PERTIKAIAN antar
warga Desa Ikhwan dan Doloduo, Dumoga, Kabupaten Bolmong, meletus Sabtu malam
(19 April 2014). Dari yang saya baca di sejumlah situs berita, rusuh ini dipicu
ulah mabuk-mabukkan sejumlah anak muda kurang kerjaan, lalu merembet jadi tawur
massal. Di saat yang sama satuan Brimob yang usai melakukan pengamanan pleno
KPU Bolsel melintas di TKP.
Entah harus disebut apa kondisi itu: api bertemu bensin,
atau bensin bersua kobaran. Yang jelas peluru berhamburan dan korban pun jatuh.
Ada dua fakta yang lalu jadi konsumsi umum: Pertama, versi kelompok yang mengaku
korban, yang beredar di media-media sosial –termasuk BC Sehan Ambaru yang
mengklaim sebagai juru bicara keluarga korban-- bahwa polisi bertindak semena-mena.
Melentuskan bedil tanpa pandang bulu. Enam orang mesti digotong ke RS. Maka
patut dituduh ada pelanggaran HAM berat. Dan kedua, sebagaimana keterangan Kapolres Bolmong, AKBP Hisar
Siallagan, Minggu (20 April 2014), polisi bertindak tegas demi menggendalikan
massa yang kalap. Ajudan Kapolres bahkan terkena peluru senapan angin.
Dengan simpati dan empati terhadap para korban yang jatuh,
dua versi yang mengemuka itu sepantasnya diterima dengan pandangan kritis yang
sama. Versi pertama, khususnya ‘’kampanye’’ bahwa polisi melakukan pelanggaran
HAM berat, menurut hemat saya adalah provokasi pahlawan kesiangan.
Bertahun-tahun pertikaian antar komunitas, antar desa, di Dumoga tak kunjung
terselesaikan. Dia hanya mereda ketika aparat berwenang turun tangan dengan
cara melampaui tegas.
Seingat saya, demi menjaga stabilitas dan keamanan, ada satu
masa TNI mesti dikerahkan membantu polisi di wilayah ini. Jangan tanya lagi
berapa banyak korban jiwa dan harta benda yang jatuh karena rusuh yang umumnya
dipicu urusan-urusan kecil: mabuk-mabukkan berujung perkelahian, penghadangan
dan pemerasan, dan sejenis kriminalitas kelas teri lainnya. Tatkala dua
kelompok massa berhadap-hadapan dan memakan korban, kemana otak HAM PNS yang
tetap gatal mengaku-ngaku aktivis seperti Sehan Ambaru?
Korban yang jatuh, terlebih yang terkena peluru aparat
(entah sekadar terserempet hingga yang telak menghujam daging), pantas mendapat
keadilan dengan diusut tuntasnya peristiwa ini. Tentu dengan memilah siapa
korban yang tersebab memang ikut serta di kerumunan massa yang saling
merengsek; dan mana yang dihajar peluru samata karena salah sasaran.
Masalahnya, setidaknya yang tergambar di media, para korban tidaklah dilanggar timah
panas saat meringkuk di balik selimut; selonjoran menonton televisi; atau
sedang khusyuk sholat atau doa malam.
Mereka, sekali pun berjarak (demikian pengakuan yang saya
simak di situs berita) cukup jauh dari kelompok yang sedang berhadap-hadapan
dengan parang terhunus, seliweran panah wayer, dan tembakan senapan angin, semuanya
berada di luar rumah. Risiko dari terlibat atau sekadar menonton bentrok massa
adalah turut terseret. Kalau bukan akhirnya menjadi pelaku, ya, jatuh sebagai
korban.
Sebaliknya, versi polisi bahwa tembakan diletuskan karena
massa yang bertikai tak lagi terkendali, mulanya tak saya telan mentah-mentah. Satuan
yang secara kebetulan memergoki rusuh adalah Brimob yang memang dilatih dan
terlatih sebagai pasukan pemukul; bukan jenis polisi yang terampil menangani
huru-hara dengan pendekatan persuasif. Dugaan saya, begitu menyua massa yang
saling lantak, senjata dikokang dan peluru disemburkan. Terlebih mereka sedang
dalam kondisi lelah setelah berhari-hari ditugaskan di mengawal pelaksanaan
Pemilu.
