kabupaten Bolmong sudah lama bukan topik
yang menarik buat saya. ‘’Kekacauan’’ kepemimpinan (yang mengakibatkan
rupa-rupa penyelewengan) Bupati Salihi Mokodongan dan Wabup Yani Tuuk telah
terlampau telanjang dipertontonkan. Hebatnya, diingatkan dan dikritik
sebagaimana rupa pun, Bupati dan jajarannya tak goyah. Mereka maju tak gentar
dengan kuping dan mata tertutup rapat. Sudah begitu, aparat berwenang pun bertingkah
seolah-olah di Bolmong segala ketatalaksanaan pemerintahan dipraktekkan dengan
khusyuk.
Tingkah aparat berwenang itu juga sebenarnya tak perlu
diherani. Kabupaten Bolmong terlampau jauh dari pusat pengawasan. Kondisi ini
ditambah mentalitas aparat yang masih doyan sogok, meras, dan korupsi umumnya,
membuat segala sesuatu akhirnya diselesaikan dengan tahu-sama-tahu.
Kepastian hukum yang dpidatokan para petinggi lembaga dan
institusi penegak hukum, di wilayah Mongondow cuma merdu di kuping. Faktanya,
dugaan-dugaan pelanggaran dan dan penyelewengan diubah jadi celengan. Terduga
pelanggar dan penyeleweng dengan ketakutan anjing dipentung dipaksa menyediakan
setoran rutin. Gagal bayar, nasibnya seperti kredit sepeda motor atau mobil: tanpa
ampun ditarik dan dikandangkan.
Kasus TPAPD adalah contoh paling menggelikan. Ditarik-ulur
bagai karet gelang, kasus ini digulir sesuai selera dan jenis sarapan yang
dikudap aparat hukum yang menangani. Maka jadilah dia lelucon. Sebagian
tersangkanya telah lama naik status jadi terpidana; ada yang bahkan hampir dan
telah menyelesaikan masa hukuman; sementara beberapa pelaku (tersangka dan
terduga lain) lain justru status penyidikannya malah tak beda dengan angin di
musim pancaroba.
Keliru meng-klik tautan menyebabkan saya ‘’terpaksa’’
membaca berita yang sontak terasa menyegat di ubun-ubun. Takarianta yang
mengaku diperas aktivis LSM ternyata mengadu ke LPKEL Reformasi; bukan ke
Polres Bolmong. Apa urusannya LPKEL dengan penindakan terhadap pelanggaran
hukum? Sejak kapan insitusi ini menjadi salah satu satuan –setidaknya—di Polres
Bolmong?
Tersebab LPKEL Reformasi ini bukan siapa-siapa, maka yang
paling mungkin mereka lakukan adalah berkoar-koar, terutama ke media massa.
Itulah yang dilakukan ketuanya (saya lama menyimpan penasaran, selain ketua,
adakah LSM ini memiliki struktur dan personil selayaknya sebuah institusi
kredibel?) dengan menyerang Ketua LAKI yang diduga sebagai pelaku pemerasan
terhadap Takarianta.
Aduan Takarianta ke LPKEL Reformasi, alih-alih ke aparat
berwenang, ibarat ruas ketemu buku. Dua pihak sama-sama tolol. Tak urung
membuat saya menyimpulkan: Tidak heran dia gampang ditakut-takuti dan diperas.
Yang memperihatinkan, sebagai Kabid, semestinya Takarianta cukup terdidik dan
tahu persis bagaimana upaya dan prosedur
memperjuangkan keadilan. Kecuali, dia memang sejenis pejabat korup yang
berada di posisi mouse in the corner.
Memang terindikasi korupsi tetapi sudah tak kuat ditakut-takuti dan diperas
aktivis LSM, sekaligus jerih menyambangi kantor polisi karena sama artinya
dengan menyerahkan kepala ke tatakan persembahan.
Takarianta bukanlah anggota masyarakat biasa yang dapat
diasumsikan buta hukum dan karenanya kebinggungan mencari pelabuhan mengadukan
pemerasan melilit. Aduannya ke LPKEL Reformasi pun tak urung mamantik syak:
Takarianta lebih mempercayai LSM melawan LSM ketimbang aparat hukum berwenang
karena dia telah jadi korban dari dua sisi? Oleh oknum LSM pemeras dan oknum
aparat berwenang bermental setan belang.
Makanya, Pak Kabid, jangan suka mengambil yang bukan hak.
