Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, February 22, 2013

Tahlis Galang dan Generasi Birokrat yang Terabaikan


ASISTEN I Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Tahlis Galang, Senin (18 Februari 2013), dilantik sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda) menggantikan Gunawan Lombu yang memasuki masa pensiun. Pilihan Bupati Herson Mayulu mengajukan nama Tahlis, menurut hemat saya adalah terobosan berani yang harus diacungi jempol.

Tahlis Galang adalah generasi Mongondow yang jauh di bawah saya. Dari sisi usia, dia masih belia. Tidak demikian dengan karir birokrasinya yang melesat cepat. Bagi mereka yang mengenal dekat, dia dinilai pantas mendapat promosi. Tahlis, ungkap sejumlah orang yang saya temui, bukan hanya cerdas, santun, sederhana, tetapi juga tergolong ‘’lurus’’ dalam perilaku.

Dia adalah generasi birokrat profesional Mongondow yang bila mampu menjaga diri, bakal menjadi contoh baik di masa depan. Setidaknya, Tahlis dan sejumlah kecil birokrat yang berkecerdasan dan berperilaku sama, adalah kabar baik bahwa kita tetap bisa memelihara optimisme terhadap birokrasi dan sistemnya di daerah ini.

Saya pribadi mulai menaruh perhatian ada Tahlis galang ketika dia masih mengabdi di Bolmong (Induk), di masa perintahan Bupati Marlina Moha-Siahaan. Selain Tahlis, nama lain yang mengundang cermatan saya adalah Suharjo Makalalag, yang ketika itu kembali dari pertengahan studi PhD-nya untuk mengabdi sebagai birokrat. Dua nama ini disebut-sebut sebagai birokrat cerdas yang berpikiran berbeda dan bakal jadi rising sun.

Sungguh sayang karena belakangan Suharjo Makalalag yang meneruskan pengabdiannya di Bolmong (Induk) di bawah Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, ‘’terpeleset’’ kasus Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD). Kita sama tahu, kini Suharjo harus meringkuk di balik terali besi demi menebus keterlibatannya itu.

Akan halnya Tahlis yang pindah bersama dimekarkannya Bolsel dari Bolmong (Induk), melanjutkan karir tanpa sekali pun terdengar melakukan tindak tercela. Setidaknya itu yang saya ketahui.

Tapi diam-diam reputasi Tahlis mendapat atensi luas. Dia sempat digadang-gadang sebagai salah satu pilihan utama mendampingi Salihi Mokodongan sebagai bakal calon Wabup di Pilkada Bolmong, awal 2011 lalu. Ketika akhirnya Salihi Mokodongan disandingkan dengan Yani Tuuk, nama Tahlis tidak serta merta menghilang. Dia disodorkan sebagai salah satu alternatif utama menyokong kepemimpinan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk di posisi Sekda.

Kita tahu akhir dari kisah di atas. Bupati-Wabup Bolmong punya pertimbangan sendiri memilih Sekda dan Tahlis Galang tetap duduk di kursi Asisten I Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolsel.

***

Pertemuan (pertama) saya dengan Tahlis Galang berlangsung di Kantor Pemkab Bolsel, satu hari saat saya diundang berbagi pengetahuan dan praktek komunikasi dengan jajaran birokrat daerah ini. Tatkala diperkenalkan, saya membathin, ‘’O, ini Tahlis Galang yang sering disebut-sebut oleh beberapa adik dan sepupu.’’

Kesantunan dan kesederhaan yang dia perlihatkan hari itu (saya merasa jenggah karena seorang Asisten tak sungkan membuka pintu mobil), mengkonfirmasi sejumlah cerita yang ditutur di malam-malam saya, adik-adik, dan para sepupu berbual-bual di garasi rumah di Malalayang atau teras kediaman Ayah-Ibu di Jalan Amal, Mogolaing. Salah satu di antara cerita itu, bahwa selain bersikutat dengan tugas-tugas birokrasi, Tahlis Galang memelihara kolam yang diisi belut.

