Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, December 5, 2013

‘’Bupati, Maraju Kua’ Rupa Anak-anak Bagitu’’

PERTANYAAN pendek yang saya terima Rabu, 4 Desember 2013, meminta tanggapan ‘’ancaman’’ Bupati Bolsel yang akan membawa kebupaten yang dia pimpin bergabung dengan Provinsi Gorontalo, saya respons tanpa berpikir panjang. Membuang-buang energi belaka menyeriusi pernyataan yang alasannya semata karena kajian Pemprov Sulut menyatakan Bandara yang diimpi-impikan warga Mongondow lebih layak dibangun di Bolmong ketimbang Bolsel.

Komentar saya yang kemudian dikutip, dikemas, dan dipublikasi Lintasbmr.Com (http://lintasbmr.com/ini-komentar-soal-ancaman-bupati-tarik-dukungan-pbmr-dan-gabung-provinsi-gorontalo/), sejatinya terdiri dari tiga alinea pendek. Pertama, ‘’Bupati lebay. Bagimana kalu orang Mongondow bilang warga Bolsel boleh ber gabung ka Gorontalo, tapi tanah Mongondow tetap di Mongondow?’’ Kedua, ‘’Rupa-rupa jo ini Bupati. Maraju kua’ bagitu. Kiapa nyanda sekalian jo bilang Bolsel mo merdeka dari Republik Indonesia.’’ Dan ketiga, ‘’Urusan (mem)bangun Bandara kan kebijakan Pemerintah Pusat. Apa urusannya Bolsel bergabung dengan Gorontalo deng kebijakan Pemerintah Pusat?’’

Ihwal kekecewaan Bupati Bolsel, Herson Mayulu, karena Bandara yang mulanya disebut-sebut akan dibangun di Bolsel ternyata bakal dialihkan ke Bolmong, pertama kali saya simak di Beritamanado.Com (http://beritamanado.com/gara-gara-bandara-herson-mayulu-tarik-dukungan-dari-pbmr/) dengan kening berkerut. Terus terang, pernyataan Bupati Bolsel, ‘’Kami jelas-jelas menarik diri dari PBMR’’, agak tak terjangkau akal sehat saya. Apa dosa warga Mongondow yang berniat mekar sebagai provinsi sendiri dengan hasil kajian Dinas Perhubungan dan Kominfo Sulut yang memantik kekecewaan Bupati Bolsel dan warganya?

Ketidak-pahaman saya kian sempurna tatkala menyimak Totabuan.Co (http://totabuan.co/2013/12/01/kabupaten-bolmong-selatan-ancam-gabung-provinsi-gorontalo/) yang mengutip Herson Mayulu, ‘’Jika memang demikian memang sengaja digagalkan oleh Pemprov. Ingat, 75 persen warga Bolsel adalah warga Gorontalo, sehingga ini harus diperhatikan.”

Kalimat itukah yang kemudian diterjemahkan oleh para pewarta dan pembaca umumnya sebagai ‘’ancaman’’ dari Bupati? Soalnya, sejauh ini saya tidak menemukan ada pernyataan eksplisit dari Bupati, bahwa dia dan masyarakatnya yang kecewa berniat memboyong Bolsel pindah ke lain provinsi.

Para bijak berkata, hati boleh panas, kepala mesti tetap dingin. Menurut hemat saya, gara-gara letupan-letupan komentar Bupati, isu pembangunan Bandara di Bolsel kehilangan fokus. Padahal duduk-soalnya semata-mata kelayakan teknis dan aspek terkait; yang sama sekali tidak berhubungan dengan PBMR, apalagi keragaman etnis di wilayah Bolmong.

Untuk apa ada Bandara di Mongondow? Sekadar nice to have setelah itu hanya digunakan segelintir orang mampu dengan pesawat yang menerbangi pun jenis kecil, yang jadwalnya tergantung terpenuhi atau tidaknya load factor? Kalau demikian adanya, mengapa kita tidak merevitalisasi Lapangan Terbang Perintis yang bertahun-tahun lampau dibangun di Mopait?

Benar bahwa adanya Bandara dan pelabuhan laut mampu jadi pendorong terbukanya sebuah wilayah dan tumbuhnya perekonomian. Tapi ekonomi yang mana? Apa komoditas dan jasa di wilayah Mongondow yang skala keekonomisannya sangat mendesak harus didukung dua infrastruktur ini? Ini baru soal kemanfaatannya.

Pertanyaan sederhana lainnya, kalau Bandara dibangun di Bolsel, dengan mengesampingkan faktor teknis-geografis areal yang dipilih, apakah infrastruktur pendukung terkait sudah memadai? Mudahkah bagi warga yang berniat menggunakan moda transportasi ini menjangkau Bandara? Atau Bandara itu memang hanya ditujukan untuk warga Bolsel serta wilayah sekitarnya (hingga Dumoga, perbatasan Bolsel-Boltim, dan Bolsel-Gorontalo)?

