HAKIM Agung Gayus
Lumbuun diterjang tudingan tak sedap. Di tayangan Hitam Putih, Selasa (18 Februari 2014), yang dipandu Deddy Corbuzier dan disiarkan Trans7, dia diduga menerima Rp 700 juta dari artis Julia Peres agar
MA segera menetapkan hukuman penjara untuk seterunya, artis dangdut Dewi
Persik. Tudingan ‘’makan sorok’’ itu bahkan disertai dengan dipertunjukkannya
bukti transfer dan gambar Gayus Lumbuun sebagai ilustrasi.
Di kalangan penggemar infotainment,
perseteruan Julia Perez-Dewi Persik sempat menjadi isu panas. Dua artis yang
kerap bikin sensasi ini terlibat cakar-cakaran, saling lapor ke pihak
berwenang, dan akhirnya sama-sama dihukum kurungan penjara. Julia Perez lebih
dahulu mencicipi jeruji besi, disusul Dewi Persik yang eksekusinya dilakukan
Kamis, 13 Februari 2014 lalu, setelah Majelis Hakim MA (di mana Gayus Lumbuun
menjadi salah satu anggotanya) mengetuk hukuman tiga bulan penjara.
Yakin tak menerima suap, Gayus Lumbuun bereaksi keras. Dia
bukan hanya membantah dugaan itu, tetapi bahkan melaporkan Trans7 dan Deddy Corbuzier ke Mabes Polri, Rabu (26 Februari 2014).
Menurut Hakim Agung yang juga Ketua IKAHI Cabang MA ini, apa yang dia lakukan adalah
upaya agar pihak yang merekayasa tuduhan suap itu dapat diungkap tuntas.
Dikutip situs berita Vivanews
(Deddy Corbuzier Minta Maaf, Ini
Tanggapan Gayus Lumbuun, Kamis, 27 Februari 2014, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/484748-deddy-corbuzier-minta-maaf--ini-tanggapan-gayus-lumbuun),
Gayus Lumbuun mengemukakan, "Saya
juga menyadari acara Hitam Putih
bukan berita media, tapi ekspresi jurnalistik, infotainment. Oleh karena itu, saya tidak membawa ke KPI, tapi
langsung pada tanggung jawab pidana.’’ Dia juga menegaskan, ‘’Saya hanya
mengingatkan media berhati-hati menayangkan sesuatu yang sumbernya tidak valid
atau janggal. Kemudian, memperhatikan kebenaran dari bukti yang disampaikan.’’
Langkah Gayus Lumbuun sepintas adalah reaksi normal dari
seseorang yang memahami hukum dan mekanismenya, yang disudutkan tanpa bukti
kuat (bahkan direkayasa). Namun, di konteks Indonesia, di mana media (terutama
televisi dengan aneka infotainment
dan talk show yang kerap kebablasan),
tindakannya mengandung dua pesan penting: Pertama,
media memang perkasa, tetapi bila Anda benar, jangan segan dan takut bersikap
tegas. Dan kedua, berita yang disiarkan oleh media harus dibuat dengan proses
yang ketat dan menjunjung standar tinggi jurnalistik; terlebih lagi yang bukan
berita tetapi ‘’disifati’’ sebagai berita.
Mengingat Hitam Putih
bukanlah produk acara yang menggunakan pendekatan dan standar jurnalistik, baik
Trans7 maupun Deddy Corbuzier boleh
bilang tak berada di bawah lindungan UU Pers dan KEJ. Maka tepat adanya Gayus
Lumbuun menuntut tanggungjawab pidana dari institusi penyiaran ini dan host Hitam Putih.
Kasus Gayus Lumbuun versus
Trans7 dan Deddy Corbuzier kurang lebih sejalan dengan apa yang kini dihadapi
Bupati Boltim, Sehan Lanjar, yang menjadi korban berita berbayar –lebih dikenal
sebagai bbi atau bbk-- yang di publikasi di Harian Radar Bolmong, Sachrul
Lawan Sehan di Pilbup 2015 Mulai Bergulir, Jumat (21 Februari 2014). Gara-gara
publikasi ini Bupati Boltim dituding melakukan penistaan terhadap agama dan
sakralitasnya; dan bahkan sudah dilaporkan ke Polres Bolmong oleh pihak yang
mengaku sebagai salah satu organisasi aliansi umat beragama.
