BEBERAPA menit
jelang pukul 00.00 Wita, Sabtu (12 April 2014), BBM saya menerima rekaman suara
dan rangkaian foto sangat menggelikan, meruapkan kantuk yang kental
menggantungi kelopak mata. Rekaman dan gambar-gambar ini sejatinya dikirim
sebagai respons terhadap tulisan Tragedi
Kilah Akalbusyukus yang saya unggah kurang dari satu setengah jam
sebelumnya.
Tak ada teka-teki sebab pengirimnya menyertakan keterangan. Semuanya
(rekaman suara dan foto-foto) diambil di Boltim saat pertemuan dan pengukuhan
tim pendukung pemenangan Caleg PG Dapil Sulut untuk DPR RI, Didi Moha.
Mendengarkan rekaman suara yang dikirim itu, tawa saya
meledak. Oh, rupanya anggota tim pemenangan dikukuhkan dengan mengucapkan janji
yang langsung dipimpin Didi. Sungguh sangat ‘’djaman doeloe’’ dan sontak
mengingatkan saya pada upacara-upacara sejenis ketika mantan Bupati Marlina
Moha-Siahaan memimpin Bolmong.
Di masa itu bahkan lebih ‘’seram’’ lagi sebab PNS yang
dipromosi tidak sekadar mengucapkan sumpah jabatan. Mereka juga wajib melewati
ritual bai’at pengikat loyalitasnya pada Bupati.
Bahkan setelah lebih 15 tahun Orba tumbang, praktek-praktek
politik mirip sekte keagamaan yang menghina akal sehat dan miskin imajinasi
masih dilestarikan. Alih-alih menggugah kesadaran dengan visi, misi, dan
ide-ide besar, yang dilakukan adalah upacara yang tak beda dengan konser bebek.
Terlebih, konduktornya tak lain dan tak bukan adalah Pitres Sombowadile.
Sama seperti rekaman suara, foto-foto yang saya terima sama
kocaknya. Selain bagi-bagi amplop yang semestinya layak jadi bukti politik uang
(tapi percuma mengingat Panwaslu di Mongondow tampaknya diseleksi dari golongan
picek, tuli, dan terkebelakang), serangkaian frame itu bagai menendang jidat saya. Dari Pitres ber-polo shirt tengah bercakap-cakap dengan
Didi Moha; Pitres menggunakan kemeja kuning berlambang PG; hingga Pitres dengan
kemeja yang sama –ternyata dihiasi gambar wajah Didi di sisi kanan—tengah
memberikan presentasi.
Lalu mendadak saya merasa bersalah karena sejak Rabu, 2
April 2014, telah mengunggah tiga tulisan yang mengkritisi Pitres dan apa yang
dia lakukan di Bolmong Raya, khususnya berkaitan dengan kampanye Pemilu 2014
dan persaingan politik antara anggota DPR RI berlatar Mongondow, Didi Moha dan
Yasti Soepredjo Mokoagow yang berasal dari PAN. Andai rekaman suara dan
foto-foto itu diterima jauh hari sebelumnya, saya tidak akan pernah menulis
apapun tentang Pitres, utamanya yang berkaitan dengan motif dan kepentingannya
menulis PAN dan Tragika Yasti.
Begini, pembaca, yang terindah dari pertemanan adalah selalu
menempatkan seorang kawan sebagaimana keinginannya dipersepsi oleh para karib
dan umum yang lebih luas. Pitres yang saya kenal berpuluh tahun tak henti
memelihara dan meyakinkan orang banyak bahwa dia adalah sosok dengan ideologi
tegas: Seorang pemikir cerdas yang independen; kukuh dan lurus dalam sikap;
berani dan teguh membela yang benar –sekaligus pantang mundur di hadapan yang
bathil--; serta berpihak pada akal sehat dan kepentingan publik. Pendek kata,
ideologinya adalah jalan lurus orang-orang terhormat.
Pitres mengekspresikan ideologi yang dia anut dengan sikap
yang seolah-olah tampa kompromi. Setidaknya itu yang diperlihatkan di hadapan
saya dan kebanyakan orang yang mengenal dekat dia. Dan saya mengaminkan tanpa reserve. Dalam pertemanan, saya hanya
mengenal dua hal: Jika percaya, maka 100 persen percaya. Bila tidak, maka mesti
100 persen tidak percaya pula.
