DI MANAKAH tempat
anak-anak muda (usia dan pengalaman) di peta politik Bolmong Raya? Hari-hari
terakhir ini, ketika Pemilu 2014 tinggal menghitung hari, saya mendadak
menyadari sosok-sosok belia bertaburan di daftar Caleg di wilayah Mongondow.
Mereka datang dari aneka latar: Putra-putri politisi; birokrat teras; mantan
atau masih mengklaim diri aktivis; hingga yang sekadar mencoba-coba
peruntungan, siapa tahu nasib baik berpihak dan kursi DPR jatuh tepat di
hadapan.
Politisi-politisi muda itu adalah kabar baik bagi regenerasi
kepemimpinan politik, sosial, dan kemasyarakatan di Mongondow; sekaligus
keprihatinan karena –sejujurnya—sebagian besar mereka adalah produk karbitan
bermodal proteksi orangtua, jauh dari berpengetahuan, apalagi kematangan perilaku
dan emosi. Lagak-lakunya, setidaknya yang tercermin dari kampanye Pemilu 2014,
mengindikasikan betapa generasi kini miskin visi, kreativitas, apalagi
pemihakan.
Atau mungkin media, sebagai wadah, saluran, dan sumber publik
utama, memang lebih suka menampilkan politisi-politisi usia muda (khususnya) di
Bolmong Raya dengan mengesankan mereka tak lebih dari bebek, beo, dan boneka?
Yang mengandalkan daya pukau dan atensinya terhadap konstituen pada marga, nama
besar orangtua, atau patron politik yang dijadikan tempat bergantung?
Kita, para konstituen, beberapa pekan terakhir tak pelak mesti
melapangan dada dibanjiri suguhan omong kosong jargon ‘’mengabdi dan
berjuang’’, ‘’yang muda yang berkarya’’, dan sejenisnya, yang lama-kelamaan
terasa tak beda dengan gelegar musik dari gerobak penjaja ice cream. Pula, wajah-wajah berhias jambul tegak mengkilap, imbas
wabah pop star Korea yang menjalar di
negeri ini bagai flu di musim penghujan.
Pertanyaannya: Tidakkah kita belajar dan kapok bagaimana
sebagian besar politisi berusia muda –utamanya—di DPR Kota/Kabupaten dan
Provinsi yang terpilih pada Pemilu 2009 ternyata lebih banyak membadut
ketimbang merepresentasikan konstituennya? Kita tidak perlu pura-pura lupa dan
memaafkan, misalnya, dengan kedunguan anggota DPR Sulut, Raski Mokodompit, yang
mempermalukan masyarakat Bolmong Raya dengan interupsi tidak bermutu di Sidang
Paripurna HUT Sulut ke-47, Jumat (23 September 2012) silam. Politisi seperti
inikah yang kita inginkan sebagai etalase wilayah dan orang Mongondow di DPR
Provinsi?
Saya bisa merunut dan membeberkan banyak fakta tentang
politisi usia muda asal atau berlatar Mogondow, mulai dari DPR Kabupaten/Kota
hingga DPR RI, yang hampir lima tahun terakhir hanya memamerkan kepongahan dan
otak kosongnya. Sekadar contoh yang lain, tidakkah kita jengah menonton
tayangan teve yang menunjukkan seorang anggota DPR RI masyuk bergoyang kepala
menikmati musik dari gadget-nya, di
tengah gentingnya lalu-lintas Sidang Paripurna DPR RI?
Tapi mewacanakan kabar buruk dan pasimisme hanya mematahkan hati; menguras keyakinan terhadap masa depan yang lebih baik. Sebab, kendati tak banyak, selalu ada politisi muda dari dan berlatar Mongondow yang menunjukkan kinerja minimal memuaskan. Kalau pun prestasi mereka tidak sangat mencorong dipercakapkan, dugaan saya ada faktor perilaku dan bias jurnalistik jual-beli (belakangan populer disebut ‘’cash in’’) yang dipelopori salah satu grup media arus utama di daerah ini. No money, no coverage.
Optimisme politik itu pada akhirnya mesti kita kais sendiri
dengan mengabaikan iklan dan advertorial
politik di media cetak dan digital yang dipublikasi dari Manado dan Kotamobagu.
Sungguh, bagi saya pribadi, tidak ada yang menarik dari politisi muda yang
lahir dengan silver spoon dan naik
panggung dengan bertumpu pada gendongan orangtuanya.
Berbeda dengan beberapa politisi usia muda yang susah payah
memanjat tangga politik, jatuh-bangun meraih kesempatan –termasuk menjadi Ketua
DPD atau DPC partainya--, yang kemudian terdaftar sebagai Caleg Pemilu 2014.
