MENGHARUKAN betul
upaya kawan saya, Pitres Sombowadile, menegakkan ego dan dada agar tak
kehilangan muka di depan tuan dan puan junjungannya, serta publik (khususnya
Bolmong Raya) yang dia kira mudah mempercayai bual-bual retorik. Kendati sejak
awal menyakini dia akan berkelit mati-matian (sebagaimana yang saya tulis
Selasa, 8 April 2014, Motif Politis Ular di
Balik Tangga), saya tetap terkejut membaca Katamsi yang Dangkal, yang tiba di email dan BBM saya, Kamis malam,
10 April 2014.
Bukannya fokus pada substansi isu, dia malah dengan sengit
menyerang, menyepak, dan mencakar-cakar, seolah ada sesuatu yang sangat
sensitif yang saya langgar. Padahal, saya cuma mengemukakan dua hal pokok:
kejujuran dan pemahaman terhadap etika yang memang menjadi penyakit laten
Pitres. Dengan tulisan serangan yang merambat dan mengait kemana-mana, dia
mempertontonkan satu lagi problem yang sesungguhnya sejak dulu saya mahfumi:
kelicikan persis penggambaran karakter Akalbusyukus oleh Uderzo dan Goscinny di
salah satu seri Kisah Petualangan Asterix,
Sang Penghasut (Sinar Harapan, 2004).
Baiklah, kita lanjutkan saja saling sahut ini sebagai
latihan otot jantung dan perasaan. Bahwa saya agak terlambat merespons, karena
tiga hari terakhir menghabiskan waktu menempuh perjalanan panjang yang lumayan
menguras energi. Saya kan punya pekerjaan yang harus diurusi, bukan sekadar petantang-petenteng
dukung-mendukung politisi yang memang menjadi profesi utama yang telah dilakoni
Pitres setidaknya lebih 10 tahun terakhir.
Pertama, Kronik Mongondow adalah blog pribadi dengan aturan yang saya
buat sesuka hati. Yang merasa terganggu dengan isinya, silahkan menempuh jalur
hukum menggunakan UU ITE; menulis sanggahan, koreksi, keberatan, dan sejenisnya
dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan saya akan mengunggah setara
dengan tulisan-tulisan lain; atau, yang lebih elegan, bikinlah blog
sendiri dan isi semau-maunya sebagaimana saya beria-ria dengan Kronik Mongondow.
Dibuka selebar-lebarnya keterlibatan siapa pun menulis di blog ini, sepanjang memenuhi kriteria
yang ditetapkan, dapat dibuktikan bukan omong kosong. Cukup banyak tulisan yang
dikirim ke kronik.mongondow@gmail.com
telah dipublikasi, termasuk yang mengkritik saya tanpa tedeng aling-aling.
Kedua, Pitres yang
saya kenal memang penulis dengan ide yang tak genah, berputar-putar, tetapi
dengan kesenangan terhadap klaim kepahlawan serta keyakinan menjulang dia
adalah salah satu yang terbaik di Sulut. Faktanya, saya tidak pernah ingat satu
artikel, tulisan, atau apalah, dari dia yang pernah di muat, sekurangnya di
media sekelas Koran Tempo, Kompas, atau Media Indonesia.
Maaf, Pit, tapi tulisan Anda memang tidak berkualitas.
Miskin ide dan compang-camping dalam bahasa. Contohnya adalah kata ‘’tragika’’
yang dengan baik hati saya koreksi, namun tetap mati-matian Anda kelit. Saya
segarkan lagi, ‘’tragika’’ (Esperanto) disamakan dengan ‘’tragic’’ (Inggris).
‘’Tragic’’ sendiri dalam bahasa Indonesia bukan diartikan ‘’tragedi’’,
melainkan ‘’tragis’’.
Kamus mana yang saya gunakan? Pertanyaan ini sama dengan
pengakuan Pitres bahwa dia sekadar meraba-raba bahasa Esperanto dan sama sekali
tidak mengetahui arti sesungguhnya ‘’tragika’’ serta penggunaannya, terutama
dalam konteks Indonesia. Maka pantaslah Kantor Balai Bahasa di Manado tidak
lagi menggunakan Pitres sebagai nara sumber.
