PERTANYAAN pendek
yang saya terima Rabu, 4 Desember 2013, meminta tanggapan ‘’ancaman’’ Bupati
Bolsel yang akan membawa kebupaten yang dia pimpin bergabung dengan Provinsi
Gorontalo, saya respons tanpa berpikir panjang. Membuang-buang energi belaka
menyeriusi pernyataan yang alasannya semata karena kajian Pemprov Sulut
menyatakan Bandara yang diimpi-impikan warga Mongondow lebih layak dibangun di
Bolmong ketimbang Bolsel.
Komentar saya yang kemudian dikutip, dikemas, dan
dipublikasi Lintasbmr.Com (http://lintasbmr.com/ini-komentar-soal-ancaman-bupati-tarik-dukungan-pbmr-dan-gabung-provinsi-gorontalo/),
sejatinya terdiri dari tiga alinea pendek. Pertama, ‘’Bupati lebay. Bagimana kalu orang Mongondow bilang warga Bolsel boleh
ber gabung ka Gorontalo, tapi tanah Mongondow tetap di Mongondow?’’ Kedua,
‘’Rupa-rupa jo ini Bupati. Maraju kua’
bagitu. Kiapa nyanda sekalian jo bilang Bolsel mo merdeka dari Republik
Indonesia.’’ Dan ketiga, ‘’Urusan
(mem)bangun Bandara kan kebijakan Pemerintah Pusat. Apa urusannya Bolsel
bergabung dengan Gorontalo deng kebijakan Pemerintah Pusat?’’
Ihwal kekecewaan Bupati Bolsel, Herson Mayulu, karena
Bandara yang mulanya disebut-sebut akan dibangun di Bolsel ternyata bakal dialihkan
ke Bolmong, pertama kali saya simak di Beritamanado.Com
(http://beritamanado.com/gara-gara-bandara-herson-mayulu-tarik-dukungan-dari-pbmr/)
dengan kening berkerut. Terus terang, pernyataan Bupati Bolsel, ‘’Kami
jelas-jelas menarik diri dari PBMR’’, agak tak terjangkau akal sehat saya. Apa
dosa warga Mongondow yang berniat mekar sebagai provinsi sendiri dengan hasil
kajian Dinas Perhubungan dan Kominfo Sulut yang memantik kekecewaan Bupati
Bolsel dan warganya?
Ketidak-pahaman saya kian sempurna tatkala menyimak Totabuan.Co (http://totabuan.co/2013/12/01/kabupaten-bolmong-selatan-ancam-gabung-provinsi-gorontalo/)
yang mengutip Herson Mayulu, ‘’Jika
memang demikian memang sengaja digagalkan oleh Pemprov. Ingat, 75 persen warga
Bolsel adalah warga Gorontalo, sehingga ini harus diperhatikan.”
Kalimat itukah yang
kemudian diterjemahkan oleh para pewarta dan pembaca umumnya sebagai
‘’ancaman’’ dari Bupati? Soalnya, sejauh ini saya tidak menemukan ada
pernyataan eksplisit dari Bupati, bahwa dia dan masyarakatnya yang kecewa
berniat memboyong Bolsel pindah ke lain provinsi.
Para bijak berkata,
hati boleh panas, kepala mesti tetap dingin. Menurut hemat saya, gara-gara
letupan-letupan komentar Bupati, isu pembangunan Bandara di Bolsel kehilangan
fokus. Padahal duduk-soalnya semata-mata kelayakan teknis dan aspek terkait;
yang sama sekali tidak berhubungan dengan PBMR, apalagi keragaman etnis di
wilayah Bolmong.
Untuk apa ada
Bandara di Mongondow? Sekadar nice to
have setelah itu hanya digunakan segelintir orang mampu dengan pesawat yang
menerbangi pun jenis kecil, yang jadwalnya tergantung terpenuhi atau tidaknya load factor? Kalau demikian adanya,
mengapa kita tidak merevitalisasi Lapangan Terbang Perintis yang bertahun-tahun
lampau dibangun di Mopait?
Benar bahwa adanya
Bandara dan pelabuhan laut mampu jadi pendorong terbukanya sebuah wilayah dan
tumbuhnya perekonomian. Tapi ekonomi yang mana? Apa komoditas dan jasa di
wilayah Mongondow yang skala keekonomisannya sangat mendesak harus didukung dua
infrastruktur ini? Ini baru soal kemanfaatannya.
Pertanyaan
sederhana lainnya, kalau Bandara dibangun di Bolsel, dengan mengesampingkan
faktor teknis-geografis areal yang dipilih, apakah infrastruktur pendukung
terkait sudah memadai? Mudahkah bagi warga yang berniat menggunakan moda
transportasi ini menjangkau Bandara? Atau Bandara itu memang hanya ditujukan
untuk warga Bolsel serta wilayah sekitarnya (hingga Dumoga, perbatasan
Bolsel-Boltim, dan Bolsel-Gorontalo)?