Lanjutan pertanyaan-pertanyaan bodoh itu adalah: Mana yang lebih mudah bagi warga Mongondow yang berdiam di wilayah Boltim, Bolmut, sebagian Bolmong, dan KK; menggunakan Bandara Sam Ratulangi yang dapat dijangkau dengan infrastruktur jalan yang relatif baik atau ke Bandara yang nantinya dibangun di Bolsel?

Dengan mengindahkan aspek dan faktor-faktor terkait secara komprehensif, harus diakui ide pembangunan Bandara di wilayah Mongondow (bukan soal di Bolsel atau Bolmong), lebih bertitik-berat pada political will dan want, bukan need substansial. Sebagai niat baik politik dan keinginan, saya tidak heran yang kemudian paling gigih mengkampanyekan hasrat ini adalah anggota Komisi V DPR RI dari Sulut, Yasti Mokoagow, serta Bupati Bolsel dan jajarannya.

Totabuanews.Com, Senin, 18 November 2013, menulis optimisme Yasti Mokoagow sebagai endorser pembangunan Bandara di Bolsel (http://m.totabuanews.com/bolsel-lebih-siap-bangun-bandara/), lengkap dengan kutipan, “Lokasi yang disiapkan Pemkab Bolsel sudah sangat memenuhi syarat.’’ Dia juga menegaskan kelayakan itu dengan mengemukakan, “Sebagai anggota Komisi yang membidangi pembangunan infrastruktur, saya akan turut memperjuangkan hingga ke tingkat pusat. Apalagi Bolsel lokasinya masih sangat luas dan dapat diproyeksikan menjadi Bandara Internasional.’’

Keinginan yang dipupuk dengan ekspektasi dan jaminan niat baik politik itu, ternyata terbentur kajian yang dilakukan Dinas Perhubungan dan Kominfo Sulut. Saya tidak mengetahui seperti apa kajian yang dilakukan, tetapi saya yakin Pemprov Sulut tak akan main-main memutuskan layak-tidaknya satu infrastruktur berbiaya mahal dibangun di daerah tertentu.

Apa yang harus dilakukan pemerintah dan warga Bolsel yang kecewa? Buat kajian tandingan yang lebih komprehensif dan terintegrasi dengan rencana pembangunan jangka panjang yang melibatkan kabupaten/kota di wilayah Mongondow. Tunjukkan bahwa pembangunan Bandara di wilayah Bolsel bukanlah sekadar keinginan, tapi kebutuhan penting bagi kemaslahatan Mongondow di jangka panjang. Tidak pula hanya karena kepentingan ‘’jualan politik’’ menjelang Pemilu 2014 dan tabungan kredibilitas Bupati yang sebentar lagi akan bertarung untuk masa jabatan kedua.

Maraju massal, apalagi dengan dimotori Bupati yang mengait-ngaitkan dengan PBMR dan sentimen etnisitas bahwa mayoritas warga Bolsel berlatar Gorontalo, hanya menimbulkan antipati tidak perlu. Memangnya orang banyak gampang dibodohi ancaman menarik dukungan terhadap PBMR? Coba saja Bupati Bolsel membuktikan omongan kalau dia tidak dikeroyok warga se Bolmong Raya.

Akan halnya sinyal hijrah ke Provinsi Gorontalo, yang lebih saya anggap sebagai tafsir keterlaluan para pewarta terhadap pernyataan Bupati, kalau pun demikian adanya, lakukan dengan segera, tetapi jangan menyeret-nyeret tanah Mongondow. Tak ada yang bakal menahan Bupati dan siapa pun yang berniat ‘’pindah ke lain provinsi’’, toh tinggal menggelar Pilkada ulang dan memilih penggantinya. Hanya, saya berharap Bupati tak lupa memastikan beberapa anggota DPR Bolsel yang kerjanya cuma menciptakan kebisingan politik, juga turut diboyong bersama-sama.

Lagipula, kalau Bupati dan warga Bolsel memilih bergabung dengan Provinsi Gorontalo, pasti dijamin Bandara akan dibangun di wilayahnya? Maraju kua’ rupa anak-anak bagitu. Kiapa nyanda sekalian jo Bupati manangis, ba banting-banting, deng babaguling di muka pa Gubernur Sulut?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bandara: Bandar Uadara; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; Kominfo: Komunikasi dan Informasi; PBMR: Provinsi Bolaang Mongondow Raya; Pemprov: Pemerintah Provinsi; RI: Republik Indonesia; dan Sulut: Sulawesi Utara.