BILA ingatan ini
tak selip, Selasa siang (25 Maret 2014) saya menerima kiriman tautan tulisan
Pitres Sombowadile, Kisah PAN dan Tragika
Yasti, yang dipublikasi situs www.okemanado.com.
Tersebab pekerjaan yang dihadapi menumpuk, setelah menyimak cepat, saya
mengirim terima kasih dan komentar pendek pada kawan yang meluangkan waktu
membagi informasi itu. Saya menuliskan, ‘’Biasa
kua’ itu. Skarang kan musim cari perhatian. Nyanda Caleg, nyanda tim sukses,
samua mo suka makang puji.’’
Rabu malam (26 Maret 2014), ditindih penat penerbangan
Jakarta-Manado yang disiapkan terburu-buru karena saya baru mendapat konfirmasi
beberapa jam sebelumnya, lalu perjalanan Manado-Kotamobagu; menjelang tengah
malam saya menyua pertemuan Yasti Soepredjo Mokoagow dengan ratusan orang di
salah satu desa di antara Inobonto-Kotamobagu. Saya menyaksikan bagaimana
anggota Komisi V DPR RI berlatar Mongondow ini berkomunikasi dengan
konstituennya; memaparkan apa yang sudah dilakukan untuk Sulut dan Bolmong Raya
khususnya; serta apa yang menjadi rencana ke depannya.
Dia, yang terdaftar sebagai Caleg Nomor 6 PAN Dapil Sulut di
Pemilu 2014 ini, sebagaimana Caleg-Caleg lain, tengah menjalani ritus lima
tahunan: Kembali menjajakan diri agar masyarakat pemilih melirik dan
menjatuhkan pilihan. Dan, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, dibanding Caleg DPR
RI berlatar Mongondow lain, Yasti jauh unggul dari berbagai aspek. Apa yang dia
lakukan terbukti dan dirasakan, dikomunikasikan, dan yang terpenting: Sejauh
ini dia cukup konsisten.
Tak urung, ditemani sebotol air mineral di warung yang
terletak tak jauh dari tempat pertemuan, saya menikmati keriuhan dialog Yasti
dengan konstituennya sembari mengingat-ingat kembali tulisan Pitres
Sombowadile. Sejatinya, saya tidak terganggu dengan apa yang dia tuliskan. Saya
mengenal Pitres sangat dekat; demikian pula dengan Yasti. Selebihnya, kalau pun
ada bisik-bisik saya terlibat dalam beberapa urusan terkait prestasi politik
Yasti, percayalah, itu hoax belaka. Sama
halnya dengan hoax yang dituliskan
Pitres Sombowadile ihwal kelahiran PAN dan bagaimana Yasti kini tampil menjadi
salah satu politisi papan atas (setidaknya) di Sulut.
Mari saya kisahkan catatan kaki lain di balik kelahiran PAN.
Tersebutlah satu majalah bernama UMMAT
yang pernah berjaya pada 1990-an hingga paruh 2000-an. Di malam-malam tertentu,
terutama menjelang deadline, saya –sesekali
bersama sastrawan AS Laksana-- kerap berada di ruang redaksi UMMAT. Para pengelola majalah ini
membolehkan saya reriuangan sepanjang tidak mengganggu kesibukan mereka.
Orang-orang itu kini tetap dikenal sebagai nama-nama beken di jagad (utamanya) sosial dan politik negeri ini: Hamid
Basyaib, Luthfi Assaukanie, Abdillah Toha, Syafe’i Anwar, Farid Gaban, dan di
banyak kesempatan ada pula Ihsan Ali-Fauzi serta Eep Saefulloh Fatah.
Majalah UMMAT-lah
yang terang-terangan menempatkan Amien Rais sebagai tokoh, salah satunya dengan
memilih dia menjadi Tokoh UMMAT pada
1998 (sebelum Soeharto mundur dan lahirlah orde reformasi). Karena itu, dengan
banyak lupa dan keterbatasan ingatan, saya sedikit mengetahui persis bagaimana
sesungguhnya muasal PAN yang cikal-bakalnya berkecambah dari MARA. Apalagi
belakangan saya bersentuhan cukup intens dengan beberapa nama yang diakui punya
andil melahirkan partai ini, semisal Goenawan Mohammad atau Rizal Pagabean. Yang
lain, katakanlah Fikri Jufri atau Sutrisno Bachir, di setiap pertemuan di mana
mereka hadir, saya puas menikmati jadi penonton dan penyimak yang takzim.
Agar tidak melantur kemana-mana dan mendadak saya ikut-ikutan
menggambar diri berkolor merah dilengkapi sarung yang melambai-lambai di
punggung, sekelumit sejarah kelahiran PAN dari versi yang tak ditemukan di
situs resmi Parpol ini, dapat disimak di: http://yoilah.blogspot.com/2012/04/sejarah-berdirinya-pan-dan-peranan-amin.html.
Tentu versi ini --dan versi-versi lainnya yang saya dengar langsung dari
aktor-aktor utama yang terlibat— agak berbeda dengan versi Pitres Sombowadile.
