SENIN, 21 Oktober
2013, saya mengunggah Selamat Pemred
(Wapemred?) Firman! Target ‘’Cash In’’ Menanti Anda. Artikel ini ditulis
menyambut dipromosinya Kepala Biro MP Bolmong, Firman Toboleu, menjadi Wapemred
Radar Bolmong.
Kendati mengimpikan ada media dengan para pewarta
independen, kredibel, dan profesional di Mongondow, saya tidak terlampau
optimis mengetahui penunjukkan Firman. Sekalipun posisinya sangat strategis
mengingat Pemred, Budi Siwanto, bukanlah seorang jurnalis (kriteria dipilihnya
dia memimpin koran yang mengklaim ‘’No. 1 di Bolmong Raya’’ bagi saya masih
tetap misteri). Boleh dibilang, Firman-lah yang bakal mengendalikan otak dan isi
perut media ini.
Pemahaman itu mendorong saya –dalam tulisan itu--
mengingatkan dia bahwa hanya ada dua pilihan. Menjadikan Radar Bolmong koran yang sesungguhnya dengan konsekwensi
melikuidasi kebijakan cash in; atau
patuh pada tuntutan cash in dan
lupakan serta selamat jalan pada praktek jurnalistik yang semestinya. Kurang
dari lima bulan sejak ditunjuk sebagai Wapemred, awal Maret 2014 ini kita tahu,
rekam jejak dan pengalaman Firman Toboleu tak kuasa melawan kebijakan ‘’para
dewa’’ di atasnya. Radar Bolmong tetap
perkasa dan membuta-tuli menegakkan kewajiban cash in pada para pewartanya.
Firman adalah sosok yang selalu menyenangkan. Begitu
menduduki kursi Wapemred kami tetap berteman di BBM. Dia tak menghapus kontak
saya, tetapi juga tidak pernah menyapa (saya pun demikian). Bagi saya,
dipertahankannya kontak BBM itu cukup mengherankan, mengingat di saat yang sama
saya menjadikan koran tempatnya bekerja (bahkan induknya, MPG) sasaran kritik,
sinisme, dan olok-olok. Bukan rahasia lagi, khususnya di Radar Bolmong, siapapun yang berani berhubungan dengan saya, sekadar
bertemu di kedai kopi dan tak segera menyingkirkan pantat sejauh mungkin,
terancam dikucilkan dan akhirnya disingkirkan.
Beberapa mantan wartawan Radar
Bolmong yang kini pindah ke media lain, termasuk yang memegang posisi penting seperti Yokman Muhaling, didepak (didahului penonaktifan untuk jangka
waktu yang tak ditentukan) konon hanya karena pernah duduk mendengarkan
bual-bual saya di Kopi Jarod Sinindian. Wartawan lain bernasib sama: dibikin
tidak nyaman dan akhirnya hengkang (atau dihengkangkan) hanya karena tanpa sengaja
ada di sekitar majelis ngalor-ngidul itu.
Tak pernah ada bukti ‘’konon’’ yang menempatkan saya seperti
musuh haram jadah Radar Bolmong. Para
eks pewarta koran ini, walau sudah bekerja di tempat lain, memilih tertawa atau
senyum kecut ketika saya mintai konfirmasi.
Mereka dengan santun mengemukakan memilih keluar (atau dikeluarkan,
tergantung perspektif mana yang digunakan) karena ingin mencari tantangan di
tempat lain. Sungguh arif dan bijaksana. Apa menyetorkan Rp 15 hingga 25 juta
(dan menjadi akumulatif bila tak mencapai target) per bulan ke kantong redaksi
masih kurang menantang? Bukankah di koran ini para pewartanya tak dituntut
pengetahuan jurnalistik, terutama UU Tentang Pers dan KEJ, kecuali keterampilan
menyedot dana dari sumber berita?
Mengetahui diposisikan seperti itu, saya jadi berhati-hati
melakukan kontak dengan teman-teman yang masih berkhimad di kelompok MPG.
Mengerikan betul hanya karena papasan di tengah riuh pasar, bercakap-cakap demi
sopan-santun sosial, tanpa sengaja dipergoki mulut ember, lalu kawan yang tak
bersalah itu diparia perusahaan tempatnya bekerja.
Yang agak menghibur, ternyata saya bukan satu-satunya orang
yang dianggap ‘’berbahaya’’. Sebab wartawan di kelompok penerbitan ini juga
harus waspada bereriungan dengan mereka yang mantan dan pindah ke penerbitan
saingan (misalnya Tribun Manado atau Sindo Manado), karena terancam surat
peringatan keras. Luar biasa hebatnya manajemen paranoid dan curiga yang
menjalar ke induk dan kerabat Radar
Bolmong, silaturrahim pun dianggap sebagai konspirasi makar.
