HASIL PSU di TPS V Kelurahan Mongkonai, KK,
Sabtu (12 April 2014), saya ketahui di
hari yang sama dari kabar yang tiba saat menghidupkan telepon di Bandara
Soekarno-Hatta. Kendati turut bersuka sebab Caleg Nomor 9 PAN Dapil Kotamobagu
Barat untuk DPR KK (yang memang secara pribadi dekat dengan saya), Anugrah
Begie Chandra Gobel, meraih suara signifikan di TPS ini, saya tak langsung
merespons informasi itu.
Lelah yang menggayuti punggung, berlanjutnya diskusi
beberapa detil pekerjaan dengan Direktur Bisnis dan Administrasi A+ CSR
Indonesia, Reza Ramayana (yang semobil dengan saya dari bandara ke rumah di
Jakarta Selatan), ditambah menyempatkan diri mengunggah tulisan di blog ini, membuat saya baru mengontak
adik-adik pada Minggu pagi (13 April 2014). Itu pun tidak spesifik tentang PSU,
melainkan perkiraan hasil Pemilu di Dapil Kotamobagu Barat berdasar catatan
yang mereka himpun dari para relawan
yang memantau perhitungan suara di TPS-TPS.
Kamis, 17 April 2014, di tengah perjalanan antara
Balikpapan-Samarinda, BBM saya menerima protes dari seorang kawan jurnalis karena
pekan lalu berada di Kotamobagu tapi menyembunyikan diri. Salah satu adik
kandung saya bahkan bertanya, ‘’Ada di
Mongkonai katu’ waktu PSU?’’ Mengingat saya bukan anggota komunitas hantu,
jin, atau demit yang punya kemampuan berpindah tempat hanya sekejap mata,
kebingunganlah yang menggantung di kepala.
Saya baru mengerti konteks protes dan pertanyaan itu setelah
beberapa menit kemudian menerima pesan berisi tulisan Pitres Sombowadile, Hantu Sok Tahu Katamsi, yang tampaknya
merespons Tragedi Kilah Akalbusyukus
(Sabtu, 12 April 2014) dan Ideologi
‘’Salesman’’ Obat Cacing (Minggu, 13 April 2014) yang berturut saya unggah.
Dengan tetap menjaga niat tak lagi memperpanjang debat tak bermutu dengan
Pitres, saya menyimak tulisannya dan berhenti di bagian tuduhan pekan lalu saya
(seolah-olah) berada di Kotamobagu dan sibuk dengan PSU di TPS V Kelurahan
Mongkonai.
Saya sungguh iba dengan Pitres. Dia gelap mata dan tak mampu
membungkus nafsu membabi-buta meruntuhkan kredibilitas saya, hingga
memamah-biak informasi apa saja yang sekiranya dapat dijadikan senjata
menyudutkan. Pit, sebagai orang yang pernah dianggap kawan (saya sendiri tetap
menempatkan Pitres sebagaimana karib yang lain), saya sekadar mengingatkan:
Tolong jangan persamakan saya dengan Anda yang terbiasa berdusta, manipulatif,
senang mengklaim dan mengaku-ngaku, serta syur dengan duga-duga dan spekulasi.
Beberapa hari sebelum Pemilu hingga tulisan ini dibuat, hanya
sesekali saya menengok urusan politik praktis. Saya tenggelam dengan pekerjaan
yang mengharuskan menempuh perjalanan panjang dan menyita waktu,
berpindah-pindah tempat dengan aneka moda transportasi. Dengan rendah hati saya
mengakui, saya sedang disibukkan urusan perut, supaya tidak menadahkan tangan
dan bergantung pada ‘’kebaikan hati’’ tuan dan puan politisi yang mesti di-services bahkan dengan menggadaikan
harga diri dan ideologi.
Tak lama setelah BBM berisi tulisan Pitres, dua nomor
telepon saya dibanjiri informasi yang sama, lengkap dengan dukungan agar
bereaksi sama kerasnya. Tak hanya BBM dan SMS, beberapa kawan menelepon, termasuk
yang pernah terlibat di Tabloid KABAR,
menyampaikan pendapat dan komentar berkaitan dengan ‘’kekalapan’’ Pitres. Tanggapan
saya pendek saja: ‘’Biar jo. Kita toh
nyanda rugi apa-apa. Kalu karna Pitres pe tulisan lalu orang so nimau’ bergaul
deng kita, trus apa depe masalah? Dia katu’ lagi cari makang.’’
