SIDAK Bupati
Bolmong, Salihi Mokodongan, Kamis (24 April 2014), memergoki Kantor BPMD dan BNK yang nyaris melompong.
Situs berita totabuan.com, http://totabuan.co/2014/04/bapati-bolmong-kesal-dua-pintu-kantor-skpd-ditutup/
(judulnya pun salah karena mencantumkan
‘’Bapati’’), menulis, kesal dengan ketak-disiplinan pimpinan dan stafnya,
Bupati menutup pintu (utama) dua kantor SKPD ini dan menyerahkan kuncinya pada
Kepala Satpol PP yang mendampingi saat inspeksi berlangsung.
Di kabupaten/kota lain, terlebih di tingkat provinsi,
tindakan seorang Kepala Daerah seperti yang dilakukan Bupati Salihi itu, bakal
membuat gemetar pimpinan SKPD dan stafnya. Tidak demikian di Bolmong, terlebih
karena Bupati tak punya kejelasan tindakan lanjutan, setidaknya seperti yang
dicerminkan dari pernyataannya, ‘’Senin
pekan depan saya akan melakukan rapat evaluasi bersama Baperjakat. Dan tingkat
kehadiran pejabat dipastikan akan mendapat catatan.’’
Pejabat dan PNS yang
tidak disiplin sekadar mendapat catatan? Sikap macam apa itu?
Kurang bertumpukkah
catatan yang dikumpulkan Bupati hingga dari waktu ke waktu? Bukankah sejak
menduduki jabatan Kepala Daerah bersama Wabup Yani Tuuk pada 2011, kerjanya
hanya sidak dan sidak? Atau karena catatan-catatan sidak Bupati Salihi,
terutama yang dapat ditelusuri dari publikasi media, cuma memproduksi himbauan
serta penegasan perlunya penegakan disiplin di jajaran birokrasi Pemkab
Bolmong; dan karenanya mudah terlupa dan diabaikan?
Kemanakah sanksi yang mestinya ditimpakan di atas kepala dan
pundak PNS yang berulah sesuka, seenak, dan semaunya sendiri? Saya mungkin
melewatkan informasinya, tapi adakah umum punya rekaman dan ingatan Bupati
Salihi pernah mengambil tindakan tegas terhadap jajarannya, yang membuktikan
dia serius terhadap pernyataan (terlebih instruksi) di posisi sebagai Kepala
Daerah?
Di era Bupati Salihi-Wabup Yani, birokrat dan birokrasi di
Bolmong memang liar dan tak terkendali. Pemerintahan di daerah ini bagai bandul
yang berpindah dari satu ektrim ke ektrim yang lain. Di bawah rezim Bupati
Marlina Moha-Siahaan, para birokrat bagai simpanse dalam kerangkeng. Lalu
setelah 10 tahun yang mengekang, terutama dorongan dan fantasi menerabas
disiplin, profesionalisme, dan kepatutan perilaku PNS, mereka mendadak bebas se
bebas-bebasnya.
Kita, orang Mongondow –dan terutama warga Bolmong— pun
menyaksikan kerusakan sistem, tata laksana, tata cara, dan perilaku para
birokrat yang belum pernah terjadi di seluruh Bolmong Raya. Hampir semua PNS
berlomba memanfaatkan kenaifan, keluguan, ketidak-tahuan, dan
ketidak-mengertian (khususnya) Bupati dengan berbagai cara dan trik. Tak
mengada-ada bila patut diduga sebagian elit birokrasi Bolmong yang berada di lingkaran
Bupati bahkan terang-terangan menipu dan menjerumuskan atasannya.
Pembobolan dana Rp 12 miliar di APBD yang kini tengah
ditelisik Polres Bolmong adalah contoh paling aktual bagaimana Bupati dengan
sengaja ditelikung jajarannya. Siapa-siapa bangsat yang mempermainkan duit
negara itu, biarlah proses hukum yang membuktikan. Hanya saja, omong kosong
belaka (sebab itu saya menyakini andai yang bersangkutan lepas, pasti ada duit
dan jual-beli hukum yang terjadi) jika Kepala DPPKAD (ketika itu) Amri Arif
tidak terlibat atau minimal tahu A-B-C-D dugaan penyelewengan ini.
Informasi sepak-terjang, tidak kompeten, sekaligus kelihaian
Amri Arif mendapatkan dan mempertahankan jabatan basah yang disandangnya tidaklah
asing buat saya. Itu sebabnya, saya justru heran mengapa Bupati baru mencopot
dia setelah hampir tiga tahun petualangannya dengan wewenang terhadap APBD dan
uang negara lainnya yang dikucur ke Bolmong. Lebih takjub lagi karena yang
bersangkutan secara implisit berani melakukan perlawanan sebagaimana yang
dipublikasi pekan lalu di totabuan.co,
Dicopot dari Jabatan, Amri Arif Minta
Kembalikan ke BPKP (http://totabuan.co/2014/04/dicopot-dari-jabatan-amri-arif-minta-kembalikan-ke-bpkp/).
