GERUNDELAN, tanya,
dan kecewa menggantung di udara yang sarat asap rokok. Satu malam akhir pekan
lalu saya terus-menerus menyemburkan batuk –yang sudah mengganggu sejak
penerbangan dari Jakarta ke Manado, Rabu, 26 Maret 2014— sembari menatap
wajah-wajah kesal yang tengah reriungan.
Pertemuan sembari menatap hamparan permukaan kolam yang
menghitam memantulkan cahaya di malam yang menua itu, adalah kehadiran kesekian
saya di beberapa majelis yang hampir mirip. Isunya bukanlah tentang gonjang-ganjing
kampanye Pemilu 2014 yang sedang memasuki puncak hingar-bingarnya. Bagi lanskap
politik Bolmong Raya, bahkan KK, isu yang dideras orang-orang yang datang berhimpun,
kecil belaka.
Memang, di skala makro, apa signifikansi penggantian Lurah
Mogolaing bagi pemerintahan, birokrasi, dan dinamika
sosial-politik-kemasyarakatan di KK? Bukankah wajar belaka ada pergeseran dan
perubahan peta birokrasi dan birokrat (sebagai pelayan warga) di
periode-periode tertentu? Begitu istimewakah proses penggantian Lurah Mogolaing
hingga sejumlah tokoh dan orang-orang berpengaruh, tak hanya di kalangan warga
Mogolaing, mendadak berkumpul dan membahasa isunya dengan serius.
Bukan karena menjadi bagian dari Kelurahan Mogolaing sejak
sebelum dilahirkan lalu saya mampu memahami pentingnya isu ini di skala mikro
dan makro KK, khususnya intervensi politik sempit dalam penyelenggaraan
birokrasinya. Pergantian Lurah Mogolaing di antara (kalau tak salah ratusan)
perubahan jabatan yang dilakukan Walikota KK, Tatong Bara, dan Wawali Jainuddin
Damopolii, Kamis (27 Maret 2014), menjadi tanda awas berlanjutnya model
pemerintahan warisan mantan Walikota terdahulu, Djelantik Mokodompit.
Pemerintahan yang pengambilan keputusan birokrasi dan politiknya acak-acakan,
tanpa pertimbangan matang, hanya berlandas bisik-bisik dan kepentingan sempit,
serta jauh dari mengedepankan substansi fundamental: kenyamanan dan stabilitas
masyarakat.
Saya memang tak ambil pusing dengan rolling yang dilakukan Walikota- Wawali. Adalah hak prerogatif
mereka untuk melakukan perubahan kapan saja dengan menempatkan siapa saja,
sepanjang itu sejalan dengan hak dan kewajiban mereka sebagai Kepala Daerah.
Masalahnya, seorang atau dua Kepala Daerah semestinya menunjukkan apapun
kebijakan dan putusannya, telah dengan sungguh-sungguh diambil dengan
mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif.
Pertama, sejak
tumbangnya rezim Orba, umumnya Kepala Daerah di Indonesia adalah juga politisi
(karir maupun karbitan) yang terafiliasi dengan Parpol. Imbas dari fakta ini
adalah, pengambilan keputusan birokrasi yang memang tak lepas dari pertimbangan
politis dan politik, kian terjerumus pada politisasi. Penunjukkan seorang
Kepala SKPD misalnya, tak lepas dari intervensi persepsi loyalitas yang
melebihi kesetiaan birokrat profesional. Sederhananya, loyalitas Kepala SKPD
juga berkaitan atau dikaitkan dengan kesediaan turut mengindahkan kepentingan
Parpol yang terafiliasi dengan Kepala Daerah.
Kepentingan utama Parpol adalah mengikat (dan memperluas)
kesetiaan konstituen. Di tingkat paling kecil, salah satu yang sangat efektif
adalah perangkat kelurahan dan desa. Menguasai para perangkat di level pemerintahan terendah ini berarti
mengoptimalkan penetrasi pengaruh hingga ke akar rumput paling terbawah.
Dalam politik, the
winner takes all adalah hal lumrah. Tapi memanen keuntungan di saat tak
tepat, sama dengan menggali lobang neraka. Penggantian dan pergeseran jabatan
yang dilakukan Walikota-Wawali KK beberapa hari sebelum Pemilu 2014
dilaksanakan; adalah kedunguan yang
sulit dimaafkan. Kebijakan ini mudah dituduh sebagai upaya memenangkan Parpol
asal pasangan ini; atau lebih buruk lagi menunjukkan inkompetensi seorang
Kepala Daerah yang mestinya mengedepankan stabilitas dan keamanan agar Pemilu
2014 berlangsung sukses.
Dan kedua, Kepala
Daerah yang benar-benar menginginkan kemajuan wilayah yang dia pimpin, pasti
mengedepankan pertimbangan profesionalisme dan kinerja saat memilih dan menata
perangkat birokrasi pembantunya. Di kasus penggantian Lurah Mogolaing (sebagai contoh
paling terasa dan telanjang bagi warga kelurahan ini), adakah petimbangan itu
menjadi dasar utama? Di mana cacat profesional dan kinerja buruk mantan Lurah
yang baru menjalankan tugas kurang dari 1,5 tahun?
