Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, April 13, 2014

Ideologi ‘’Salesman’’ Obat Cacing

BEBERAPA menit jelang pukul 00.00 Wita, Sabtu (12 April 2014), BBM saya menerima rekaman suara dan rangkaian foto sangat menggelikan, meruapkan kantuk yang kental menggantungi kelopak mata. Rekaman dan gambar-gambar ini sejatinya dikirim sebagai respons terhadap tulisan Tragedi Kilah Akalbusyukus yang saya unggah kurang dari satu setengah jam sebelumnya.

Tak ada teka-teki sebab pengirimnya menyertakan keterangan. Semuanya (rekaman suara dan foto-foto) diambil di Boltim saat pertemuan dan pengukuhan tim pendukung pemenangan Caleg PG Dapil Sulut untuk DPR RI, Didi Moha.

Mendengarkan rekaman suara yang dikirim itu, tawa saya meledak. Oh, rupanya anggota tim pemenangan dikukuhkan dengan mengucapkan janji yang langsung dipimpin Didi. Sungguh sangat ‘’djaman doeloe’’ dan sontak mengingatkan saya pada upacara-upacara sejenis ketika mantan Bupati Marlina Moha-Siahaan memimpin Bolmong.

Di masa itu bahkan lebih ‘’seram’’ lagi sebab PNS yang dipromosi tidak sekadar mengucapkan sumpah jabatan. Mereka juga wajib melewati ritual bai’at pengikat loyalitasnya pada Bupati.

Bahkan setelah lebih 15 tahun Orba tumbang, praktek-praktek politik mirip sekte keagamaan yang menghina akal sehat dan miskin imajinasi masih dilestarikan. Alih-alih menggugah kesadaran dengan visi, misi, dan ide-ide besar, yang dilakukan adalah upacara yang tak beda dengan konser bebek. Terlebih, konduktornya tak lain dan tak bukan adalah Pitres Sombowadile.

Sama seperti rekaman suara, foto-foto yang saya terima sama kocaknya. Selain bagi-bagi amplop yang semestinya layak jadi bukti politik uang (tapi percuma mengingat Panwaslu di Mongondow tampaknya diseleksi dari golongan picek, tuli, dan terkebelakang), serangkaian frame itu bagai menendang jidat saya. Dari Pitres ber-polo shirt tengah bercakap-cakap dengan Didi Moha; Pitres menggunakan kemeja kuning berlambang PG; hingga Pitres dengan kemeja yang sama –ternyata dihiasi gambar wajah Didi di sisi kanan—tengah memberikan presentasi.

Lalu mendadak saya merasa bersalah karena sejak Rabu, 2 April 2014, telah mengunggah tiga tulisan yang mengkritisi Pitres dan apa yang dia lakukan di Bolmong Raya, khususnya berkaitan dengan kampanye Pemilu 2014 dan persaingan politik antara anggota DPR RI berlatar Mongondow, Didi Moha dan Yasti Soepredjo Mokoagow yang berasal dari PAN. Andai rekaman suara dan foto-foto itu diterima jauh hari sebelumnya, saya tidak akan pernah menulis apapun tentang Pitres, utamanya yang berkaitan dengan motif dan kepentingannya menulis PAN dan Tragika Yasti.

Begini, pembaca, yang terindah dari pertemanan adalah selalu menempatkan seorang kawan sebagaimana keinginannya dipersepsi oleh para karib dan umum yang lebih luas. Pitres yang saya kenal berpuluh tahun tak henti memelihara dan meyakinkan orang banyak bahwa dia adalah sosok dengan ideologi tegas: Seorang pemikir cerdas yang independen; kukuh dan lurus dalam sikap; berani dan teguh membela yang benar –sekaligus pantang mundur di hadapan yang bathil--; serta berpihak pada akal sehat dan kepentingan publik. Pendek kata, ideologinya adalah jalan lurus orang-orang terhormat.