Kepercayaan itulah yang digoyahkan oleh rangkaian foto bagi-bagi
amplop di depan mata Pitres serta persulihannya dari polo shirt ke uniform
kuning berlambang PG, berhias foto Didi Moha. Bagaimana mungkin kawan yang
dengan gagah-berani menuding banalisme praktek politik uang, yang mewartakan
demokrasi sebagai jalan suci berbangsa dan bernegara, membiarkan perilaku itu
lalang-lalang di depan hidungnya? Bahkan dia sendiri turut serta di dalamnya.
Bagaimana saya tak terpukul melihat foto-foto kawan yang
selalu mengaku melawan tirani Soeharto dan alat-alatnya, sekarang dengan
sukarela mengenakan pakaian dengan lambang yang identik dengan salah satu
‘’kanon’’ kekuasaan Orba? Bagaimana pula saya mempertahankan keyakinan bahwa
Pitres adalah pemikir yang ideologis, bukan sekadar tukang atau salesman yang terpaksa menjaja produk
yang bertolak belakang dengan nilai-nilai anutannya, sebab perut dan
kepentingan hidup jauh lebih penting dibanding nilai-nilai luhur?
Hati kecil dan kewarasan saya menolak mempercayai seorang
Pitres Sombowadile kini menggadaikan segala yang dia khotbahkan hanya demi
kepentingan jangka pandek. Saya tidak mempercayai dia telah berubah menjadi
sekadar event organizer atau penjual
produk yang setiap saat berganti tampilan demi kepentingan klien. Sungguh, tak
pernah terlintas di benak membayangkan hari ini dia berdandan dengan pakaian
bergambar obat cacing karena produk inilah yang sedang dijajakan; besok shampoo anti ketombe sebab kliennya
adalah produsen consumer goods; dan
lusa pil diare demi memuaskan perusahaan farmasi yang diurusi
Yang saya pahami, dengan ideologi yang dianut
sungguh-sungguh, seorang pemikir, cendekiawan, intelektual, atau apapun sebutan
yang disematkan, semestinya seperti ikan di samudera. Air laut yang asin tidak
mengubah warna dan rasa seekor ikan, semata-mata karena dia berenang dan
berkubang garam.
Bertolak belakang dengan pikiran-pikiran saya yang biasanya
radikal dan tak mau tahu, kali ini saya menolak mengubah persepsi yang
terbentuk bertahun-tahun terhadap Pitres. Sekali pun faktanya sama sekali
berbeda dengan kekinian. Tersebab itu, setelah tulisan ini, saya berhenti
menyahuti dia. Kalau mengecilkan Yasti efektif sebagai cara Pitres menjajakan
produknya, saya berharap yang menjadi obyek tidak berkecil hati. Demikian pula,
bila menyerang saya dengan fakta-fakta yang dimanipulasi dan dikaburkan
menolong apa yang sekarang dia tekuni, dengan kerendahan hati saya ikhlaskan
dan persilahkan.
Bila yang disiarkan Pitres berkaitan dengan saya berdampak
buruk, siapa yang hirau? Saya tidak memerlukan barisan pengikut yang
memuja-muja atau dipaksa terkagum-kagum terhadap retorika, heroisme, dan klaim kejagoan.
Kepentingan saya setiap kali berada di Mongondow sederhana belaka: reriuangan
dengan majelis Kopi Jarod; diskusi dan debat di persamuhan bebek pedas; dan
berbual-bual dengan kalangan terdekat. Selebihnya, menjelajahi Bolmong Raya dengan
jeans dan t-shirt bertulis aneka-rupa, sesuka suasana hati saya.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BBM: BlackBerry
Messenger; Bolmong: Bolaang
Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow
Timur; Caleg: Calon Legislatif; Dapil: Daerah Pemilihan; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; Orba: Orde Baru; PAN: Partai Amanat Nasional; Pemilu:
Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; PNS: Pengawai Negeri Sipil; RI: Republik Indonesia; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wita: Waktu Indonesia Tengah.