Lagipula kalau mendiskreditkan saya membantu kawan
mendapatkan gantungan hidup atau tetap dipekerjakan; tidak kehilangan ego dan
kesombongan; tegak harga diri dan perasaan superior-nya,
saya benar-benar telah mengikhlaskan. Saya sudah membuktikan Pitres memerlukan
‘’tanah air’’ di Mongondow dan dukungan orang-orang yang masih dapat dia kais
simpati dan kekagumannya demi urusan asap dapur dan perut. Termasuk dengan
berganti-ganti ‘’kulit’’ bagai bunglon. Selebihnya, tidak ada yang personal.
Kalau dia kehilangan fokus lalu sibuk menyerang saya pribadi, orang boleh
mengecek siapa yang punya teman abadi dan siapa yang tidak.
Percakapan via telepon dengan (saya terpaksa menyebut nama)
Iverdixon Tinungki dan Reiner Ointoe, menyadarkan saya agar sekali lagi menulis
ihwal polemik yang sudah jauh melenceng dengan Pitres. Namun, tulisan ini tidak
ditujukan pada Pitres Sombowadile, melainkan sejumlah orang yang tahu
duduk-soal yang dipercakapkan, yang dengan baik hati menyampaikan simpati
terhadap saya.
Pertama, tentang
penggunaan kata ‘’tragika’’. Tulisan yang menjadi isu bukanlah puisi atau
sejenisnya. Pembaca yang paham berbahasa Indonesia yang baik dan benar, apalagi
ahli bahasa (setidaknya mereka yang lulusan jurusan Bahasa Indonesia), tahu
persis kebenaran koreksi saya. Bahwa ada pihak yang memaknai berbeda, urusan
yang bersangkutanlah. Yang terang-benderang saja dikabur-kabur dan
dibelit-belitkan, apalagi yang abu-abu dan samar.
Kedua, data, latar
dan motif Pitres menulis PAN dan Tragika
Yasti. Hasil survei yang dirilis lembaga-lembaga sigi (politik) sepanjang
Januari hingga Maret 2014 sangat dinamis, berbeda, bahkan membingungkan
kalangan awam. Tetapi seorang analis atau konsultan politik tentu punya
pengetahuan dan kehati-hatian dalam mengkonklusi hasil survei. Lain soal kalau
yang mengaku-ngaku itu ternyata sekadar keripik kentang.
LSI, misalnya, sebagaimana dikutip merdeka.com, Rabu (2 April 2014), berdasar survei 26-26 Maret 2014
di 33 provinsi menggunakan multistage
random sampling dengan 1.200 responden, meramalkan PAN hanya mendapatkan 3,0
persen suara. Namun, 3,0 persen tidaklah benar tanpa mengindahkan
‘’peringatan’’ bahwa margin of error
surveinya berada di kisaran 2,9. Artinya, 3,0 persen bisa berarti hanya 0,1
persen (yang jelas tidak masuk akal) atau justru 5,9 persen.
Pitres boleh berkelit dan berkilah dengan merujuk
angka-angka lembaga survei mana pun. Tapi tak jujur mengemukakan margin of error, dia hanya menyampaikan sebagian kebenaran;
sekaligus menyembunyikan kebenaran lain yang lebih mustahak dan penting bagi
kesadaran politik khalayak. Dengan begitu analisisnya tentu cuma konsumsi
tipu-tipu.
Sama dengan kepengecutan mengakui dia adalah tokoh utama tim
pendukung Didi Moha saat menulis artikel ‘’mengecilkan’’ Yasti Soepredjo
Mokoagow. Harus dinilai apakah perilaku seperti ini? Tokoh dengan kredibilitas
dan integritas yang layak diberi dua jempol? Bila demikian adanya, sekalian
saja kita beri gelar pahlawan pada para tukang tipu, maling, copet, dan garong.