Pitres mengekspresikan ideologi yang dia anut dengan sikap yang seolah-olah tampa kompromi. Setidaknya itu yang diperlihatkan di hadapan saya dan kebanyakan orang yang mengenal dekat dia. Dan saya mengaminkan tanpa reserve. Dalam pertemanan, saya hanya mengenal dua hal: Jika percaya, maka 100 persen percaya. Bila tidak, maka mesti 100 persen tidak percaya pula.

Kepercayaan itulah yang digoyahkan oleh rangkaian foto bagi-bagi amplop di depan mata Pitres serta persulihannya dari polo shirt ke uniform kuning berlambang PG, berhias foto Didi Moha. Bagaimana mungkin kawan yang dengan gagah-berani menuding banalisme praktek politik uang, yang mewartakan demokrasi sebagai jalan suci berbangsa dan bernegara, membiarkan perilaku itu lalang-lalang di depan hidungnya? Bahkan dia sendiri turut serta di dalamnya.

Bagaimana saya tak terpukul melihat foto-foto kawan yang selalu mengaku melawan tirani Soeharto dan alat-alatnya, sekarang dengan sukarela mengenakan pakaian dengan lambang yang identik dengan salah satu ‘’kanon’’ kekuasaan Orba? Bagaimana pula saya mempertahankan keyakinan bahwa Pitres adalah pemikir yang ideologis, bukan sekadar tukang atau salesman yang terpaksa menjaja produk yang bertolak belakang dengan nilai-nilai anutannya, sebab perut dan kepentingan hidup jauh lebih penting dibanding nilai-nilai luhur?

Hati kecil dan kewarasan saya menolak mempercayai seorang Pitres Sombowadile kini menggadaikan segala yang dia khotbahkan hanya demi kepentingan jangka pandek. Saya tidak mempercayai dia telah berubah menjadi sekadar event organizer atau penjual produk yang setiap saat berganti tampilan demi kepentingan klien. Sungguh, tak pernah terlintas di benak membayangkan hari ini dia berdandan dengan pakaian bergambar obat cacing karena produk inilah yang sedang dijajakan; besok shampoo anti ketombe sebab kliennya adalah produsen consumer goods; dan lusa pil diare demi memuaskan perusahaan farmasi yang diurusi

Yang saya pahami, dengan ideologi yang dianut sungguh-sungguh, seorang pemikir, cendekiawan, intelektual, atau apapun sebutan yang disematkan, semestinya seperti ikan di samudera. Air laut yang asin tidak mengubah warna dan rasa seekor ikan, semata-mata karena dia berenang dan berkubang garam.

Bertolak belakang dengan pikiran-pikiran saya yang biasanya radikal dan tak mau tahu, kali ini saya menolak mengubah persepsi yang terbentuk bertahun-tahun terhadap Pitres. Sekali pun faktanya sama sekali berbeda dengan kekinian. Tersebab itu, setelah tulisan ini, saya berhenti menyahuti dia. Kalau mengecilkan Yasti efektif sebagai cara Pitres menjajakan produknya, saya berharap yang menjadi obyek tidak berkecil hati. Demikian pula, bila menyerang saya dengan fakta-fakta yang dimanipulasi dan dikaburkan menolong apa yang sekarang dia tekuni, dengan kerendahan hati saya ikhlaskan dan persilahkan.

Bila yang disiarkan Pitres berkaitan dengan saya berdampak buruk, siapa yang hirau? Saya tidak memerlukan barisan pengikut yang memuja-muja atau dipaksa terkagum-kagum terhadap retorika, heroisme, dan klaim kejagoan. Kepentingan saya setiap kali berada di Mongondow sederhana belaka: reriuangan dengan majelis Kopi Jarod; diskusi dan debat di persamuhan bebek pedas; dan berbual-bual dengan kalangan terdekat. Selebihnya, menjelajahi Bolmong Raya dengan jeans dan t-shirt bertulis aneka-rupa, sesuka suasana hati saya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Caleg: Calon Legislatif; Dapil: Daerah Pemilihan; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; Orba: Orde Baru; PAN: Partai Amanat Nasional; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; PNS: Pengawai Negeri Sipil; RI: Republik Indonesia; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wita: Waktu Indonesia Tengah.