Kombinasi penat jiwa dan raga, sejarah rusuh yang kunjung padam
di Dumoga, serta massa yang jelas-jelas mengobarkan gangguan keamanan dan
ketertiban, efektif memantik tindakan tanpa kompromi dari Satuan Brimob.
Simpulannya, tak berlebihan bila tak ada cukup tindakan penenangan terhadap massa
yang beringas sebelum peluru bicara.
Semasa masih berhobi demonstrasi, dua jenis aparat yang
membuat kuduk bergidik adalah Brimob dan TNI (tak peduli dari angkatan dan
satuan mana): Mereka biasanya menggebuk dulu baru bertanya. Beda dengan aparat
kepolisian yang lebih terlatih dengan pendekatan yang tak semata-mata tegas (misalnya)
dari satuan Sabhara, Intel, bahkan Reserse, yang umumnya bertanya dulu baru
melayangkan tempeleng atau bogem.
Namun, Senin siang (21 April 2014), saya menganulir konklusi
itu tatkala menerima kabar dari seorang kawan jurnalis yang sedang berada di
TKP, bahwa bentrok Ikhwan dan Doloduo) berlanjut lagi. Tanpa peluru polisi,
korban tak henti berjatuhan. Setidaknya, sebagaimana yang dipublikasi situs totabuan.co (http://totabuan.co/2014/04/dua-kelompok-masa-kembali-saling-serang-empat-orang-kena-senapan-angin-dan-panah-wayer/),
empat orang lagi jadi korban kebodohan massal yang belum berujung di Dumoga
akibat hujaman panah wayer dan pelor senapan angin.
Kemana akal sehat dan kewarasan warga dua desa ini?
Tokoh-tokohnya, para orang tua, termasuk aktivis yang biasanya gempita
bersuara? Masak sih khalayak yang
lebih luas dari sekadar dua kelompok yang senang bertikai kalah pengaruh dan
kekuatan? Atau memang warga di dua desa ini lebih suka menyelesaikan masalah
paling sepele sekali pun dengan tebas-tebasan, panah-panahan, tembak-tembakan
(dengan senapan angin), dan bakar-bakaran? Kalau begitu adanya, yang pantas
dilakukan otoritas dan aparat berwenang adalah mengungsikan sesiapa yang tidak
berniat berkonflik dan selebihnya mempersilahkan yang berkehendak bunuh-bunuhan
untuk saling menghabisi.
Saya yakin orang banyak di Bolmong Raya sudah muak dan sakit
perut dengan kelakuan segelintir orang yang gemar berhuru-hara itu. Kita juga
tak habis pikir mengapa tawuran massal antar desa telah menjadi semacan budaya
(mirip pesta panen) yang kian dilestarikan di wilayah Dumoga. Sama halnya dengan
tanda-tanya seberapa serius aparat berwenang mengusut tuntas peristiwa sejenis,
menyeret dalang dan aktor-aktornya ke bui dengan hukuman maksimal agar ada efek
jera permanen. Pula, sejauh mana aparat sungguh-sungguh menjamin keamanan dan
ketertiban dengan tak segan-segan menembak di tempat setiap perusuh yang tak
kapok diperingatkan.
Akan halnya ancaman pelanggaran HAM, memangnya cuma
orang-orang tak berotak itu yang punya hak asasi?
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
AKBP: Ajun
Komisaris Besar Polisi; BC: Broadcast;
Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Brimob: Brigade Mobil; HAM: Hak Asasi Manusia; Kapolres: Kepala Kepolisian Resort; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Pemilu: Pemilihan Umum; PNS: Pegawai Negeri Sipil; RS: Rumah Sakit; TKP: Tempat kejadian Perkara; dan TNI: Tentara Nasional Indonesia.