Lanjutan
pertanyaan-pertanyaan bodoh itu adalah: Mana yang lebih mudah bagi warga
Mongondow yang berdiam di wilayah Boltim, Bolmut, sebagian Bolmong, dan KK;
menggunakan Bandara Sam Ratulangi yang dapat dijangkau dengan infrastruktur
jalan yang relatif baik atau ke Bandara yang nantinya dibangun di Bolsel?
Dengan mengindahkan
aspek dan faktor-faktor terkait secara komprehensif, harus diakui ide
pembangunan Bandara di wilayah Mongondow (bukan soal di Bolsel atau Bolmong),
lebih bertitik-berat pada political will
dan want, bukan need substansial. Sebagai niat baik politik dan keinginan, saya
tidak heran yang kemudian paling gigih mengkampanyekan hasrat ini adalah
anggota Komisi V DPR RI dari Sulut, Yasti Mokoagow, serta Bupati Bolsel dan
jajarannya.
Totabuanews.Com, Senin, 18 November 2013, menulis optimisme
Yasti Mokoagow sebagai endorser
pembangunan Bandara di Bolsel (http://m.totabuanews.com/bolsel-lebih-siap-bangun-bandara/),
lengkap dengan kutipan, “Lokasi yang disiapkan
Pemkab Bolsel sudah sangat memenuhi syarat.’’ Dia juga menegaskan kelayakan itu
dengan mengemukakan, “Sebagai anggota Komisi yang membidangi pembangunan
infrastruktur, saya akan turut memperjuangkan hingga ke tingkat pusat. Apalagi
Bolsel lokasinya masih sangat luas dan dapat diproyeksikan menjadi Bandara
Internasional.’’
Keinginan yang dipupuk dengan ekspektasi dan jaminan niat
baik politik itu, ternyata terbentur kajian yang dilakukan Dinas Perhubungan
dan Kominfo Sulut. Saya tidak mengetahui seperti apa kajian yang dilakukan,
tetapi saya yakin Pemprov Sulut tak akan main-main memutuskan layak-tidaknya
satu infrastruktur berbiaya mahal dibangun di daerah tertentu.
Apa yang harus dilakukan pemerintah dan warga Bolsel yang
kecewa? Buat kajian tandingan yang lebih komprehensif dan terintegrasi dengan
rencana pembangunan jangka panjang yang melibatkan kabupaten/kota di wilayah Mongondow.
Tunjukkan bahwa pembangunan Bandara di wilayah Bolsel bukanlah sekadar
keinginan, tapi kebutuhan penting bagi kemaslahatan Mongondow di jangka
panjang. Tidak pula hanya karena kepentingan ‘’jualan politik’’ menjelang
Pemilu 2014 dan tabungan kredibilitas Bupati yang sebentar lagi akan bertarung
untuk masa jabatan kedua.
Maraju massal, apalagi
dengan dimotori Bupati yang mengait-ngaitkan dengan PBMR dan sentimen etnisitas
bahwa mayoritas warga Bolsel berlatar Gorontalo, hanya menimbulkan antipati
tidak perlu. Memangnya orang banyak gampang dibodohi ancaman menarik dukungan
terhadap PBMR? Coba saja Bupati Bolsel membuktikan omongan kalau dia tidak
dikeroyok warga se Bolmong Raya.
Akan halnya sinyal hijrah ke Provinsi Gorontalo, yang lebih
saya anggap sebagai tafsir keterlaluan para pewarta terhadap pernyataan Bupati,
kalau pun demikian adanya, lakukan dengan segera, tetapi jangan menyeret-nyeret
tanah Mongondow. Tak ada yang bakal menahan Bupati dan siapa pun yang berniat
‘’pindah ke lain provinsi’’, toh
tinggal menggelar Pilkada ulang dan memilih penggantinya. Hanya, saya berharap
Bupati tak lupa memastikan beberapa anggota DPR Bolsel yang kerjanya cuma
menciptakan kebisingan politik, juga turut diboyong bersama-sama.
Lagipula, kalau Bupati dan warga Bolsel memilih bergabung
dengan Provinsi Gorontalo, pasti dijamin Bandara akan dibangun di wilayahnya?
Maraju kua’ rupa anak-anak bagitu. Kiapa
nyanda sekalian jo Bupati manangis, ba banting-banting, deng babaguling di muka pa Gubernur Sulut?***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
Bandara: Bandar
Uadara; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; Kominfo: Komunikasi dan Informasi; PBMR: Provinsi Bolaang Mongondow Raya; Pemprov: Pemerintah Provinsi; RI: Republik Indonesia; dan Sulut: Sulawesi Utara.