Mana yang benar, kita serahkan pada ‘’perasaan kepahlawanan’’ orang per orang,
khususnya mereka yang merasa terlibat, dilibatkan, tahu, atau bahkan sekadar
sok tahu.
Namun dengan merunut aktivitas ‘’memberi panggung’’ pada
Amin Rais oleh kalangan media (khususnya Harian Republika dan Majalah UMMAT)
berbulan-bulan sebelum orde reformasi ditahbiskan, kelahiran MARA; Tanwir
Muhammadiyah, 5-7 Juli 1998 di Semarang; hingga deklarasi PAN pada 23 Agustus
1998, saya agak sulit menempatkan peristiwa Mei 1998 di Bonn seperti yang
ditulis Pitres pada logika yang runut. Tidak mengherankan, sebab Pitres
terlibat kendati mengaku ada di pinggirnya saja; sedangkan saya cuma penonton
yang rajin bertepuk-tangan.
Sama halnya dengan saya gamang menempatkan peran mantan
Ketua DPR Sulut, Syachrial Damopolii, dengan karir politik Yasti yang dia bangun
sejak menjadi Koordinator Deklarasi PAN di Sulut, kemudian Ketua Departemen
Ekonomi dan Koperasi DPW PAN Sulut (1999-2000), hingga Ketua DPW PAN Sulut
(2006-2008). Saya cukup mengenal (sekali pun tak berani mengklaim sungguh akrab)
Syachrial Damopolii, politisi dengan kecerdasan politis alamiah di atas rata-rata
yang amat setia pada partainya, PG.
Syarial menjadi
tokoh penting masuknya Yasti ke ranah politik (demikian yang saya tafsir dari
kalimat Pitres, yang tapak logisnya memang membingungkan, ‘’Tetapi,
grafik kemajuan PAN di Sulawesi Utara tidak bisa dilepaskan dari Yasti
Soepredjo, yang setahu saya awalnya dia dibidani oleh Drs. Syachrial Damopolii
MBA….’’), saya curigai sebagai hasil tafakur berteman cap tikus atau saledo. Bahwa Yasti juga berhubungan
sangat baik dengan Syachrial Damopolii, bahkan pernah bersikukuh menyandingkan
dia dengan Tatong Bara pada Pilwako KK 2009, adalah fakta yang diketahui umum.
Namun, Syachrial mutlak tidak cawe-cawe dengan
pilihan Yasti berpolitik, apalagi ke PAN.
Tampaknya Pitres mengacaukan Syachrial Damopolii dengan
mantan Ketua DPW PAN Sulut, Almarhum JA Damopolii. Tokoh kedua ini, di banyak kesempatan,
diakui Yasti cukup berperan dalam karir politiknya. Setidaknya sebagai
‘’orangtua’’ yang mengayomi dan menjadi tempat bertukar-pikiran.
Malam itu, usai menonton pertemuan politik dengan Yasti
sebagai pemeran utamanya, pertanyaan kecil menggantung di kepala saya: Apa
motif Pitres mempublikasi artikel dengan judul yang juga dia karang-karang
sendiri itu (cobalah cari kata ‘’tragika’’ dalam bahasa Indonesia, Anda pasti
akan berakhir di ketiak ular, sebab yang benar adalah ‘’tragedi’’)? Pertanyaan
ini bahkan masih menggantung setelah saya marathon mengelilingi hampir seluruh wilayah
Mongondow, bertemu banyak orang, termasuk beberapa Kepala Daerah.
Di perjalanan dari kediaman pribadi Bupati Boltim, Sehan
Landjar, di Bunong menuju Manado, Minggu tengah malam (30 Maret 2014), sepercik
jawaban menggelegar di kepala saya: Artikel Pitres Sombowadile yang juga
diketahui menjadi ‘’penasihat’’ Caleg PG Dapil Sulut untuk DPR RI, Didi Moha,
adalah upaya belittling terhadap
Yasti. Terlebih ada frasa yang menyerang Yasti secara pribadi, kendati dia
bungkus dengan kalimat manis. Ah, sengaja atau tidak, politik kerap mampu
menampilkan watak seseorang yang sesungguhnya.
Sebab itu, pada akhirnya, menurut pendapat saya,
menakut-nakuti Yasti dengan parliamentary
threshold dan hasil survei tarhadap Parpol peserta Pemilu 2014, bakal
menjadi tragedi tersendiri untuk Pitres. Apalagi kalau PAN dan Yasti lolos dan
Caleg yang didukung Pitres justru tersungkur –sekaligus mengulang pengalamannya
di Pilkada Bolmong 2010 lalu.
Kenyataannya, di seluruh wilayah Mongondow nama Yasti memang
mendominasi. Ini tentu membuat Caleg lain dan pendukungnya meriang, tidur tak
nyenyak, makan dan minum tak enak. Termasuk Pitres-kah?***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang
Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow
Timur; Caleg: Calon Legislatif; Dapil: Daerah Pemilihan; DPR: Dewan perwakilan Rakyat; DPW: Dewan Pengurus Wilayah; MARA: Majelis Amanat Rakyat; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; RI: Republik Indonesia; dan Sulut:
Sulawesi Utara.