Politisi jenis ini adalah kabar baik dan optimisme yang mesti disampaikan ke
banyak pihak. Memang tak ada jaminan mereka pasti lebih baik dari pengalaman
buruk yang telah kita lalui. Tapi setidaknya kita punya alternatif dan wajah
segar yang terbebas dari sekadar prestasi warisan.
Anugerah Begie Chandra Gobel adalah salah satu politisi usia
muda yang membuat saya tak kehilangan selera terhadap dinamika politik di Bolmong
Raya. Penilaian terhadap Begie (demikian kami akrab menyapa dia) mungkin tidak
sepenuhnya obyektif, mengingat dia dikenal sebagai salah seorang di antara
sedikit anak muda Mongondow yang berada di lingkaran terdekat saya, setidaknya
20 tahun terakhir. Namun, karena subyektivitas itu pula saya berani menjamin,
kepercayaan terhadap dia, ideologi, pemihakan, dan lagak-lakunya, telah diuji
di tahun-tahun yang tidak melulu penuh kembang dan bunga-bunga.
Berkarir sebagai jurnalis di paruh akhir masa kuliahnya, saat
bekerja di Tabloid KABAR, Begie
adalah reporter yang tekun dan penulis berbakat yang dengan cepat mencapai
keterampilan di atas rata-rata angkatannya. Dari KABAR dia mampir ke Harian Gorontalo
Post (kalau tak salah ingat di posisi Redaktur Pelaksana), kemudian Tabloid
DeTAK (pengganti almarhum DeTik), Totabuan, dan akhirnya ke dunia politik dengan bergabung di PBR.
PBR tampaknya bukan wahana yang memuaskan kegelisahan
politiknya. Begie lalu pindah ke PAN, kemudian mampir ke PG, dan akhirnya
kembali ke PAN dan bahkan terpilih sebagai Ketua DPD KK. PAN rupanya menjadi
‘’rumah’’ yang cocok dengan gaya politik Begie yang low tone, low profile. Dia tipe politisi pemikir dan pekerja, bukan
yang meledak-ledak, apalagi grasa-grusu. Pilwako KK 2013 menjadi pembuktian,
bagaimana dia terlibat sebagai salah satu pilar yang menggerakkan mesin PAN
mendukung pasangan Tatong Bara-Jainuddin Damopolii, tanpa tergoda (dalam posisi
Ketua DPD KK) tampil sejajar dengan kandidat yang diusung.
Dia memahami kapan harus mengambil peran di depan dan di
saat mana mesti memposisikan diri tetap di belakang layar dengan disiplin.
Di tengah brutalitas politik lokal Mongondow, mengedepankan
visi, ide, dan hubungan yang dilandasi kepercayaan, sungguh mencemaskan. Dan
saya kian cemas tatkala Begie terdaftar di Nomor Urut 9 Caleg PAN Dapil
Kotamobagu Barat untuk DPR KK di Pemilu 2014. Saya menguatirkan gaya
berpolitiknya terlampau canggih untuk konstituen yang terlanjur silau pada
kemasan dan –terlebih—iming-iming transaksional untuk setiap pilihan yang
mereka ambil.
10 tahun terakhir, baik di Pilkada, Pilwako, dan Pileg di
Bolmong Raya, harga per suara telah dengan konstan mengalami penyesuaian.
Menurut bisik-bisik yang mampir ke kuping saya, per suara di Pemilu 2014 ini,
untuk DPR KK setidaknya mencapai kisaran Rp 300 – Rp 400 ribu. Begie, yang
sekali pun lahir dari lingkungan keluarga yang punya keterikatan kuat dengan
politik (ibunya adalah mantan politisi PG dan anggota DPR Sulut), sepengetahuan
saya tidak punya modal memadai bila dipaksa turut mempraktekkan politik
transaksional itu.
Namun, saya cemas bukan karena buaian mimpi menyaksikan
Begie dilantik sebagai anggota DPR 2014-2019. Melainkan, bila konstituen di
Kotamobagu Barat gagal melihat potensi besarnya, maka apa lagi yang kita harap
dari politik yang dipraktekkan di KK? Tidak ada derita lebih memiriskan dari
DPR yang melulu berisi orang-orang tua yang kian karatan dan miskin
kreativitas; serta anak-anak muda tong kosong yang cuma pamer gaya dan keriuhan
ala boys and girls band.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang
Mongondow; Caleg: Calon Legislatif; Dapil: Daerah Pemilihan; DPC: Dewan Pimpinan Cabang; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; HUT: Hari Ulang Tahun; KK: Kota Kotamobagu; PAN: Partai Amanat Nasional; Pemilu: Pemilihan Umum; PBR: Partai Bintang Reformasi; PG: Partai Golkar; Pilbup: Pemilihan Bupati (dan Wakil Bupati); Pileg: Pemilihan Legislatif; Pilwako:
Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); RI:
Republik Indonesia; dan Sulut:
Sulawesi Utara.