Ketiga, saya
pernah menganalisis kiprah politik Drs. Syachrial Damopolii, MBA berkenaan
dengan respons terhadap tulisan Pitres? Pit, bolehkah ingatan saya yang dangkal
ini disegarkan, di mana dan kapan analisis itu pernah saya tulis atau
sampaikan? Tampaknya ada yang mengigau dan kebingungan di antara kita berdua.
Yang jelas, bukan saya orangnya.
Dalam soal memahami hegemoni, penguasa, dan kekuasaan
(terutama politik) di Mongondow, Pitres yang terlanjur meninggikan derajatnya,
buta terhadap sindiran. Saya, yang lahir dan besar di Mongondow dan tidak
berada di pinggiran pergaulan sosial, kenal dan tahu persis sepak-terjang
pemain-pemain politik utama daerah ini sejak mereka merangkak dari nol hingga
ke puncak tangga pengaruh dan kekuasaannya.
Saya bergaul dengan mereka sebagai orang yang datang dengan
harga diri dan indepensi. Bukan demi motif pekerjaan, kepentingan perut,
sebagaimana yang Anda lakukan selama ini. Kepentingan Anda menemui politisi,
pejabat publik, atau tokoh di Mongondow tidak lepas dari menjajakan jasa (atau
tepatnya omong kosong) konsultasi politik dan sejenisnya.
Di situlah letak perbedaan mendasar kita, Pit. Tanyakan pada
seluruh politisi, pejabat publik, atau tokoh-tokoh masyarakat di seluruh
Mongondow, mereka akan memastikan saya hanya hadir dan bertemu bila diundang.
Dan kalau itu dilakukan di tempat-tempat umum, cuma sangat sedikit orang (yang
jelas adalah Bupati Boltim, Sehan Lanjar, dan Yasti Soepredjo Mokoagow) yang
saya izinkan merogoh dompet membayari apa yang saya makan dan minum.
Keempat, tentang
keterkaitan Anda dengan Mongondow, Pit, mari kita jujur saja. Anda masuk ke
daerah ini, bersikap seolah-olah yang terhebat, dimulai karena Tabloid KABAR (media yang idenya 100 persen
lahir dari kepala saya) tengah sekarat setelah kepergian para perintisnya,
memerlukan dukungan agar tetap terbit. Anda merapat dan menjadikan KABAR pendukung Bupati (ketika itu)
Marlina Moha-Siahaan. Buktinya, jejerkan saja nomor-nomor terakhir sebelum KABAR tewas dan baca kembali apa isinya;
atau mari kita undang mantan-mantan wartawannya dan sama-sama mendengarkan kesaksian
mereka.
Mongondow, bagi saya, adalah tempat di mana semua orang
boleh datang dan diberi tempat terhormat. Anda pun dipersilahkan. Tentu dengan
ketahu-dirian, bahwa keterkaitan yang Anda sebut (orangtua berasal dan hidup
sekian lama di Sangtombolang, Bolmut,
dan Jiko Molobog, Boltim, di 1950-an sebelum pindah ke Manado), tidak serta
merta menjustifikasi Anda adalah orang Mongondow. Tunjukkan bukti faktual bahwa
Anda yang pernah menjadi Caleg PDIP di Sangihe-Talaud memang memproklamirkan
diri sebagai orang Mongondow. Yang sederhana, KTP misalnya.
Klaim sebagai
bagian dari Mongondow, lengkap dengan alasan menulis buku ini-itu, adalah upaya
mencari ‘’tanah air’’ yang saya sambut dengan kesenangan luar biasa. Tetapi, Pit,
Anda mengaku menjadi Mongondow sekarang ini karena hanya di wilayah inilah
masih diterima dan mendapatkan gantungan hidup. Tidak lebih dan kurang. Itu pun
oleh orang-orang yang jumlahnya kian sedikit dan sempit.