Hasil berkolam belut itu menjadi penompang ekonomi Tahlis, yang membuat dia tidak tersentuh gosip penyelewengan wewenang (utamanya keuangan), padahal kekuasaan birokrasi yang ada di tangannya memberi peluang besar. Ketika saya menanyakan ihwal perbelutan itu, Tahlis bahkan spontan menawarkan mencicipi  belut dari kolamnya. Apalagi dia ternyata sudah diberitahu bahwa saya tergolong penggila belut.

Kesederhanaan Tahlis kian lengkap ketika saya menegok kediamannya di Kota Kotamobagu (KK) yang sungguh bersahaja, bahkan dibandingkan dengan birokrat seangkatan dia dengan jabatan birokrasi yang lebih rendah. Kendati begitu, di hadapan sejumlah aktivis Mongondow, usai berpesta bebek rica-rica di rumah salah seorang sepupu, Sarif Mokodongan, saya pernah melontarkan komentar, ‘’Mudah-mudahan Tahlis tetap waras, jangan sampai akhirnya tak beda dengan kebanyakan birokrat yang mulanya kita puji karena kerena profesionalisme, kesederhaan, dan kelurusannya. Yang berubah menjadi berbulu ayam di saat mencapai tangga elit kekuasaan.’’

***

Lulus dengan nilai tergolong cemerlang dari Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor, Sumedang, 1997, Tahlis Galang bukanlah satu-satunya alumni sekolah ini dari wilayah Mongondow. Salah seorang kawan seangkatannya yang saya tahu persis adalah Max Iswadi Mokodompit yang kini bekerja di Pemkab Bolaang Mongondow Timur (Boltim).

Pengecekan yang saya lakukan sangat mengejutkan, di Mongondow bertebaran alumni STPDN di atas maupun di bawah angkatan Tahlis Galang, yang susah-payah meniti karir dan tampak terabaikan pendayagunaan pengetahuan, kapasitas, dan kapabilitasnya. Apakah karena dari sisi kualitas mereka biasa saja? Atau tersebab birokrasi di Mongondow umumnya disusun bukan berdasarkan pertimbangkan profesionalisme birokrasi, melainkan lebih banyak pada aspek politis dan selera Bupati, Wabup, Walikota, atau Wakil Walikota (Wawali)?

Ibarat langsat, apakah Tahlis Galang adalah satu biji anaomali dari setandan buah? Dia matang terlebih dahulu dibanding yang lain? Padahal dari hukum buah langsat, biji yang berada di tandan yang sama harusnya matang bersamaan pula.

Di tengah keluh-kesah minimnya sumber daya birokrasi profesional di Mongondow, pelantikan Tahlis Galang sebagai Plt Sekda Bolsel harusnya menyadarkan para Bupati-Wabub dan Walikota-Wawali bahwa ada resources yang terabaikan. Kalau Tahlis Galang mampu menduduki jabatan Asisten I kemudian Plt Sekda, semestinya alumni STPDN yang lain –seangkatan, di atas atau di bawah angkatannya—seperti Max Iswadi Mokodompit, juga punya kapasitas dan kapabilitas yang kurang lebih sama.

Masalahnya, apakah Bupati-Wabup atau Walikota-Wawali di Mongondow menyadari situasi ini? Bupati Bolsel, Herson Mayulu, membuktikan dia berani melakukan terbosan. Bagaimana dengan yang lain? Jangan sampai para alumni STPDN yang pendidikannya dibiaya sangat besar oleh negara menjadi generasi birokrasi yang tersia-sia di Mongondow, hanya karena elit birokrasi dan politik abai mendayagunakan mereka.

Dan sebagai ‘’contoh soal’’, saya mendoakan agar Tahlis Galang tetap pada sosok dan performance yang sudah dia tunjukkan selama ini. Ada harapan banyak orang di pundak Anda, Bung. Jangan disia-siakan. Semoga Tuhan Yang Maha Besar selalu membimbing langkah dan tindakan Anda.***