Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, December 26, 2013

Orang Miskin, DPR Tuan Besar, RSUD ‘’Asal Malontok’’

MEMBACA tiga unggahan di Totabuan.Co, Minggu dan Senin, 22-23 Desember 2013, tentang buruknya pelayanan terhadap pasien di RSUD Datoe Binangkang, membuat saya menyimpulkan: Institusi yang semestinya mengurusi orang sakit ini justru sama tak sehatnya dengan pengguna jasanya. Fakta-fakta yang dibeber cukup dingin dan jauh dari spekulasi, kendati beberapa informasi dasar yang sangat diperlukan pembaca, semisal sumber beritanya, hanya disebut ‘’pasien’’.

Walau demikian, saya tidak meragukan ada kebenaran yang dikandung berita  Jika Lihat Pasien Miskin, Dokter di RSUD Datoe Binangkang Banyak Alasan (http://totabuan.co/2013/12/21/jika-lihat-pasien-miskin-dokter-di-rsud-datoe-binangkang-banyak-alasan/); Ketua DPRD Ragukan Alasan Pihak Rumah Sakir Datoe Binangkang, Soal Kehabisan Benang Jahit (http://totabuan.co/2013/12/22/ketua-dprd-ragukan-alasan-pihak-rumah-sakit-datoe-binangkang-soal-kehabisan-benang-jahit/); dan Soal Buruknya Pelayanan Kepada Warga Miskin, Komisi III Segera Panggil Dirut RSUD Datoe Binangkang (http://totabuan.co/2013/12/23/soal-buruknya-pelayanan-kepada-warga-miskin-komisi-iii-segera-panggil-dirut-rsud-datoe-binangkang/) itu. Terlebih Totabuan.Co sudah pula meminta tanggapan pihak RS Datoe Binangkan dan DPR Bolmong.

Agar lebih kredibel, ada baiknya situs berita itu mulai belajar meninggalkan ‘’jurnalisme hantu’’ yang prakteknya di Sulut dipelopori Grup MP. ‘’Pasien’’ yang menjadi sumber berita buruknya pelayanan RSUD Datoe Binangkang bukanlah pelaku atau korban kejahatan berusia belia yang namanya perlu disamarkan. Dia, bila benar adalah ‘’orang miskin’’ yang mengalami kejadian seperti yang ditulis Totabuan.Co, adalah korban yang berhak menuntut penjelasan, pula simpati semua pihak.

Lagipula telah kita mahfumi, orang miskin, miskinnya pelayanan kesehatan, serta dokter dan pengelola institusi publik pengurus hajat sehat orang banyak yang miskin profesionalisme, sudah jadi isu laten di negeri ini. Peristiwa yang ditulis Totabuan.Co itu, tak pelak mengingatkan saya pada buku karangan Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sakit (Resist Book, 2004). Sejujurnya, saya tidak pernah membaca buku ini, karena judul sudah menjelaskan seluruh maksud yang dikandung.

Di Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 45, yang masyarakatnya diklaim suka tolong-menolong dalam keramahan dan kesantunan, orang miskin bukan hanya dilarang sakit. Semua hal yang mungkin mampu kita pikir, yang kira-kira berkonsekwensi biaya, layak jadi larangan untuk orang miskin: Orang miskin dilarang sekolah; orang miskin dilarang jadi politikus; orang miskin dilarang jadi PNS; orang miskin dilarang jadi pengusaha; bahkan orang miskin dilarang cerewet.

Sebaliknya, orang kaya boleh apa saja, khususnya di Mongondow, apalagi kalau dia juga memegang jabatan publik dan politik. Aparat penegak hukum di daerah ini toh ingin kaya juga. Dan resep menjadi orang kaya dengan cara gampang sungguh sederhana: Mulailah bergaul dengan orang kaya, pasti Anda ketularan –atau minimal terpercik—berkah kekayaannya.

Saya tak hendak berburuk sangka, apalagi berspekulasi hingga tergelincir jadi fitnah dan ujung-ujungnya menyeret saya ke hadapan hukum, tapi kenyataannya (tak hanya di wilayah Mongondow) maling ayam selalu cepat dicokot pihak berwenang. Lain soal kalau urusan korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau sejenis ‘’kasus basah’’ yang melibatkan pelaku ‘’kelas kakap’’, prosesnya bisa bertahun-tahun, bahkan lama-kelamaan orang banyak terpaksa pura-pura lupa dan mengikhlaskan sembari berpasrah mengingat tausiah yang kerap disampaikan Pak Ustadz, bahwa, ‘’Tuhan tidak pernah tidur.’’

