BERAGAM reaksi
menyambangi telepon genggam saya, Minggu (23 Februari 2014), selepas ‘’Blasphemous’’ Bupati Boltim dan Media
Hantu Belau diunggah di blog ini.
Bila dikonklusi, umumnya komentar, pernyataan, dan protes yang berdatangan itu
terbagi dalam tiga isu.
Pertama, saya
cenderung mendukung dugaan penghujatan yang dilakukan Bupati Boltim. Supaya isu
ini jernih, sebagai Muslim yang memahami sakralitas Islam, Al Qur’an, Muhammad
Rasulullah, dan ajaran-ajaran luhur agama ini (juga menghormati sakralitas-sakralitas
agama lain dan umatnya), spekulasi yang disampaikan itu saya sambut dengan
terima kasih dan tawa lebar.
Mentakzimi religiusitas yang dianut, bagi saya hukumnya
mutlak tak dapat dikompromikan; tetapi di saat yang sama saya sungguh pula berikhtiar
memahami konteks (terutama dinamika kekinian) lengkap dengan keimanan dan
kelapangan hati. Modernitas dan keberagaman manusia yang menghuni permukaan
bumi misalnya, sangat mempengaruhi konteks sakralitas agama.
Dengan membuka hati seluasnya (sekaligus menegaskan yang
ditulis ini tidak dengan niat menghujat --apalagi menista keberagamaan— serta
permohonan maaf sebesar-besarnya pada kaum Muslim dan Kristian), saya ingin
mengajukan pertanyaan retoris sederhana: Andai hari ini Muhammad Rasulullah
menjadi salah satu kandidat Presiden AS, dari rasionalitas manusia dan fakta
kekinian, masuk akalkah Nabi Allah ini pasti keluar sebagai pemenang? Sama
halnya dengan: Mungkinkah hari ini Tuhan Yesus bakal terpilih sebagai Perdana
Menteri bila tokoh sakral yang dimuliakan umat Kristiani ini mengikuti
pemilihan umum di salah satu negara Islam di Timur Tengah?
Menurut hemat saya, jawaban terhadap dua pertanyaan itu
bukanlah debat tentang seberapa tinggi keyakinan beragama seseorang; melainkan
sejauh mana kita (sebagai umat yang mengimani dua tokoh sakral itu) khatam
memahami peta sosial, politik, dan budaya setempat. Sebab itulah, dalam konteks
pemberitaan Radar Bolmong, Jumat (21
Februari 2014), yang kemudian mendudukkan Bupati Boltim, Sehan Lanjar, sebagai
terduga penista agama (Islam dan Kristen), saya lebih menitik-beratkan pada
praktek jurnalistik profesional; bukan sentimen keyakinan beragama yang
membabi-buta.
Kedua, di banyak
isu yang berkaitan dengan Bupati Boltim, saya sukarela menghambakan diri di
garda depan dan tanpa reserve membela
Sehan Lanjar. Ah, tuduhan seperti ini tentu dilempar ke tong sampah. Pembaca
yang sejak mula rutin menyimak blog
ini tahu persis, bukan sekali-dua Bupati Boltim menjadi sasaran kritik pedas
(bahkan‘’kegeraman’’) saya.
Sebagai politikus, Sehan Lanjar bukan tanpa cacat-cela. Dia
khas kebanyakan politikus Indonesia, tetapi dengan sejumlah nilai lebih dan
keunggulan. Dibanding umumnya Bupati/Walikota di Sulut, dia mampu membaca dan
spontan bereaksi terhadap dinamika di sekitar yang pada akhirnya secara sosial
dan politik mendatangkan nilai tambah dan magnet bagi khalayak. Sehan Lanjar
juga selalu menunjukkan dia tulus dan apa adanya. Sikap ini mampu membuat
khalayak menaruh kepercayaan besar, tak peduli dia sedang berakting menutupi
kebohongan atau sejujur bocah usia bawah lima tahun.
Bahwa saya menyukai personalitas Bupati Boltim, juga
sepak-terjangnya sebagai politikus dan pejabat publik, tidak akan mempengaruhi
daya kritis dan ketegaan mengoreksi dia. Bila Radar Bolmong tidak compang-camping melansir isu penistaan agama
(Islam dan Kristen) oleh Sehan Lanjar, saya tidak segan berdiri bersama-sama
banyak pihak menuntut dia bertanggungjawab terhadap dugaan seram itu.
Dan ketiga, saya
hanya menungganggi isu yang dipublikasi Radar
Bolmong itu untuk melampiaskan niat buruk terhadap media ini. Beberapa
orang bahkan menyampaikan dugaan (atau gugatan) disertai pertanyaan: Apa
sebenarnya motif Anda? Apa tujuannya? Apakah menghancurkan Radar Bolmong, tempat di mana tak kurang 50 orang (termasuk warga
Mongondow) menggantungkan nafkah akan memuaskan Anda?
