NUKILAN dari ‘’King
of Pop’’ Michael Jackson (Moonwalk,
1988 –pembaca, ini buku, bukan lagu) “What happened to truth? Did it go out of style?” (Apa yang terjadi dengan
kebenaran? Sudahkah dia menjadi hal kuno?) adalah salah satu dari 26 kutipan
populer tentang media massa dan kebenaran. Bahkan selewat 26 tahun sejak
dituliskan dan mega bintang ini telah tiada, pertanyaan yang dia ajukan menjadi
kian relevan.
Media
massa kini semakin mudah meliput hanya dengan mengandalkan bisik-bisik, posting di facebook, twitter, bahkan
dengan mengarang-ngarang halusinasi dan imaji wartawannya sendiri. Berita
adalah komoditas dan jurnalis tak beda dengan pekerja pabrik yang sekadar
memiliki keterampilan seorang tukang. Profesionalismenya adalah membuat berita,
bukan mewakili mata, telinga, dan hati nurani orang banyak; tidak pula demi
niat luhur jurnalisme adalah sikap adil yang menjunjung norma, etika, dan
standar-standar tinggi sosial-budaya.
Terjerembablah
media dari sesuatu yang kredibel menjadi sekadar pamflet murahan atau selebaran
provokasi. Mereka yang bekerja di media seperti itu tak pantas menyandang
sebutan wartawan, pewarta, jurnalis, dan sejenisnya. Mereka cuma tukang yang
tidak dilindungi UU Tentang Pers, kode etik, dan etika jurnalistik umumnya.
Pendek kata, statusnya sama belaka dengan penjahat jalanan kelas teri: preman leput rendahan tukang menakut-nakuti,
tukang peras, atau tukang bakuku.
Sachrul Lawan Sehan di
Pilbup 2015 Bergulir (tata bahasa judul ini
sungguh kacau dan tak enak dibaca, khas wartawan yang tak lulus pelatihan dasar)
yang dipublikasi Harian Radar Bolmong,
Jumat (21 Februari 2014), menjadi contoh kesekian kali bagaimana koran ini
dikelola semata alat kepentingan (ekonomi, politik, bahkan kriminal) segelintir
orang; bukan institusi yang berpihak dan bertanggungjawab pada publik.
Bagaimana
saya mempertanggungjawabkan pernyataan itu?
Pertama, sudah menjadi pengetahuan
umum Radar Bolmong adalah koran yang
wartawannya secara struktural diperintah menadahkan tangan hingga menonjok
kepala setiap sumber (atau yang potesial menjadi sumber) berita demi cash in yang disetorkan ke menejemen dan
pengelolanya. Tersebab isinya adalah iklan, apapun yang dipublikasi patut
diduga adalah pesanan kepentingan seseorang atau sekelompok orang. Penandanya
adalah “*” yang juga terdapat di berita Sachrul
Lawan Sehan di Pilbub 2015 Bergulir --lengkapnya (rus/*/fir).
Kedua, frasa ‘’Jangankan Sachrul Mamonto, Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus pun kalau di
Boltim ini, masih bisa saya kalahkan,’’ ujar Sehan, antara serius atau sekadar
bercanda adalah ‘’an evil intention’’. Memang sejak mula diniatkan
menjahati Bupati Boltim Sehan Lanjar.
Jurnalisme
mensyaratkan ketatnya penegakan standar tinggi (yang telah berulang kali saya
tulis di blog ini), terutamanya
verifikasi. Tanpa bermaksud membela Sehan Lanjar (yang bagi saya adalah adalah
karib dan saudara), dari aspek jurnalistik apa yang ditulis pewarta Radar Bolmong pasti tak dapat
dipertanggungjawabkan. Cara mengujinya adalah dengan pertanyaan: Apakah sang
wartawan mendengar langsung? Memiliki rekaman atau bukti tak terbantahkan? Memahami
konteksnya (bila pun pernyataan itu memang benar disampaikan Bupati Boltim)?
Serta, yang terpenting, melakukan check,
re-check, balance, dan
verifikasi? Kegagalan menjawab
salah-satu di antara empat pertanyaan ini lebih dari cukup menyeret Radar Bolmong, penanggungjawab redaksi
dan desk, serta wartawannya ke kursi
pesakitan.
Tidak
ada urusan dengan Dewan Pers sebagai lembaga yang menilai kerja para pewarta
dan praktek jurnalistik di negeri ini. Berita buta, yang ditujukan
menjerumuskan seorang tokoh publik pada potensi penghinaan terhadap keyakinan
orang banyak (bahkan Tuhan), yang hanya menyatakan waktu kejadian (Kamis, 20
Februari 2014) tanpa menjelaskan konteks dan aspek-aspek fundamental lainnya;
jelas ditungganggi kepentingan tercela.
Mari
meluaskan cara pandang. Bahkan bila pun 100 persen benar Sehan Lanjar memberi
pernyataan itu, baik dalam konteks bercanda maupun serius, di lingkungan yang
sangat terbatas dan dekat; dia bukanlah perilaku penghujatan. Masyarakat di
negara-negara Skandinavia mengenal kata blasphemy
dengan turunan blasphemous language
yang berarti penyataan yang tidak merespek Tuhan atau sesuatu yang sakral. Blasphemous bukanlah penghujataan (atau
penistaan) karena dia justru ditujukan sebagai penghormatan terhadap Tuhan dan
sakralitas religius yang dijunjung masyarakatnya.
