MEMBACA tiga
unggahan di Totabuan.Co, Minggu dan
Senin, 22-23 Desember 2013, tentang buruknya pelayanan terhadap pasien di RSUD
Datoe Binangkang, membuat saya menyimpulkan: Institusi yang semestinya mengurusi
orang sakit ini justru sama tak sehatnya dengan pengguna jasanya. Fakta-fakta
yang dibeber cukup dingin dan jauh dari spekulasi, kendati beberapa informasi
dasar yang sangat diperlukan pembaca, semisal sumber beritanya, hanya disebut
‘’pasien’’.
Walau demikian, saya tidak meragukan ada kebenaran yang
dikandung berita Jika Lihat Pasien Miskin, Dokter di RSUD Datoe Binangkang Banyak Alasan
(http://totabuan.co/2013/12/21/jika-lihat-pasien-miskin-dokter-di-rsud-datoe-binangkang-banyak-alasan/);
Ketua DPRD Ragukan Alasan Pihak Rumah
Sakir Datoe Binangkang, Soal Kehabisan Benang Jahit (http://totabuan.co/2013/12/22/ketua-dprd-ragukan-alasan-pihak-rumah-sakit-datoe-binangkang-soal-kehabisan-benang-jahit/);
dan Soal Buruknya Pelayanan Kepada Warga
Miskin, Komisi III Segera Panggil Dirut RSUD Datoe Binangkang (http://totabuan.co/2013/12/23/soal-buruknya-pelayanan-kepada-warga-miskin-komisi-iii-segera-panggil-dirut-rsud-datoe-binangkang/)
itu. Terlebih Totabuan.Co sudah pula
meminta tanggapan pihak RS Datoe Binangkan dan DPR Bolmong.
Agar lebih kredibel, ada baiknya situs berita itu mulai belajar
meninggalkan ‘’jurnalisme hantu’’ yang prakteknya di Sulut dipelopori Grup MP.
‘’Pasien’’ yang menjadi sumber berita buruknya pelayanan RSUD Datoe Binangkang
bukanlah pelaku atau korban kejahatan berusia belia yang namanya perlu
disamarkan. Dia, bila benar adalah ‘’orang miskin’’ yang mengalami kejadian
seperti yang ditulis Totabuan.Co,
adalah korban yang berhak menuntut penjelasan, pula simpati semua pihak.
Lagipula telah kita mahfumi, orang miskin, miskinnya
pelayanan kesehatan, serta dokter dan pengelola institusi publik pengurus hajat
sehat orang banyak yang miskin profesionalisme, sudah jadi isu laten di negeri
ini. Peristiwa yang ditulis Totabuan.Co
itu, tak pelak mengingatkan saya pada buku karangan Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sakit (Resist
Book, 2004). Sejujurnya, saya tidak pernah membaca buku ini, karena judul sudah
menjelaskan seluruh maksud yang dikandung.
Di Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 45, yang
masyarakatnya diklaim suka tolong-menolong dalam keramahan dan kesantunan,
orang miskin bukan hanya dilarang sakit. Semua hal yang mungkin mampu kita
pikir, yang kira-kira berkonsekwensi biaya, layak jadi larangan untuk orang
miskin: Orang miskin dilarang sekolah; orang miskin dilarang jadi politikus;
orang miskin dilarang jadi PNS; orang miskin dilarang jadi pengusaha; bahkan
orang miskin dilarang cerewet.
Sebaliknya, orang kaya boleh apa saja, khususnya di
Mongondow, apalagi kalau dia juga memegang jabatan publik dan politik. Aparat
penegak hukum di daerah ini toh ingin
kaya juga. Dan resep menjadi orang kaya dengan cara gampang sungguh sederhana:
Mulailah bergaul dengan orang kaya, pasti Anda ketularan –atau minimal
terpercik—berkah kekayaannya.
Saya tak hendak berburuk sangka, apalagi berspekulasi hingga
tergelincir jadi fitnah dan ujung-ujungnya menyeret saya ke hadapan hukum, tapi
kenyataannya (tak hanya di wilayah Mongondow) maling ayam selalu cepat dicokot
pihak berwenang. Lain soal kalau urusan korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau
sejenis ‘’kasus basah’’ yang melibatkan pelaku ‘’kelas kakap’’, prosesnya bisa
bertahun-tahun, bahkan lama-kelamaan orang banyak terpaksa pura-pura lupa dan
mengikhlaskan sembari berpasrah mengingat tausiah yang kerap disampaikan Pak
Ustadz, bahwa, ‘’Tuhan tidak pernah tidur.’’
Itu sebabnya, di atas semua larangan yang harus dicamkan,
orang miskin juga dilarang berperkara atau kena perkara. Polres Bolmong,
seingat saya, masih berhutang beberapa kasus yang melibat mereka yang tak
berpunya sebagai korban, salah satunya (yang sudah berulang kali saya tulis)
adalah tewasnya bocah
perempuan dari Desa Paret (Boltim), Alvira Mokoginta, yang hilang pada Sabtu
(26 Juni 2011) dan ditemukan dalam kondisi menggenaskan.