Enak betul permintaannya agar segera dikembalikan ke
institusi asal, BPKP. Amri Arif sepantasnya ‘’diparkir’’ terlebih dahulu
sebagai Staf Ahli Bupati sembari menunggu proses pengungkapan dugaan
penyelewengan dana Rp 12 miliar yang menyeret namanya. Dia juga mesti turut
bertanggungjawab terhadap apapun hasil audit pengelolaan keuangan Pemkab
Bolmong, yang tampaknya bukan kejutan bila kembali (tiga kali berturut)
mendapat penilaian disclaimer.
Amri Arif hanya salah satu contoh birokrat yang piawai
memanupulasi kenaifan, keluguan, ketidak-tahuan, dan ketidak-mengertian Bupati.
Sekali pun begitu, dia masih membungkus dengan rapih hingga nyaris tak
mengemuka di hadapan publik. Beda dengan Kepala Satpol PP, Linda Lahamesang, yang
super over acting dan bahkan
melampaui definisi loony. Menyebut
nama salah satu selebriti utama di sekitar Bupati Bolmong ini, sebagian pembaca
dengan kritis pasti menduga saya sedang mengubar sentimen negatif terhadap yang
bersangkutan.
Begini, Pembaca, tulisan ini diawali dengan peristiwa sidak
Bupati Salihi ke kantor-kantor SKPD dengan (antaranya) didampingi Kepala Satpol
PP. Mengekornya Linda Lahamesang di bokong Bupati, terkait kedinasan atau
tidak, bagi saya kian identik dengan pengambaran sastrawan Miguel de Carvantes
Saavedra untuk Don Quixote dan Sancho Panza (The Ingenious Gentleman Don Quixote of La Mancha/l ingenioso
hidalgo don Quijote de la Mancha, 1605, 1615) yang sungguh melipur lara
para pembacanya.
Di foto sidak yang
dipajang situs berita totabuan.co, tampak Linda Lahamesang gagah
mengenakan pakaian lapangan loreng (patut diduga jenisnya adalah loreng
Kopasus), lengkap dengan tanda pangkat dan emblem-emblem kecakapan di dada. Sejak
kapan Satpol PP berhak mengenakan loreng (Kopasus)? Apa nanti kalau Bupati sidak ke Dinas Perikanan, Kepala Satpol PP yang mendampingi bersulih pula dengan seragam Laksamana? Mungkin perlu pula disediakan uniform penerbang tempur supaya dia tidak kagok mengantar-jemput Bupati di Bandara Sam Ratulangi. Coba cermati pula tanda
pangkat serta emblem-emblem di dadanya, sudah tepatkah atau sekadar
karang-karangan yang bahkan tergolong penipuan dan pelanggaran hukum?
Lampiran Peraturan
Mendagri Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan
Peralatan Operasional Satuan Polisi Pamong Praja lugas (dilengkapi gambar)
menjelaskan hingga detil apa yang wajib dan boleh dikenakan Satpol PP, termasuk
Kepala Satuannya. Pakaian yang dikenakan Linda Lahamesang saat mendampingi
Bupati melakukan sidak, 100 persen keliru dari kepala hingga ujung kaki;
melanggar disiplin; menerabas Peraturan Mendagri; dan bahkan tergolong tindak
pidana. Yang dia kenakan bukan seragam Satpol PP, melainkan kostum badut sirkus
bagian aksi perang-perangan.
Badut Linda boleh
menipu, memanipulasi, atau menduduki kepala Bupati, Wabup, Sekda, Bagian Hukum,
bahkan inspektorat, tetapi publik di Mongondow tidaklah bodoh. Dia adalah
Sancho Panza yang berlagak jadi kesatria, yang tanda pangkatnya pun patut
digugat. Peraturan Mendagri bilang: Satu teratai untuk III/d, dua teratai untuk
IV/a, dan tiga teratai untuk IV/b. Apa golongan kepegawaiannya saat ini?
Pada pengidap kelainan jiwa itulah Bupati Bolmong
mengamanatkan wewenang turut menegakkan disipin PNS, aturan, serta ketatalaksanaan
pemerintahan dan kemasyarakatan di Bolmong. Tidak heran bila birokrasi dan
birokrat di daerah ini bertemperasan bagai kambing lepas kandang. Musababnya,
Bupati –sadar atau tidak-- meluputkan gajah pelanggaran di pelupuknya
sendirinya. Lalu disiplin apa yang dia harapkan dari jajaran lain di
bawahnya?***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
APBD: Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah; BNK:
Badan Narkotika Kabupaten; BPKP:
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan; BPMD:
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa; Bolmong:
Bolaang Mongondow; DPPKAD: Dinas
Pengelolaan Pendapatan, Keuangan, dan Asset Daerah; Mendagri: Menteri Dalam Negeri; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PNS:
Pegawai Negeri Sipil; PP: Pamong Praja;
Satpol: Satuan Polisi; Sidak: Inspeksi Mendadak; Sekda: Sekretaris Daerah; SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah;
dan Wabup: Wakil Bupati.