TAUTAN FB tiba di
BBM saya bersama turunnya malam di langit Jakarta, Selasa (8 April 2014). Oh,
rupanya kawan saya, Pitres Sombowadile, terusik dengan Yasti yang saya unggah di blog
ini, Rabu (2 April 2014. Tulisan yang memang menyentil artikel PAN dan Tragika Yasti di www.okemanado.com, Selasa (25 Maret
2014), tampaknya membuat Pitres ‘’gatal-gatal’’ lalu menulis pembelaan diri
berapi-api, Ular Tangga Yasti untuk
Katamsi di FB-nya.
Pit (ini sapaan karib saya pada dia), santai saja. Saya
tidak terganggu dengan PAN dan Tragika
Yasti. Yang mengganggu saya adalah motif Anda, yang nanti akan diuraikan
setelah saya mengklarifikasi beberapa hal mustahak yang mesti dibeber terlebih
dahulu.
Pertama, siapakah
orang-orang yang ingin menanggapi tulisan di blog saya yang tidak diberi kesempatan? Simpulan bahwa saya berlaku
digjaya, selfi, bahkan komunikasi
masturbasi, berdasar bisik-bisik, aku-mengakui, atau hasil terawangan dan
nujuman Anda? Email yang disediakan sebagai ‘’Kotak Pos’’ untuk para penanggap
selalu dicek dan pesan yang masuk terakhir tercatat pada Jumat, 28 Maret 2014,
dari Yodi A Marendes, SE. Artikel yang dikirim Yodi tidak ada hubungan dengan aneka
tulisan yang diunggah di Kronik Mongondow,
baik sebagai tanggapan, komentar, apalagi kritik.
Sebelum menulis artikel ini pun saya masih mengecek kronik.mongondow@gmail.com, apakah
Pitres Sombowadile yang mengagungkan dialog, komunikasi, dan jawab-menjawab,
mengirim sesuatu karena merasa terusik dengan blog saya? Tentu tidak, karena keluhan ‘’penanggap yang tidak
diberi kesempatan’’ di Kronik Mongondow,
memang sekadar karang-karangan belaka. Dan tuduhan Pitres itu pantas didudukkan
sebagai cara berkelit yang tidak terpuji.
Kedua, perkara
kata ‘’tragika’’, saya tahu persis itu berasal ‘’bahasa’’ Esperanto yang
dikreasi oleh L. L. Zamenhof dan dipopulerkan lewat buku Unua Libro (1887). Masalahnya, apakah ‘’tragika’’ yang dimaksud
Pitres sama dengan pengertian tragika menurut Zamenhof? Yang paling gampang googling ‘’tragika’’ dan perhatikan
bahwa pengertian bahasa Inggris-nya adalah ‘’tragic’’; yang bila di-cross check berarti: 1) Causing or characterized by extreme
distress or sorrow; 2) of or relating to tragedy in a literary work.
Dengan demikian, Pit, harus Anda terjemahkan apa ‘’tragika’’
yang dimaksud di tulisan PAN dan Tragika
Yasti? Menulis (sesuatu yang bukan puisi) tak cuma pamer kemampuan
mengulak-alik bahasa hingga seolah aneh, luar biasa, dan memukau; juga
plastisitas sebagaimana pujian Anda pada Fahri Damopolii yang dianggap lebih
hebat menulis dari saya (sayangnya saya belum pernah melihat sepotong pun tulisan
dari penulis hebat ala Pitres ini di media mainstream
Indonesia); melainkan merunutkan ide dan mengemas menjadi sesuatu yang dipahami
jernih dan terang-benderang.
Setelah malang-melintang menulis bertahun-tahun, Anda kok
tidak lulus-lulus juga urusan sepele yang mestinya khatam di kalangan para penulis
(pemula sekali pun), ya, Pit? Soal menaruh kata yang tepat di tempat yang
sesuai. Judul yang salah sudah menunjukkan sejak mula sebuah tulisan memang tidak
membawa kandungan ide yang sincere
dan linier.
Ketiga, mari
diaminkan saya memang tidak mengerti hegemoni para politisi asal atau berlatar
Bolmong Raya; pula dangkal memahami rajutan dan kelindang relasi penguasa dan
kekuasaan di wilayah Mongondow. Tapi memangnya Pitres punya pemahaman yang
lebih baik dan komprehensif?
Wajar bila saya tidak tahu aspek-aspek luar biasa dan wah
perihal hegemoni, tetek-bengek penguasa, dan kekuasaan, terlebih yang politik
dan politis. Saya bukan tokoh publik, politisi, apalagi konsultan politik. Cuma
penulis blog yang kerap bikin jengkel
politisi, lebih khusus lagi pendukung fanatik (tak pakai otak) dan konsultan
politiknya.
Lain soal kalau Pitres yang tidak paham hegemoni, aneka biludak penguasa serta kusu-kusu kekuasaan, bisa-bisa politisi
yang dia konsultani (atau yang didukung) gagal terpilih, semisal kasus kalahnya
Cabub-Cawabup Limi Mokodompit-Meydi Pandeiroth di Pilkada Bolmong 2010 lalu. Dan
sebagai kawan, saya memang kuatir, kian hari kian banyak politisi yang dalam
timnya terdapat Pitres bakal gagal, karena karena konsultan (atau penasehat)
politiknya lebih sibuk mengurus lawan dan ‘’tragika’’-nya ketimbang menelaah
tragedi yang menghadang kandidat jagoannya.