Kelima, saya (sekali lagi) tidak peduli Pitres mau menulis apa dan dibaca
oleh siapa; sepanjang dia secara jujur dan terbuka membeberkan indentitas diri,
posisi, dan sumber-sumber yang dirujuk. Masalahnya, ketika menulis PAN dan Tragika Yasti dengan mengutip sumber
survei yang entah kapan dan oleh siapa, dia adalah anggota tim pendukung Didi
Moha, rival politik Yasti di Pemilu 2014. Dua politisi asal dan berlatar
Mongondow ini, masing-masing dari PG dan PAN, sama-sama incumbent yang menyasar konstituen Bolmong Raya sebagai basis
utamanya.
Dengan
takaran apapun, publikasi itu adalah cara tidak etis dan tidak jujur menyerang
pesaing politik. Permainan kotor dan tikaman yang seolah-olah demi mendorong
kesadaran politik publik pemilih. Seolah-olah sedang menggugah konstituen agar
memilih orang yang ‘’bersih’’ dari partai yang pasti lolos parliamentary threshold. Jadi, Anda memang cacat etika, tidak jujur,
dan manipulator yang percaya diri ulung dan tak bakal ditelisik atau dikoreksi.
Dan keenam, sangat benar saya pernah
dipersoalkan oleh sejumlah aktivis yang kerap berkumpul di LBH Manado, tetapi
bukan saat lembaga ini berkantor di Rike, melainkan di Pakowa (ingatan Anda
benar-benar celaka payahnya, Pit). Urusannya bukan pula tentang perut atau
penghianatan, melainkan keberatan karena saya tak sudi dibatasi berhubungan
dengan siapa pun, terutama sejumlah orang yang dianggap sebagai ‘’musuh’’ oleh
kelompok pemrotes itu.
Berbeda
dengan Anda, saya tak terbiasa menelikung kawan. Toh pada akhirnya, bertahun kemudian mereka yang pernah menjadi
pemrotes itu tetap menjadi kawan, bahkan menjalin hubungan dengan orang-orang
sejenis yang pernah dijadikan alasan menyerang saya. Hingga saat ini, evolusi
kawan-kawan itu (termasuk ideologi yang mereka anut) tidak saya jadikan alat
menyerang atau mengolok-olok.
Nah, Pit,
sebelum dada Anda kian sesak (lagipula saya risih mengungkap hal-hal yang telah
dimaafkan), tolong diingat-ingat bagaimana kami yang pernah seiringan dengan
Anda mengikhlaskan ditelikung saat kita sama-sama mengelolah KABAR. Itu saja dulu.
Selebihnya,
beber saja data survei mana dan kapan yang dirujuk saat menulis PAN dan Tragika Yasti. Demikian pula,
akui saja Anda memang menjadi salah satu tokoh utama tim pendukung pesaing
politik Yasti di Pemilu 2014. Akan halnya motif, dengan membuka semua
sejujur-jujurnya, saya (dan mungkin segelintir orang yang biasanya sekadar tersenyum
kecut) pasti memahami: Apa yang Anda lakukan bukan soal perut, tetapi kerja
profesional dengan ideologi dan niat yang tak busuk. Dengan bersembunyi di
balik aneka kilah, syak yang paling mungkin Anda memang hanya membela urusan
perut agar tetap dipekerjakan.
Akhirnya, tak
usahlah menguji integritas, apalagi independensi saya. Isu yang kita bahas
bukanlah tentang saya; tetapi tentang integritas Anda. Itu pun kalau Anda
memilikinya.***
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang
Mongondow Utara; Boltim: Bolaang
Mongondow Timur; Caleg: Calon
Lagislatif; ITE: Informasi dan
Transaksi Elektronik; KTP: Kartu
Tanda Penduduk; LBH: Lembaga Bantuan
Hukum; PDIP: Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan; Pemilu:
Pemilihan Umum; dan UU:
Undang-undang.