HARI masih belia,
Sabtu (1 Maret 2014), sewaktu saya menerima broadcast
BBM yang mengesankan ‘’bagi-bagi rezeki’’ mengatasnamakan anggota DPR RI Yasti
S Mokoagow. Bagi kebanyakan orang, isi BBM itu sangat menggoda; tapi tentu
tidak berlaku untuk mereka yang waspada terhadap aku-akuan, janji-janji, dan
modus penipuan lainnya.
Broadcast yang
dengan cepat menjalar itu (terbukti saya menerima berturut dari sejumlah orang
yang tampaknya melakukan tanpa mikir dan mengecek terlebih dulu) adalah: ‘’Calon DPR RI PAN ibu YASTI SUPREJO No.6
bagi pulza karena mencalonkan diri sebagai DPR RI bekerja sama dengan operator
lanjutkan BC ini ke 15 orang maka pulsa anda terisi 100000, ini benar kita so
kirim, kita cek pulsa ta isi 100000 cepat sebarkan sekarang.’’
Penyebaran ‘’rezeki tiban’’ itu jelas tipu-tipu. Pertama, BBM tersebut dibuat asal-asalan
oleh orang yang tak memahami Yasti S Mokoagow hingga ke detil sikap dan
perilakunya. Yang paling mencolok, hampir lima tahun terakhir Yasti tidak lagi
menggunakan ‘’Suprejo’’ di akhir namanya, tetapi ‘’Mokoagow’’. Kedua, materi-materi komunikasi dan
kampanye resmi Yasti S Mokoagow (kecuali dia telah berubah sama teledornya
dengan kebanyakan politikus Indonesia) selalu disiapkan dengan cermat dan
hati-hati. Bahasa compang-camping broadcast
BBM itu jauh dari cermat, apalagi hati-hati. Dan ketiga, Yasti Mokoagow paham betul mana komunikasi dan kampanye
efektif; mana yang bukan. Kampanye dengan memagi-bagi pulsa jauh dari efektif,
efisian, dan cuma membuang-buang duit.
Karena ingin tahu kebenaran kabar itu, saya lalu mengontak
Ketua DPW PAN Sulut yang juga Walikota KK, Tatong Bara, yang tegas menyatakan hoax belaka. Setelahnya, tak lama kemudian berturutan
masuk BBM yang mengklarifikasi: ‘’SMS dan
BBM yg beredar membawa bawa nama. Anggota DPR-RI. Dra Hj Yasti Soepredjo
Mokoagow yang membagi bagi pulsa gratis itu adalah salah satu bentuk fitnah dan
ingin menjatuhkan nama beliau. Di mohon agar tidak mempercayai BBM atau SMS
tersebut ##Sebarkan BC ini sebagai bentuk klarifikasi#.’’
‘’Perang’’ antara yang tidak dan yang mendukung Yasti S
Mokoagow di Pemilu April 2014 mendatang sudah terang-terangan berkobar. Dua
belah pihak sama-sama konyol. Pihak kontra melancarkan serangan tak cerdas dan
kekanak-kanakan; sementara pendukung Yasti Mokoagow membalas dengan
ketidak-cermatan anak SD. Lihatlah kandungan SMS dan BBM klarifikasi yang
mereka sebarkan, bahasa Indonesianya minta ampun cacat-celanya. Tidak mewakili
citra anggota DPR RI yang semestinya tertatalaksana, terutama dalam berbahasa.
Mana ada ‘’membawa bawa’’, ‘’membagi bagi’’, atau ‘’di
mohon’’ di bahasa Indonesia yang baik dan benar? Urusan berbahasa saja masih tak
karuan; bagaimana para pendukung ini merumuskan strategi dan taktik politik
‘’kelas tinggi’’, elegan, efektif, efisien, dan tepat sasaran mendukung
keterpilihan Yasti Mokoagow untuk kedua kalinya ke DPR RI?
Kegairahan (atau tepatnya nafsu besar) politik di kalangan
politikus di Mongondow memang menggebu-gebu tanpa dibarengi keinginan dan
kemampuan belajar yang sungguh-sungguh. Politik seolah-olah dimaknai sebagai
kepiawaian yang turun begitu saja dan melekat di diri seseorang, sepanjang dia
sudah bergiat di aspek-aspek praktisnya. Hasilnya, alih-alih kita melihat
politikus sebagai sosok yang membawa, menjadi, dan memberi harapan; yang tampak
adalah badut-badut dan artis kartun. Lebih minta ampun lagi, tokoh-tokoh di
sekitar mereka, yang semestinya menjadi supporting
tim, tak beda dengan segerombolan simpanse yang cuma bisa menciptakan
kebisingan.
Prasangka broadcast
‘’bagi-bagi rezeki’’ atas nama Yasti Mokoagow sebagai fitnah dan upaya
menjatuhkan nama baiknya, menjadi tafsir yang masuk akal bagaimana busuknya
politik praktis dipraktekkan (paling tidak) di Mongondow. Sedihnya, kebusukan
itu makin menyegat karena caranya yang absolut bodoh. Menjatuhkan politikus
sekelas Yasti Mokoagow, yang masih punya cadangan penasihat dan orang sekitar dengan
keterampilan strategi dan taktik politik berkapasitas tinggi, tak cukup hanya
dengan cara-cara konvensional sepele yang mudah dibaca dan diantisipasi.