Bagi
yang ingin mendebat fenomena terbalik (sikap yang bagi masyarakat luar
Skandinavia diartikan menghujat, sebaliknya untuk mereka adalah respek) blasphemy,
sebaiknya terlebih dahulu menyimak The
Viking Manifesto dari Steve Strid dan Cales Andréasson (saya memiliki edisi 2008 yang diterbitkan Marshall Cavendish Asia). Blasphemy bukanlah aib melainkan spirit
yang memperkokoh stabilitas sosial-budaya (juga keamanan) dan ekonomi
negara-negara Skandinavia.
Dan ketiga, media yang curang, culas, dan
dipenuhi niat jahat terencana adalah pelaku sekaligus alat provokasi efektif.
Kutipan pernyataan Bupati Boltim yang tak ketahuan asbabul nuzul-nya memicu efek lanjutan: menggetarkan dan memicu
amarah para penganut Islam dan umat Kristen (sekali pun kita tahu mustahil Nabi
Muhammad dan Yesus berkompetisi di Pilbub Boltim). Sensitivitas umat yang kerap
berlebihan tanpa menelisik muasal isu dengan mudah mendorong tindakan terhadap
seseorang yang dianggap menista agama dan sakralitasnya hingga ke tahap
anarkis.
Selang sehari
setelah Radar Bolmong mempublikasi
dugaan pernyataan Sehan Lanjar, reaksi sudah meletup. Adalah Aliansi Masyarakat
Muslim Bolmong Raya yang melaporkan dugaan penistaan dan provokasi oleh Bupati
Boltim dan wartawan Radar Bolmong ke
Polres Bolmong (totabuan.co, Sabtu,
22 Februari 2014, http://totabuan.co/2014/02/22/bupati-boltim-dan-oknum-wartawan-dilapor-soal-pemberitaan/). Apalagi ini? Apakah Aliansi Masyarakat
Muslim Bolmong Raya adalah institusi dengan dasar hukum yang dapat menakar
seseorang atau sebuah institusi menista agama dan sakralitasnya; atau lembaga yang
paham jurnalistik dan prakteknya, hingga berhak menjadi wakil orang Mongondow?
Aliansi antah
berantah itu terlebih dahulu harus membuktikan mereka punya kekuatan legal
sebelum mengajukan laporannya. Lain soal bila orang per orang, umat Muhammad
Rasulullah (Muslim) atau Yesus (Kristian) yang berkeberatan dan melaporkan.
Individu Muslim atau Kristian punya legal
standing yang tak perlu diperdebatkan lagi. Akan halnya organisasi yang
mendadak dideklarasikan, tanpa dokumen legal dan kepatuhan terhadap compliance lainnya, menurut hemat saya
cuma kegenitan ‘’seolah-olah wakil orang banyak’’ agar isunya tampak ‘’wah!’’.
Pula, sekadar upaya beberapa gelintir orang mencari panggung supaya dadanya
boleh bungah.
Klaim dan atas
nama-atas nama orang banyak sungguh menjengkelkan. Dan aparat berwenang, dalam
hal ini Polres Bolmong, yang menindak-lanjuti laporan dugaan penistaan dan
provokasi oleh Bupati Boltim dan wartawan (juga institusi Radar Bolmong) tanpa terlebih dahulu mencermati isi perut
organisasi yang jadi pelapor, tak beda dengan kodok dalam tempurung yang tidak
merespek tata laksana dan tata cara penegakan hukum.
Padahal, muara
isu pernyataan Sehan Lanjar yang kini jadi kontroversi, memerahkan kuping umat
Muslim dan Kristian, bahkan masalah hukum (formal), sederhana belaka: Radar Bolmong bukanlah media massa. Dia hanya
alat pemerasan dan provokasi yang sama sekali tidak dilindungi UU Tentang Pers,
kode etik jurnalistik, dan etika media umumnya. Karenanya, kehadiran institusi
ini lebih banyak mudaratnya dibanding manfaat di wilayah Mongondow. Agar tak
menimbulkan kerusakan dan kesemena-menaan berkelanjutan atas nama jurnalistik, sudah
waktunya institusi ini disingkirkan sejauh mungkin.
Saya
menguatirkan, pada akhirnya ancamanan ‘’menghabisi’’ wartawan atau membumi-hanguskan
Radar Bolmong seperti yang beberapa
waktu lalu beredar di pesan pendek, BBM, dan media sosial karena pemberitaan
yang dianggap sekadar modus pemerasan dan lancung (dan memang demikian adanya),
diwujudkan massa yang murka akibat provokasi, manipulasi, bahkan kebohongan.
Terlebih, praktek efektif membungkan kriminalitas biasanya efektif hanya dengan
dua cara: penegakan hukum tanpa pandang bulu dan proporsional oleh aparatnya;
atau aksi massa yang tegas dan dingin (untuk tidak mengatakan brutal dan kejam).***
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang
Mongondow Timur; Pilbub: Pemilihan
Bupati; dan UU: Undang-undang.