KAMPANYE Pileg,
kata anak muda dengan rambut dicukur pendek beranting bulat menggantung di
telinga kanannya, ‘’Adalah kesempatan jual diri di tengah riuhnya para penjaja
menawarkan komoditi yang sama.’’ Saya tak sengaja mendengar tausiah sang bijak
yang dia sampaikan pada empat kawannya –dari tampilan tampaknya mereka
mahasiswa— saat suntuk menunggu KRL Commuter Bogor-Jakarta, Kamis petang (3
Maret 2014).
Kendati kagum dan tertarik dengan lanjutan analisis si
kepala rapi beranting bajak laut, perlahan saya beringsut menjauh. Tak enak
rasanya diam-diam menguping pembicaraan orang. Namun tak urung pernyataan
cerdas yang dia lontarkan mengiang-ngiang di benak, bahkan hingga saya tiba di
rumah selepas dibelit kemacetan ruas Jalan Sudirman, Jakarta.
Belum lagi surut pesona kalimat itu, yang dengan sederhana
berhasil menyimpulkan fenomena politik (politisi dan pra pendukungnya)
di kampanye Pemilu yang berakhir Minggu, 6 April 2014, ini, kabar lain tiba
dari Bolmong: ‘’Kiapa kong Ketua DPD PAN
Bolmong kase kampanye pa EE Mangindaan, bukang Yasti Mokoagow?’’ Informasi
berbentuk tanya ini jelas menggelitik, tetapi saya menahan diri tak
berkomentar. Di situasi yang serba sensitif, menyahuti sepotong info, sebaris
kabar, bisa berkonsekwensi macam-macam.
Saya tak ingin terperosok merepotkan diri. Tiga nama yang
disebutkan itu bukan orang biasa. Mereka adalah tokoh-tokoh publik dan politik
lokal, regional, dan nasional. Dua di antaranya bahkan tergolong ‘’papan atas’’
di negeri ini. Sebaiknya mulut yang biasanya gampang mengumbar sinisme dan celetukan
pedas ini, bersegera dikatup serapat-rapatnya.
Tapi penasaran terlanjur bersarang di batok kepala,
mendorong saya mengontak beberapa adik-adik, dan akhirnya berhasil mendapatkan
pernyataan utuh yang ditafsir sebagai kampanye Ketua DPD PAN Bolmong yang untuk
Caleg Nomor Urut 1 PD Dapil Sulut untuk DPR RI, EE Mangindaan, dan konteksnya.
Rupanya, di satu kesempatan kampanye yang berlangsung beberapa waktu lalu, Ketua
DPD PAN yang juga Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, menginformasikan adanya
komitmen Menhub EE Mangindaan merealisasikan proyek infrastruktur perhubungan
vital di Bolmong.
Kalimat Ketua DPD PAN Bolmong tidak selesai sampai di situ,
karena dilanjutkan (kurang lebih) dengan frasa, anggaran proyeknya tak lepas
dari kontribusi anggota Komisi V yang juga Caleg Nomor Urut 6 PAN Dapil Sulut
untuk DPR RI di Pemilu 2014 ini, Yasti Soepredjo Mokoagow. Menyebarkan hanya
setengah fakta pernyataan Salihi Mokodongan, adalah jenis ‘’kampanye hitam’’
yang jauh dari elegan dan etis.
Di posisi formalnya sebagai Bupati, tidak ada yang salah
jika Salihi Mokodongan menyampaikan apresiasi terhadap Menhub EE Mangindaan.
Namun lain soal bila dikonteksnya dengan kampanye Pemilu. Jika ketidak-lengkapi
pernyataan yang disebarkan itu tak buru-buru dikoreksi, orang banyak mudah
menyimpulkan Salihi Mokodongan menghianati partainya dan relasinya (politik, bahkan
pribadi) dengan Yasti telah tak karuan. ‘’Bagitu
noh ini politik skarang di Bolmong Raya. Lebe banya’ politik mulu-mulu,’’ kata
salah seorang adik yang saya kontak, sembari menyemburkan sejumlah serapah yang
demi sopan-santun haram saya kutipkan.
Politik mulu-mulu? Ini
juga penyederhanaan yang tepat dari fenomena politik, khususnya di Bolmong
Raya. Teringatlah saya satu ketika di awal masa kampanye pencalonan Tatong
Bara-Jainuddin Damopolii sebagai Walikota-Wawali KK di Pilwako 2013 lalu, ada
yang mengirim kisikan, ‘’Ketua DPD PAN KK tidak diberi peran karena dia kurang
disukai oleh Tatong Bara dan Yasti Mokoagow.’’ Ketua DPD yang dimaksud adalah
Begie Gobel, yang sepengetahuan saya justru menjadi salah-satu penggerak
dukungan terhadap kandidat yang diusung partainya.