Akibatnya pahit. Anda cuma dijadikan ‘’celengan babi’’ yang digoyang setiap
kali bangsat-bangsat tak bertanggungjawab memerlukan ‘’hepeng’’; dan akhirnya
tetap diseret ke depan hukum. Walau, beruntung pulalah Anda, Pak Kabid, tabiat
aparat berwenang di wilayah Mongondow kurang lebih sama dengan oknum LSM
abal-abal dan jin penunggu tempat wingit. Sepanjang sesajen memuaskan, dia akan
tidur nyenyak. Anda boleh melakukan apapun di teritorinya.
Kita tinggalkan saja derita Kabid Dikdasmen menjadi
urusannya sendiri. Toh cepat atau
lambat, menjadi perkara hukum atau tidak, bersih atau kotornya dia, bakal terbukti
dengan sendirinya. Yang lebih mustahak justru pernyataan oknum Ketua LAKI Bolmong
yang dikutip totabuan.co. Pernyataan
‘’saya dengan dukungan masyarakat membongkar kasus, bukan mencari uang’’ tentu
cuma gertak sok jagonya. Siapa ‘’masyarakat’’ itu? Coba tunjukkan.
Sebagai bagian dari warga masyarakat Mongondow, saya tidak
pernah merasa memberikan dukungan terhadap LSM yang aktivitasnya cuma
dilaporkan di facebook, yang
tautannya di dunia maya hanya terdapat di blog
yang tak pernah diperbaharui sejak 2010 (http://lakindonesia.blogspot.com),
yang alamat kantornya pusat (dan cabang-cabang yang diklaim hampir di seluruh
Indonesia) entah ada di mana?
Indonesia yang gegar perubahan sejak runtuhnya rezim Orba memang
dijamuri penunggang apapun. Gerakan anti korupsi tak hanya didukung
(mati-matian) oleh mereka yang jemu dan muak terhadap perilaku dan praktek
busuk ini; tetapi juga ditunggangi bajigan dan para ‘’pengambil kesempatan di
tengah kesempitan’’ demi kepentingan kelompok dan pribadinya sendiri.
Pernyataan ‘’LAKI ini adalah kaki tangan para KPK. Selama
saya mengikuti kegiatan yang ada, selalu didampingi KPK, bisa dikatakan LAKI
ini adalah tentaranya KPK, yang memberikan penyuluhan dari KPK’’ adalah klaim
omong kosong. Bahkan, jika kutipan totabuan.co
ini 100 persen tepat sama dengan pernyataan Ketua LAKI Bolmong, yang
bersangkutan pantas disidik sebagai pencatut KPK demi kepentingan yang patut
diduga melanggar hukum.
Sejak kapan KPK punya kaki tangan dan laskar di luar
struktur resmi lembaganya? Di mana aktivitas (lapangan) LAKI menguak-nguak
dugaan korupsi didampingi petugas KPK? Kalau sekadar penyuluhan anti korupsi
dan dihadiri petugas KPK, bukanlah hal istimewa. Penyuluhan anti korupsi yang
dilaksanakan untuk murid SD Negeri Mogolaing pun, akan dihadiri petugas KPK
sepanjang mereka diundang dan event-nya
dianggap sangat penting bagi kepentingan pemberantasan korupsi.
Oknum LSM yang mengaku-ngaku, menakut-nakuti, meras-memeras,
dan tipu-menipu sudah galib di negeri ini. Pernyataan Ketua LAKI Bolmong yang
dikutip totabuan.co adalah contoh
nyatanya. Beruntunglah oknum sialan ini, sebab dia tidak membual di hadapan
orang yang paham hukum, sistem, dan mekanismenya. Andai pernyataan itu
disampaikan di hadapan saya, wajahnya pasti sudah ber-cap lima jari kanan saya
dan urusannya bakal panjang hingga ke Gedung KPK di Rasuna Said, Jakarta.***
Singkatan dan Istilah
yang digunakan:
Bolmong: Bolaang
Mongondow; Dikdasmen: Pendidikan
Dasar dan Menengah; Kabid: Kepala Bidang; LAKI:
Laskar Anti Korupsi Indonesia; LPKEL:
Lembaga Pemantau Kerja Eksekutif Legislatif; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Orba: Orde Baru; Pemkab:
Pemerintah Kabupaten; Polres:
Kepolisian Resort; SD: Sekolah
Dasar; dan Wabup: Wakil Bupati.