Jawaban terhadap sederet pertanyaan itu saya dahului dengan:
Apa motif Radar Bolmong mempublikasi berita berbayar Sachrul Lawan Sehan di Pilbup 2015 Mulai Bergulir? Apakah tujuannya demi
menguntungkan pemesan berita; menghancurkan kredibilitas Bupati Boltim; atau
lebih buruk lagi menempatkan Sehan Lanjar sebagai musuh bersama umat Islam dan
Kristen? Pula, apakah dengan mempublikasi isu sensitif SARA yang tak jelas di
konteks apa dinyatakan, Radar Bolmong sedang
memprovokasi agar wilayah Mongondow (dan Sulut) terjerumus pada kerusuhan antar
umat beragama?
Akan
halnya motif saya mengkritisi Radar
Bolmong dan pemberitaan yang kini jadi isu panas itu tidak muluk-muluk:
Institusi media yang tak profesional dan berpihak (juga bertanggungjawab) pada
kebenaran dan publik, lebih dari pantas sesegeranya dibinasakan. Kalau kemudian
apa yang saya lakukan ditafsir bertujuan hingga Radar Bolmong raib dari wilayah Mongondow, apa yang salah?
Masyarakat Mongondow memang memerlukan media massa, tapi jelas bukan koran yang
dikelola para kriminal tukang peras, yang isinya tak dapat
dipertanggungjawabkan bahkan dari aspek paling dasar jurnalistik.
Jangan
pula dilupakan, kehadiran Radar Bolmong
di wilayah Mongondow kian nyata bukan dengan motif dan tujuan luhur media
massa. Kewajiban cash in adalah bukti
bahwa satu-satunya tujuan koran ini adalah menghimpun keuntungan ekonomi, tak
peduli dengan cara melampaui akal sehat dan kewarasan adab bisnis modern.
Nah,
bagian paling seram dari publikasi yang mendudukkan Bupati Boltim sebagai
target umat Islam dan Kristen yang emosinya potensial tersundut isu penistaan
agama, adalah saya memiliki bukti hal tersebut memang direncanakan dan sepengetahuan
para petinggi redaksi Radar Bolmong.
Saya kutipkan potongan ‘’instruksi’’ Pemred Radar
Bolmong pada Jumat, 21 Februari 2014, pukul 11.22, yang menyatakan: ‘’Cuma besok-besok main save torang....
Boleh tulis Sehan tantang Tuhan dan Nabi saja, jangan detail.’’
Saya
belum menunjukkan bukti yang ada di tangan saya ke Sehan Lanjar yang telah
berlapang dada memaafkan Radar Bolmong
dan tidak berniat menggugat media ini. Dengan mengetahui duduk-soal, bahwa dia
dengan sengaja ditarget, tidak tertutup kemungkinan Bupati Boltim berubah
pikiran dan menggugat koran ini lebih dari sekadar pasal pencemaran nama baik.
Celakanya,
karena redaksi Radar Bolmong dipimpin
bukan oleh wartawan kompeten, Senin (24 Februari 2014), lewat permintaan maaf
yang ditanda-tangani Pemred-nya, koran ini justru mengumumkan secara terbuka
mereka memang berniat busuk memprovokasi umat Islam dan Kristen untuk
mengeroyok Bupati Boltim atau bahkan mendorong meletusnya konflik antar dua
umat beragama ini. Permintaan maaf itu juga absah menjadi bukti bagi pihak berwenang,
bahwa Radar Bolmong bukanlah
institusi jurnalistik, melainkan alat kriminalitas yang berlindung di balik
jurnalisme.
Tidak
ada alasan lagi bagi pihak berwenang memperlakukan pemberitaan sensitif SARA
yang potensial mendorong meletusnya anarki sipil itu sebagai kekhilafan
jurnalistik. Media ini adalah pelaku subversi dan karena itu para pengelola dan
wartawannya pantas dibui.
Lebih
buruk lagi, setelah permintaan maaf yang berisi pengakuan berita Sachrul
Lawan Sehan di Pilbup 2015 Mulai Bergulir hanya karang-karangnya redaksi Radar Bolmong, masyarakat di
wilayah Mongondow tak perlu lagi menduga-duga media ini hanya piece of s**t.
Bukan wahana yang pantas dijadikan bacaan, apalagi rujukan. Bahwa koran ini
memang cuma cocok dipotong-potong untuk kepentingan mengelap bokong di kakus
umum usai bertandas.***
Singkatan dan Istilah yang
Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Pemred: Pemimpin Redaksi; SARA: Suku, Agama, Ras, dan Antar
Golongan; dan Sulut: Sulawesi Utara.