Beberapa hari terakhir saya nyaris melanggar prinsip
kewaspadaan untuk tak menimbulkan masalah pada orang-orang yang saya kenal,
yang (masih) bekerja di bawah payung MPG. Kabar dinonaktifkannya Firman Toboleu
sebagai Wapemred Radar Bolmong akibat
bbi Jumat (21 Februari 2014) yang bermuatan sensitif SARA, hampir membuat saya
meraih telepon dan mengontak dia menanyakan kebenaran rumor yang lalu-lalang
itu. Untunglah kewarasan saya mengingatkan, informasi itu mungkin sekadar
pancingan dan bila saya teledor menghubungi Firman dan diketahui oleh entah
siapa, bisa jadi niat baik bersimpati dan empati malah berubah jadi peluru
eksekusi.
Sabtu, 1 Maret 2014, seorang kawan memberitahu benar adanya
Firman Toboleu dinonaktifkan. Informasi ini, Minggu, 2 Maret 2014, dikonfirmasi
pula oleh kawan lain yang tahu persis perkembangan di redaksi Radar Bolmong. Yang menonaktifkan adalah
direksi. Alasannya, sitir kawan pembawa kabar, karena ada gugatan hukum
terhadap bbi yang diedit oleh Firman.
Pikiran yang teracuni melahirkan keputusan bertuba. Pertama, bbi adalah kebijakan manajemen
Radar Bolmong yang wajib dipatuhi dan diburu oleh seluruh wartawan dan supporting staff-nya. Lepas dari apakah
Firman menulis, hanya mengedit, atau sekadar meloloskan bbi itu (karena
posisinya sebagai Wapemred), dia konsisten menegakkan kebijakan manajemen. Dan
bukankah sesuatu yang bersifat iklan, yang dipublikasi di media, pihak pertama
(dan utama) yang bertanggungjawab adalah pemasangnya?
Menonaktifkan Firman Toboleu adalah perlakuan semena-mena
dan cuci tangan. Manajemen Radar Bolmong
bertindak mendahului proses hukum dengan membuang seluruh tanggungjawab ke
pundak dia seorang.
Dan kedua, apa dan
siapa sebenarnya yang digugat (yang diketahui orang banyak adalah yang dilayangkan
Aliansi Masyarakat Muslim Bolmong Raya)? Bukankah yang digugat adalah Bupati
Boltim karena mengeluarkan yang dianggap menista agama dan sakralitasnya; serta
Radar Bolmong karena memuat
pernyataan itu? Menonaktifkan Firman Toboleu tidak membuat kewajiban pidana
koran ini gugur. Tindakan ini justru membuka peluang Radar Bolmong menganak-pinakkan masalahnya ke isu pengabaian hak
jurnalisnya untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Penonaktifkan itu juga menjadi kontradiksi karena
menunjukkan redaksi Radar Bolmong mengakui
isu sensitif SARA yang dipublikasi itu adalah 100 persen berita, bukan bbi. Dengan
demikian melepaskan terduga pemasang bbi dari tanggungjawab hukum. Konsekwensi
yang diakibatkan publikasi Sachrul Lawan Sehan di Pilbup 2015 Mulai Bergulir?
praktis hanya terpusat di pundak Radar
Bolmong dan Bupati Boltim.
Padahal, sebagai bbi, pihak yang harus bertanggungjawab
adalah: Bupati Boltim (bila benar dia mengeluarkan pernyataan gawat itu); Radar Bolmong (karena memuat sebagai
berita dan menerima suap), dan pemesan bbi (sebagai dalang penyebaran materi
penistaan agama dan sakralitasnya yang dapat memprovokasi orang banyak).
Kewajiban cash in memang
menjadi bencana. Prakteknya yang menghalalkan segala cara seperti pesugihan: wajib
dan rutin menyetorkan ‘’korban’’. Sudah begitu, hasilnya adalah ‘’duit setan
dimakan iblis’’. Hanya memakmurkan mereka yang ada ‘’di atas angin dan
kahyangan’’. Memangnya siapa direksi yang peduli dengan Firman Toboleu yang
pasti kebingungan sebab (sebagaimana praktek di MPG) penonaktifan itu langsung
pula menghentikan salary dan benefit-nya sebagai karyawan?
Promosi yang mestinya membuat karir Firman kian mencorong,
ternyata dengan cepat menjadi musibah. Yang menyedihkan, dia akan berpasrah karena
itulah satu-satunya jalan yang paling tidak merepotkan. Melawan direksi Radar Bolmong, apalagi MPG, memerlukan
lebih dari tekad dan kekeras-kepalaan. Firman Toboleu pasti memiliki tekad,
tapi saya meragukan kekeras-kepalaannya.
Saya bersimpati dan berempati pada Anda, Kawan Firman.
Biarlah solulokui diakhiri dengan mengutip seorang karib Anda yang sama
nelangsanya dengan saya: ‘’Tidak banyak Wapemred yang masih turun meliput.
Firman Toboleu adalah salah satunya. Sayang sekali dia harus dipatahkan oleh
jurnalisme cash in.’’***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
bbi: Berita
Berbayar Iklan; BBM: BlackBerry
Messenger; Bolmong: Bolaang
Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow
Timur; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; MP: Manado Post; MPG: Manado Post Group; Pemred:
Pemimpin Redaksi; SARA: Suku, Agama,
Ras, dan Antar Golongan; UU:
Undang-undang; dan Wapemred: Wakil
Pemimpin Redaksi.