Menghadapi gunjang-ganjing publikasinya, selama tiga hari
berturut (Senin-Rabu, 24-26 Februari 2014) koran yang berada di bawah payung
MPG itu memang mengumumkan permintaan maaf (walau mulanya tidak termasuk pada
Bupati Boltim) dengan mengakui kutipan yang menyeret Sehan Lanjar tidak jelas
sumbernya. Pengakuan di permintaan maaf ‘’tipu-tipu’’ ini tidak disertai maklumat pencabutan berita
atau kutipannya. Dengan kata lain, sumber berita berbayar itu diakui tidak
jelas; tetapi beritanya sendiri tetap ‘’dianggap’’ sah sebagai bagian dari publikasi
Radar Bolmong.
Perkembangan terkini, sebagaimana yang dilansir Kontraonline (Sehan Janji Laporkan Radar Bolmong Senin Depan, Kamis, 27 Februari
2014, http://kontraonline.com/2014/02/sehan-janji-laporkan-radar-bolmong-senin-depan/),
tampaknya Bupati Boltim telah menyadari, bila tidak menempuh upaya hukum, dia
bakal dua kali jadi korban. Sudah dipublikasikan sebagai penista agama dan
sakralitasnya, coba-coba pula diperdaya dengan permintaan maaf pura-pura dari Radar Bolmong. Selain itu, Sehan Lanjar
dan publik umumnya juga bakal tak mendapatkan kejelasan tanggungjawab pidana koran
ini dan oknum-oknum (termasuk dalang) di balik
publikasi berita berbayar itu.
Sebagai isu yang menjadi sorotan warga Mongondow (dan lebih
luas lagi), perkembangannya terus dicermati dengan saksama. Informasi yang
mulanya sekadar dugaan dan spekulasi, perlahan-lahan terkuak dan terkonfirmasi.
Misalnya, hampir dipastikan pencantuman inisial salah satu wartawan di berita
berbayar itu sama sekali tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Dan bahwa
berita berbayar itu dimuat atas pesanan salah seorang politikus di Boltim
dengan imbalan (konon) hanya Rp 500 ribu.
Informasi-informasi itu mendudukkan Radar Bolmong di posisi bagai ‘’tikus terjepit di cakar kucing’’.
Bila Pemred dan jajarannya mencari perlindungan UU Tentang Pers dan KEJ;
telanjang bulat mereka pasti bersalah. Pasal 6 KEJ menyebutkan: ‘’Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan
profesi dan tidak menerima suap.’’ Sebaliknya, melempar tanggungjawab dengan
kilahan berita berbayar sama dengan iklan; dan karenanya menjadi tanggungjawab
pihak yang mengeluarkan dana agar materinya dipublikasi, juga amat sangat keliru.
Berita berbayar itu dilengkapi inisial wartawan yang bertanggungjawab dan (ini
yang terpenting) sama sekali tidak dinyatakan sebagai iklan, advertorial, atau sejenisnya.
Cepat atau lambat, untuk
kesekian kalinya praktek busuk cash in
yang dijalankan Radar Bolmong tak
terelakkan terus menjatuhkan korban. Bupati Boltim sudah menjadi korban nyata
baru. Siapa yang harus bertanggungjawab di redaksi Radar Bolmong? Siapa pula tokoh yang diduga menjadi otak dan
pendana berita berbayar celaka itu, yang mesti pula turut diminta
pertanggungjawabannya?
Masalahnya, terus-terang saja, saya meragukan kemampuan Polres
Bolmong (bahkan Polda Sulut) yang masih sibuk berputar-putar bagai anak anjing
mengejar ekor sendiri meraba-raba UU Tentang Pers; KEJ; termasuk pasti
beralasan perlu meminta pendapat Dewan Pers. Melihat pendekatan dan cara kerja
polisi, saya tidak heran kasus ini bakal tak ketahuan juntrungannya, menyurut,
dan akhirnya pupus di ingatan publik seperti geger foto mesum di halaman 1 Radar Bolmong edisi Selasa, 22 Oktober
2013.
Bagaimana pun juga, polisi kita, khususnya di Polres
Bolmong, memang profesional, teguh, tangguh, dan hebat-hebat.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
bbi: berita
berbayar iklan; bbk: berita berbayar
koran; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; IKAHI: Ikatan Hakim Indonesia; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KPI: Komisi Penyiaran Indonesia; MA: Mahkamah Agung; MPG: Manado Post Group; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resort; dan UU: Undang-undang.