Hingga Pilwako usai dan Tatong Bara-Jainuddin Damopolii
terpilih sebagai Walikota-Wawali KK 2013-2018, saya tak pernah mengecek dari
mana sumber info tak bertanggungjawab itu dating. Tidak pula menanyakan
benarkah Tatong Bara dan Yasti Soepredjo Mokoagow tidak menyukai Begie? Bagi
saya, kalau keduanya tidak suka (politis dan pribadi), gampang saja: Copot
Begie dari jabatannya. Tatong adalah Ketua DPW PAN Sulut, Yasti tak lain
Bendahara DPP PAN. Apa susahnya mereka menyingkirkan Begie?
Saya juga tidak peduli tatkala dibisiki, di kampanye Pemilu
2014 ini ada ‘’instruksi’’ yang dimotori Kepala SKPD (pertemuannya pun
dilakukan di kantor instansi Pemkot) yang mengarahkan di Dapil Kotamobagu Barat
(di mana Begie terdaftar sebagai Caleg Nomor Urut 9 PAN untuk DPR KK), Caleg
yang harus didukung adalah si Fulin, bukan Begie Gobel. Instruksi itu konon
datang dari Walikota yang lebih mem-favoritkan si Fulin (kader baru PAN) ketimbang
Begie Gobel yang Ketua DPD.
Gila betul ‘’politik mulu-mulu’’ itu. Faktanya memang ada
pertemuan seperti yang dikisahkan dengan bisik-bisik itu ke saya. Tapi
melibatkan PNS dan fasilitas pemkot KK, apalagi dengan atas nama ‘’instruksi’’
Walikota, agak di luar nalar. Kecuali kalau Walikota KK saat ini sama bodoh
dengan pendahulunya yang mengedepankan kekuasaan ketimbang menggugah kesadaran
publik.
Di masa kampanye ini, tiap hari gosip, bisik-bisik, dan batata’ politik seperti itu (dengan
Caleg dan Parpol berbeda-beda) tiba di telepon saya, terutama berbentuk SMS dan
BBM. Sungguh informasi cemen yang
menempatkan kita, para konstituen, seolah bernalar dan pengetahuan rendah. Sama
halnya dengan kabar bahwa salah satu Caleg DPR RI berlatar Mongondow lain tanpa
malu-malu mengklaim massifnya pembangunan infrastruktur perhubungan, perumahan,
irigasi, dan fasilitas publik lain, adalah juga hasil kinerja optimalnya.
Saya berkeyakinan, informasi sesat itu tak bakal laku di
tengah masyarakat Sulut umumnya dan Bolmong Raya khususnya, yang relatif sudah
terpapar informasi anggota DPR RI mana yang duduk di komisi apa; lengkap dengan
apa yang sudah mereka kerjakan dan capaiannya. Masyarakat khatam mengetahui
infrastruktur teknis itu berada di wilayah Komisi V DPR RI dimana Yasti
Soperedjo Mokoagow menjadi anggota (bahkan pernah menjadi ketua)-nya. Beda
dengan Komisi IX, misalnya, yang mengurusi kesehatan atau pendidikan, yang bila
infrastrukturnya berantakan di Bolmong Raya, tentu selayaknya harus ditanyakan
pada anggota DPR RI asal Sulut lain yang duduk di komisi ini.
Tapi siapa yang mampu menghentikan jalaran info ‘’politik
mulu-mulu’’ itu? Terlebih, sekali pun lebih banyak karang-karangan dan
duga-duganya, saya yakin ‘’mulu-mulu
politik’’ punya sedikit (atau malah banyak) kebenaran. Dan sedikit kebenaran selalu
membuka ruang dikreasi dan dibumbui para penerusnya di warung kopi, arisan
ibu-ibu, bual-bual hajatan sosial, bahkan bisik-bisik antar suami-istri di
ruang pribadi.
Masalahnya, maukah kita ramai-ramai menyerahkan keputusan nasib
kualitas anggota DPR, kontrol efektif terhadap jalannya pemerintahan, dan
aspirasi terhadap kemaslahatan bersama pada informasi ‘’politik mulu-mulu’’, sekadar
klaim, atau atas nama? Saya kira, masyarakat Bolmong Raya adalah entitas cerdas
dan tersadarkan yang lebih dari mampu dengan jernih membeda yang mana substansi
dan yang sekadar bumbu atau penyedap.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BBM: BlackBerry Messenger;
Bolmong: Bolaang Mongondow; Caleg: Calon Legislatif; Dapil: Daerah Pemilihan; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPW: Dewan Pimpinan Wilayah; KK: Kota Kotamobagu; KRL: Kereta Rel Listrik; Menhub: Menteri Perhubungan; PAN: Partai Amanat Nasional; PD: Partai Demokrat; Pemilu: Pemilihan Umum, Pileg: Pemilu Legislatif, Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil
Walikota); RI: Republik Indonesia; SMS: Short Message/Pesan pendek; SKPD: Satuan Kerja Pemerintah Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wawali: Wakil Walikota.