Brutalitas tanpa otak yang dikelindangi keinginan banyak
pihak untuk terlibat (dan mengambil manfaat) politik praktis di Mongondow,
mesti sangat diwaspadai para politikus yang tulus dan bersungguh-sungguh
memilih politik sebagai ladang pengabdiannya. Kasus dugaan penistaan agama dan
sakralitasnya yang melibatkan nama Bupati Boltim, Sehan Lanjar; Harian Radar Bolmong; dan –belakangan
mencuatkan dugaan keikutsertaan— Ketua PAN Boltim, Sam Sachrul Mamonto, adalah
contoh nyata kotornya taktik para pemain politik praktis di Mongondow.
Sejak pekan lalu (Jumat, 21 Februari 2014), orang banyak
dibombardir fakta dan spekulasi kebenaran isu penistaan itu, apa motifnya, dan
siapa-siapa terduga di baliknya? Perkembangan terakhir menunjukkan, perhatian
publik terfokus pada Radar Bolmong
sebagai kreator dan pihak yang mempublikasi isunya dalam bentuk bbi, serta
Sachrul Mamonto yang ‘’konon’’ menjadi penyandang dana.
Benarkah demikian? Jumat (28 Februari 2014), Sachrul Mamonto
mengontak saya, menyampaikan versi dari sisinya –yang menurut dia diabaikan
oleh media yang gegar menyoroti isunya.
Menurut Ketua PAN Boltim ini: Pertama, wartawan Radar
Bolmong memang menghubungi untuk konfirmasi apakah dia bakal berkompetisi
di Pilbub Boltim 2015 mendatang atau tidak. Konfirmasi diberikan; dan untuk itu
kutipan pernyataannya di-bbi-kan agar tepat hingga titik-koma sebagaimana yang
disampaikan. Kedua, Sachrul Mamonto sama
sekali tidak mengetahui keseluruhan isi bbi yang dipublikasi Radar Bolmong. Dan ketiga, dia bingung dan keberatan karena belakangan di banyak
kesempatan Bupati Boltim secara terbuka menyatakan Sachrul Mamonto berada di
balik dugaan penistaan itu.
Saya menyambut baik komunikasi dengan Sachrul Mamonto dan menyarankan:
Pertama, kalau dia keberatan dan akan
mengadukan ke pihak berwenang (karena mengganggu kredibilitasnya, apalagi
sebagai calon anggota DPR di Pemilu April 2014 mendatang), maka siapkan seluruh
bukti tak terbantahkan. Bila buktinya lemah, langkah apapun yang diambil justru
kian merusak reputasi dan kredibilitas sendiri. Dan dua, andai versi Sachrul Mamonto 100 persen benar, maka mutlak Radar Bolmong memang berniat jahat dan
kotor terhadap Bupati Boltim serta Sachrul Mamonto. Dua tokoh ini sama-sama wajib
menjernihkan pangkal soalnya dan menuntut tanggungjawab pidana dari Radar Bolmong.
Cara terbaik menguak tuntas isu penistaan itu memang hanya
dengan masing-masing pihak menempuh upaya yang dijamin UU dan turunannya serta
aturan-aturan terkait lainnya. Tanpa bermaksud mendahului aparat berwenang, dengan
mempertimbangkan versi Bupati Boltim dan versi Sachrul Mamonto, tanggungjawab
pidana isu tampaknya mengerucut ke Radar
Bolmong.
Sekadar spekulasi, demi kepentingan cash in, koran ini sadar dan sengaja menceburkan diri ke tengah
praktek politik praktis di Mongondow, dengan saling menabrakkan tokoh-tokohnya
sembari meraup keuntungan dari bbi, bbk, advertorial,
dan apapun yang dapat mengalirkan duit ke kantong manajemennya. Yang
menggenaskan, cara yang dilakukan Radar
Bolmong sungguh kotor, jahat, dan jauh dari cerdas; sebagaimana broadcast ‘’bagi-bagi rezeki’’ yang
mengatasnamakan Yasti S Mokoagow.
Pertanyaan saya: Masak media yang kotor, jahat, bodoh, dan tak
profesional masih tetap dilanggani, dibeli, dan dibaca? Kemana kewarasan
orang-orang di Mongondow; terutama politikus dan Pemkab yang tetap menggunakan Radar Bolmong sebagai wahana komunikasi?
Apakah mereka juga sama kotor, jahat, dan bodohnya?***
Singkatan dan istilah
yang digunakan:
bbi: berita berbayar iklan; bbk: berita
berbayar koran; BBM: BlackBerry
Messenger; BC: Broadcast; Boltim:
Bolaang Mongondow Timur; DPR: Dewan
perwakilan Rakyat; DPW: Dewan
Pimpinan Wilayah; KK: Kota
Kotamobagu; Pemilu: Pemilihan Umum; PAN:
Partai Amanat Nasional; RI: Republik
Indonesia; SMS: Short Massage/Pesan
Pendek; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU:
Undang-undang.