Itu sebabnya, di atas semua larangan yang harus dicamkan, orang miskin juga dilarang berperkara atau kena perkara. Polres Bolmong, seingat saya, masih berhutang beberapa kasus yang melibat mereka yang tak berpunya sebagai korban, salah satunya (yang sudah berulang kali saya tulis) adalah tewasnya bocah perempuan dari Desa Paret (Boltim), Alvira Mokoginta, yang hilang pada Sabtu (26 Juni 2011) dan ditemukan dalam kondisi menggenaskan.

Di akhir 2013 ini pelaku kebiadaban terhadap Almarhumah Elvira tak kunjung terungkap, padahal polisi sudah punya bukti-bukti permulaan. Apakah karena orangtua anak kelima dari enam bersaudara ini, Aleng Mokoginta dan Suriati, cuma ‘’orang kecil yang papah’’ lalu pengungkapan kasusnya bukan prioritas? Atau karena kasusnya ‘’kering’’, cuma bikin repot, dan tak ada pula pihak lain yang meramaikan, lalu duka mereka akhirnya bakal terlupa oleh cepatnya zaman yang melintas?

Cara pihak berwenang, juga elit birokrasi dan politik yang wajib mengurus kemaslahatan masyarakat, menangani masalah yang melibatkan orang miskin atau pelayanan publik, memang selalu memuakkan. Kasus yang dikedepankan Totabuan.Co berkenaan dengan pelayanan di RSUD Datoe Binangkang tidaklah rumit: Ada pasien yang melahirkan dan (tampaknya) harus dioperasi, tapi karena RSUD kehabisan obat bius, maka dia dirujuk ke RS swasta dengan konsekwensi harus merogoh kantong lebih dalam. Kasus yang lain, juga pasien yang akan melahirkan dan mesti dibedah, dirujuk ke RS swasta yang sama karena RSUD kehabisan benang jahit. Dari angle pemberitaan, patut diterjemahkan bahwa dua pasien ini adalah warga miskin yang jadi korban ‘’kongkalingkong bisnis layanan kesehatan.’’

Pembaca, Anda tahu apa yang menjengkelkan dari kasus itu? Respons DPR Bolmong dan kilahan Direktur RSUD Datoe Binangkang yang asal-asalan, sungguh menghina akal sehat. DPR akan memanggil Direktur RSUD untuk hearing. Lalu apa yang akan ditanyakan? Direktur RSUD sendiri dengan enteng sudah menyampaikan alasan, benang yang habis tidak dijual di apotek di Kotamobagu dan harus didatangkan dari Manado.

Apa sulitnya bagi tuan-tuan besar di DPR Bolmong, yang berkantor tak jauh dari RSUD Datoe Binangkang, melakukan inspeksi, mengecek benar-tidaknya publikasi media; setelah itu merumuskan pihak mana saja yang harus di-hearing. Sebaliknya, Direktur RSUD jangan pula menjawab seperti pedagang rica-tomat yang buta-tuli supply chain. Kecelakaan atau pasien melahirkan bukan peristiwa satu kasus dalam satu tahun seperti gigitan ular kobra yang obatnya boleh jadi sama sekali tak ada di daftar stok yang siap setiap saat. Obat bius dan benang jahit mutlak tersedia, terlebih dengan memahami bahwa setiap hari sangat mungkin ada pasien yang memerlukan penanganan dengan tindakan pembedahan, minimal minor.

Ibu Direktur RSUD Datoe Binangkan, jawaban asal malontok Anda, seolah pasien dan orang banyak yang awam bodoh belaka, membuat profesi dokter kini kian dianggap sebagai sekadar ‘’tukang kelontong jasa kesehatan’’. Mungkin Anda perlu jujur mengatakan, ‘’Persediaan obat bius dan benang jahit kami sering habis karena anggaran kosong.’’ Atau, sekalian saja mengakui, ‘’Di RSUD Datoe Binangkang kami memang tidak memiliki tenaga mumpuni yang memahami supply chain dan manajemen persediaan yang mendukung layanan kesehatan prima.’’ Ini lebih baik dan lebih bermartabat, juga menunjukkan kualitas kecerdasan seorang dokter yang juga Direktur RSUD.

Warga umumnya sudah tahu, pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas tinggi memang masih jauh dari perhatian para Bupati-Wabup serta Walikota-Wawali di wilayah Mongondow. Sebab itu, wahai tuan-tuang besar di DPR Bolmong, Direktur RSUD Datoe Binangkang, serta institusi dan aparat layanan publik terkait, janganlah pula derita mereka yang menggantungkan harapannya, terutama kaum yang tak mampu dan tak berdaya, diremehkan dengan omong kosong dan tipu-tipu politis.

Mohon diingat, orang-orang miskin yang marah dan capek dijadikan sekadar obyek, ditambah mereka yang punya kesadaran menuntut hak, adalah kumpulan yang mampu melindas apapun.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur;  DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; MP: Manado Post; PNS: Pegawai Negeri Sipil; RSUD: Rumah Sakit Umum Daerah; dan UUD: Undang-undang Dasar.