Ketiga, saya baru
tahu beberapa hal yang selama ini samar-samar tentang Tabloid KABAR. Tampaknya memang ada perbedaan
ingatan antara fakta masa lalu dan apa yang dipercayai hari ini oleh satu
orang. Ingatan saya –juga teman-teman lain yang berkontak dua hari
terakhir—tidak ada yang berbeda. Contohnya, hanya ada tiga nama yang disepakati
di akte institusi yang menerbitkan KABAR
karena (sebagaimana alasan utama yang dikemukakan Pitres waktu itu) yayasan di
mana tabloid ini berinduk ‘’terafiliasi’’ dengan gerakan gereja. Hal lain,
mundurnya Reiner Ointoe (bersama Soewiryo Ismail) bukan karena saya; tetapi
karena ada kutu busuk dalam pengelolaan manajemen dan keuangan.
Demi menghindari kesilapan, Jumat pagi (18 April 2014) saya
sempat bertanya pada Reiner, apakah benar penyebab dia meninggalkan KABAR karena perbedaan pendapat teknis
(keredaksian) dengan saya? Jawabannya, diiringi tawa lebar, ‘’Sapa yang bilang itu? Torang memang banyak berbeda pendapat.
Bakalae lei. Tapi bukang itu depe soal.’’ Reiner juga mengkonfirmasi
peristiwa di LBH Manado, di mana saya pernah dipersoalkan oleh sejumlah aktivis,
bahwa memang semata karena kedekatan dengan seorang tokoh yang dianggap
mengancam ‘’perjuangan’’ kelompok.
Selebihnya, saya enggan menggali-gali jasad dan hantu masa
lalu. Bila orang-orang yang dulu pernah seiringan, berkarib dengan segala
perbedaan pendapat dan laku didudukkan bersama-sama dan semua iblis-iblis yang
dianggap sebagai ganjalan dibeber, saya yakin bukan saya yang malu dan
kehilangan harga diri. Orang-orang yang disebut-sebut Pitres di seluruh
tulisannya masih hidup, mudah dihubungi, dan tak akan menjadi pembela bila saya
memang manipulator dan pembohong tak berintegritas.
Dan keempat, saya
tak berminat berlebar-lebar ke urusan dengan pihak yang tak relevan seperti
Bupati Bolmong Salihi Mokodongan atau institusi lain di mana saya dikait-kaitkan
dan diulas oleh Pitres seolah-olah dia lebih tahu dan terlibat langsung
(sebagaimana halusinasi saya terlibat mengurusi PSU di TPS V Mongkonai). Sikap
saya sebagai orang Mongondow tegas dan diupayakan konsisten: Mengkritik yang
pantas dicela, mengapresiasi yang layak diakui. Demikian pula, sebagai pribadi
saya tak henti berikhtiar dengan kepala dingin dan akal sehat, sekali pun itu
bertentangan dengan pendapat kawan seiring. Putusan pribadi ini tak akan dibuka
di khalayak yang lebih luas kecuali orang per orang yang terkait langsung
mengundang umum terlibat.
Saya merespek setiap orang, hubungan-hubungan dari masa lalu
dan kini, dengan membedakan mana yang publik dan private. Mana yang layak diumbar dan mana yang sebaiknya ditutupi.
Sebab itu, sekali pun mudah mengisahkan sisi-sisi gelap Pitres, saya membatasi
hanya sampai di urusan yang terukur dan terkait dengan sepak terjang publiknya.
Semoga saya tidak pernah tergelincir menjadi kalap, merongrong kredibilitasnya
semata karena rivalitas yang tak perlu. Semata demi mempertahankan kepentingan
sesaat, sesuatu yang rapuh, dan sumir.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BBM: BlackBerry
Messenger; Bolmong: Bolaang
Mongondow; Caleg: Calon Legislatif; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; LBH: Lembaga Bantuan Hukum; LSI: Lingkaran Survei Indonesia; PAN: Partai Amanat Nasional; PSU: Pemungutan Suara Ulang; SMS: Short Message/Pesan Pendek; dan TPS: Tempat Pemugutan Suara.