Dan keempat,
dugaan saya-lah yang akan dimajukan oleh PAN dan Yasti merespons tulisannya,
cuma cara mengekspresikan kesombongan orang kepepet. Pit, saya memang bertemu
Yasti Soperedjo Mokoagow pada Rabu malam (26 Maret 2014) di Kotamobagu. Namun, maaf saja, percakapan kami (juga disaksikan sejumlah orang)
hingga menjelang Kamis pagi (27 Maret 2014), sama sekali tidak menyinggung
Anda, apalagi tulisan Anda. Banyak hal lebih penting yang layak dibahas
ketimbang perkara sepele megalomania Anda.
Terlebih jauh-jauh hari saya sudah mengingatkan Yasti soal parliamentary threshold PAN. Supaya
tidak sekadar debat kusir dan kuda bendi, baca saja Menimbang Mama Didi, Didi Moha, dan Yasti Mokoagow (http://www.kronikmongondow.blogspot.com/2013/07/menimbang-mama-didi-didi-moha-dan-yasti.html)
yang diunggah Selasa, 30 Juli 2013, di blog
ini. Boleh dibilang, Pit, apa yang Anda tulis tujuh bulan kemudian, buat saya
sudah basi, terkalkulasi, dan sama sekali tak menarik lagi.
Maka tibalah kita pada motif Pitres menulis PAN dan Tragika Yasti dan yang terkini, apalogi
Ular Tangga Yasti untuk Katamsi. Saya
memulai dengan pertanyaan: Apa kepentingan Pitres hingga secara khusus
menelisik elektabilitas PAN di Sulut dan peluang Yasti (sebagai salah satu petahana) terpilih lagi ke DPR RI dari Dapil Sulut di Pemilu 2014 ini? Pitres
adalah warga Sulut, tetapi dengan attachment
minimal dengan Mongondow; kecuali bahwa dalam 10 tahun terakhir dia melibatkan
diri dalam pikuk politik di Bolmong Raya sebagai konsultan, penasihat,
atau mendukung politisi tertentu di Pileg, Pilkada, dan Pilwako.
Kalau alasan bahwa dia analis, pengamat, pemerhati, tukang
telisik, bahkan penggosip politik, ada isu lain di skala Sulut yang yang lebih
besar dan menarik. Misalnya, bagaimana bila PDIP berhasil meraih lebih dari dua
kursi lalu tiba-tiba lokomotif utamanya, Olly Dondokambey, dijerat KPK
sebagaimana rumor yang bersiliweran belakangan ini? Apa jadinya andai tokoh
GMIM, Pendeta Nico Gara, yang dicalonkan Nasdem meraih suara terbanyak tapi
partainya gagal mencapai parliamentary
threshold?
Lebih ekstrim lagi, apa kata dunia kalau Caleg Nomor Urut 1
PG Dapil Sulut untuk DPR RI yang juga incumbent,
Didi Moha, ternyata gagal terpilih karena kalah suara dengan pesaing dari
partainya sendiri? Contoh terakhir tentu lebih maha penting bagi Pitres
Sombowadile yang kini –sebagaimana Pemilu 2009— adalah bagian (kalau bukan
tokoh sentral) tim pendukung Didi.
Saya mohon maaf sebesar-besarnya pada Didi Moha karena
terpaksa menyebutkan keterkaitannya dengan Pitres. Tetapi, penyebutan ini
sekaligus pengingat, posisi seorang politisi dengan konsultan, penasehat, atau
pendukung utamanya tak beda dengan wayang dan dalang. Ketika dalang melompat
masuk panggung meninggalkan wayangnya; pertunjukan cerai-berai dan tahulah kita
etika macam apa yang dianut dalang tak tahu diri itu.
Alih-alih menasehati, melatih, mengkreasi strategi dan
taktik agar politisi yang didukungnya sukses, Pitres justru naik pentas
menyerang Yasti Mokoagow yang memang (sebagaimana Didi Moha) menggarap Bolmong
Raya sebagai basis dukungan utamanya. Itu sebabnya, saya menilai PAN dan Tragika Yasti adalah belittling. Bentuk kampanye negatif (yang
susah payah dibungkus agar halus dan elegan) dengan tujuan menggerus
kepercayaan konsituen terhadap Yasti.
Dapatkah Pitres mendebat motif tak elok itu? Saya percaya
dia masih punya banyak kelitan yang siap dijadikan alasan. Meminjam pengandaian
yang dia rujuk, siapa yang tahu ular seperti apa yang ada di balik tangga?
Karenanya, demi berjaga-jaga, saya menyiapkan hadiah
buku-buku etika dan sebotol St. Emilion Bordoux. Barangkali dengan dikawani wine lezat lebih mudah buat Pitres
menyesap dan meresap etika seperti apa yang mesti ketat dianut seorang ‘’dalang
politik’’. Bukankah begitu baiknya, Pit?***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BBM: BlackBerry
Messenger; Bolmong: Bolaang
Mongondow; Cabup: Calon Bupati; Caleg: Calon Legislatif; Cawabup: Calon Wakil Bupati; Dapil: Daerah Pemilihan; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; FB: Facebook; GMIM: Gereja Masehi Injili Minahasa; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; Nasdem: Nasional Demokrat; PAN:
Partai Amanat Nasional; PDIP: Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pemilu:
Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pilbub: Pemilihan
Bupati (dan Wakil Bupati); Pileg:
Pemilihan Legislatif; Pilwako;
Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); RI:
Republik Indonesia; dan Sulut:
Sulawesi Utara.