Sepanjang kehadiran saya di semua pertemuan dan pembicaraan
membahas nasib mantan Lurah, tak ada satu pun keberatan yang disuarakan. Bagi
warga Mogolaing, mantan lurah yang juga seorang jiow sejauh ini berhasil menunjukkan profesionalisme dan kinerja
optimal, yang salah satunya dibuktikan dengan netralitasnya di Pilwako 2013
lalu. Yang tak dapat ditampik, sudah menjadi semacam tradisi, masyarakat
Mogolaing sangat menghormati dan gigih menjunjung pemimpin lokalnya, terutama
mereka yang dianggap benar-benar menjadi pelayan dan pengayom masyarakat.
Tradisi yang sangat lokal ini dimanifestasi dengan masa
jabatan hampir semua Lurah Mogolaing yang rata-rata di atas delapan tahun.
Bahkan Lurah Ati Ginoga ‘’diminta’’ tetap meneruskan jabatannya beberapa waktu
setelah pensiun, karena kepemimpinannya memang minimal berhasil menjaga
kelurahan di jantung KK ini relatif aman-tenteram.
Maka wajar ada pertanyaan semacam ‘’Apa Lurah pe salah?’’; ‘’Ini
Walikota-Wawali mo kase tunjung dorang pe kekuasaan?’’; atau ‘’Kiapa so jadi sambarangan bagini ini
Walikota-Wawali?’’ dilontarkan terang-terangan. Sama dengan cacian bahwa
sejumlah pembisik Walikota yang diketahui dekat karena menjadi penyokong
politiknya, berlaku culas terhadap mantan Lurah, yang kepentingan akhirnya demi
meraup dukungan di Pemilu 2014. Orang-orang itu, yang namanya disebutkan dengan
tambahan ‘’Mo pilih pa dorang? Blum
stau!’’, sudah menjadi pengetahuan umum adalah lingkaran non struktural dan
non formal Walikota, yang pengaruhnya nyaris tanpa batas dan filter.
Menjadi pemimpin politik dan birokrasi pada akhirnya adalah
parade pengetahuan kompleks seseorang terhadap berbagai aspek terkait di
wilayah dan masyarakat yang dia ayom. Penggantian Lurah Mogolaing menjelang
Pemilu 2014 dengan cara yang tidak mempertimbangkan konteks sangat lokal,
menunjukkan Walikota-Wawali KK memang politisi dan pemimpin sangat amatir.
Mengecewakan betul. Terlebih, sekali pun Tatong Bara berlatar Matali, hampir
satu dasawarsa terakhir dia adalah penduduk Mogolaing, yang semestinya paham
dan khatam bagaimana laku dan tindak masyarakat di kelurahan ini.
Apa boleh buat, isu bagai api dalam sekam yang kini menjalar
di Kelurahan Mogolaing menjadi cermin kebijakan lebih besar Walikota-Wawali, setidaknya
di tingkat kecamatan dan Kota. Di Mogolaing, di awal masa pemerintahan mereka,
Walikota-Wawali sudah menyemai bibit yang cepat atau lambat bakal dituai
panenannya. Sebab, sebagaimana yang diutarakan seorang tokoh masyarakat termuka
di kelurahan ini, ‘’Mo ganti deng sapa
pun, nyanda masalah. Tapi depe waktu baganti deng cara baganti yang jadi
masalah.’’
Saya mesti mengingatkan, khususnya pada Walikota Tatong
Bara, cara masyarakat Mogolaing menghukum pemimpin yang dianggap tak karuan,
seringkali sangat menyakitkan. Mantan Walikota Djelantik Mokodompit sudah
merasakan, sebagai penduduk Kelurahan Mogolaing, dia dengan telak kalah di
tempatnya bermukim di Pilwako 2013 lalu. Dia di-delegitimasi oleh masyarakat
yang seharusnya menjadi jangkar sosial dan politik utamanya.
Saya lahir dan tumbuh di Mogolaing. Saya memahami apa yang
dipikir, dirasa, dan menjadi sikap masyarakatnya. Sebab itu juga yang kini
berkecamuk di benak dan hati saya. Para elit birokrasi dan politik di KK
tampaknya terlalu bebal mempelajari, bahwa mempercayai para pembisik tanpa reserve, tak beda dengan menarik gerbong
perlawanan dan delegitimasi. Diam-diam dan terang-terangan. Dan itulah yang kini dilakukan Walikota-Wawali
di Kelurahan Mogolaing.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang
Mongondow; KK: Kota Kotamobagu; Orba: Orde Baru; Parpol: Partai Politik; Pemilu:
Pemilihan Umum; Pilwako: Pemilihan
Walikota; SKPD: Satuan Kerja
Perangkat Daerah, dan Wawali: Wakil
Walikota.