Di
akhir 2013 ini pelaku kebiadaban terhadap Almarhumah Elvira tak kunjung
terungkap, padahal polisi sudah punya bukti-bukti permulaan. Apakah karena
orangtua anak kelima dari enam bersaudara ini, Aleng Mokoginta dan Suriati,
cuma ‘’orang kecil yang papah’’ lalu pengungkapan kasusnya bukan prioritas?
Atau karena kasusnya ‘’kering’’, cuma bikin repot, dan tak ada pula pihak lain
yang meramaikan, lalu duka mereka akhirnya bakal terlupa oleh cepatnya zaman
yang melintas?
Cara
pihak berwenang, juga elit birokrasi dan politik yang wajib mengurus
kemaslahatan masyarakat, menangani masalah yang melibatkan orang miskin atau
pelayanan publik, memang selalu memuakkan. Kasus yang dikedepankan Totabuan.Co berkenaan dengan pelayanan
di RSUD Datoe Binangkang tidaklah rumit: Ada pasien yang melahirkan dan
(tampaknya) harus dioperasi, tapi karena RSUD kehabisan obat bius, maka dia dirujuk
ke RS swasta dengan konsekwensi harus merogoh kantong lebih dalam. Kasus yang
lain, juga pasien yang akan melahirkan dan mesti dibedah, dirujuk ke RS swasta
yang sama karena RSUD kehabisan benang jahit. Dari angle pemberitaan, patut diterjemahkan bahwa dua pasien ini adalah
warga miskin yang jadi korban ‘’kongkalingkong bisnis layanan kesehatan.’’
Pembaca,
Anda tahu apa yang menjengkelkan dari kasus itu? Respons DPR Bolmong dan
kilahan Direktur RSUD Datoe Binangkang yang asal-asalan, sungguh menghina akal
sehat. DPR akan memanggil Direktur RSUD untuk hearing. Lalu apa yang akan ditanyakan? Direktur RSUD sendiri
dengan enteng sudah menyampaikan alasan, benang yang habis tidak dijual di
apotek di Kotamobagu dan harus didatangkan dari Manado.
Apa
sulitnya bagi tuan-tuan besar di DPR Bolmong, yang berkantor tak jauh dari RSUD
Datoe Binangkang, melakukan inspeksi, mengecek benar-tidaknya publikasi media;
setelah itu merumuskan pihak mana saja yang harus di-hearing. Sebaliknya, Direktur RSUD jangan pula menjawab seperti
pedagang rica-tomat yang buta-tuli supply
chain. Kecelakaan atau pasien melahirkan bukan peristiwa satu kasus dalam
satu tahun seperti gigitan ular kobra yang obatnya boleh jadi sama sekali tak ada
di daftar stok yang siap setiap saat. Obat bius dan benang jahit mutlak
tersedia, terlebih dengan memahami bahwa setiap hari sangat mungkin ada pasien
yang memerlukan penanganan dengan tindakan pembedahan, minimal minor.
Ibu
Direktur RSUD Datoe Binangkan, jawaban asal
malontok Anda, seolah pasien dan
orang banyak yang awam bodoh belaka, membuat profesi dokter kini kian dianggap
sebagai sekadar ‘’tukang kelontong jasa kesehatan’’. Mungkin Anda perlu jujur
mengatakan, ‘’Persediaan obat bius dan benang jahit kami sering habis karena
anggaran kosong.’’ Atau, sekalian saja mengakui, ‘’Di RSUD Datoe Binangkang
kami memang tidak memiliki tenaga mumpuni yang memahami supply chain dan manajemen persediaan
yang mendukung layanan kesehatan prima.’’ Ini lebih baik dan lebih bermartabat,
juga menunjukkan kualitas kecerdasan seorang dokter yang juga Direktur RSUD.
Warga
umumnya sudah tahu, pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas tinggi memang
masih jauh dari perhatian para Bupati-Wabup serta Walikota-Wawali di wilayah
Mongondow. Sebab itu, wahai tuan-tuang besar di DPR Bolmong, Direktur RSUD
Datoe Binangkang, serta institusi dan aparat layanan publik terkait, janganlah
pula derita mereka yang menggantungkan harapannya, terutama kaum yang tak mampu
dan tak berdaya, diremehkan dengan omong kosong dan tipu-tipu politis.
Mohon
diingat, orang-orang miskin yang marah dan capek dijadikan sekadar obyek,
ditambah mereka yang punya kesadaran menuntut hak, adalah kumpulan yang mampu
melindas apapun.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang
Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow
Timur; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; MP:
Manado Post; PNS: Pegawai Negeri
Sipil; RSUD: Rumah Sakit Umum Daerah;
dan UUD: Undang-undang Dasar.