Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, February 3, 2013

Surat Terbuka untuk Sumardi Arahbani


MENAKJUBKAN betul mengetahui kian banyak orang Mongondow (atau yang bersentuhan dengan Mongondow) yang berpengetahuan tinggi. Malam ini (Minggu, 3 januari 2013) saya mendapatkan forward tulisan Sumardi Arahbani yang diunggah di grup Pinotaba: Dari Perang Aceh hingga Katamsi Ginano: Catatan Atas Polemik Provinsi Totabuan.

Dari penelusuran yang saya lakukan, Sumardi Arahbani pernah mengakui mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), sebagaimana yang dipublikasi Radar Manado, Rabu (23 November 2011). Selebihnya, hanya ada tautan-tautan ke facebook, yang sayang sekali tak dapat saya kunjungi. Hingga tulisan ini dibuat, saya tidak punya account facebook.

Sekali pun begitu, ada sepotong informasi, bahwa Sumardi Arahbani pernah menempuh pendidikan environmental science di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Potongan lain yang sangat sedikit memberi gambaran adalah minatnya terhadap penelitian environmental science dan environmental history.

Latar belakangnya yang belajar ilmu lingkungan tidak membuat saya menyepelekan pengetahuan sejarah Sumardi Arahbani. Toh saya pernah mencicipi teknik sipil, kemudian ilmu politik, tetapi belakangan lebih dianggap (sebagai anggapan, tentu suka-suka yang menganggap) memahami dengan baik corporate social responsibility (CSR) yang justru di bawah disiplin ilmu ekonomi.

Maka mari kita masuk pada urusan sejarah, terlebih tulisan Sumardi Arahbani yang diunggah di Pinotaba, kemudian dijadikan dasar olok-olok terhadap saya dan leluhur saya. Mungkin Sumardi Arahbani bisa memberi pencerahan, di bagian mana tafsir sejarah yang sifatnya personal, bukan penelitian ilmiah, yang dia kritisi mengandung kelemahan yang jadi cacat besar? Saya tidak keberatan  belajar, menjadi murid yang baik, bila disodori rujukan yang lebih sahih.

Apa yang saya tuliskan bukan firman atau kutipan kitab suci. Boleh dianulir bila memang ada cacat, yang dibuktikan dengan metode ilmiah yang diterapkan dan diuji dengan ketat.

***

Dengan kerendahan hati saya berani mengatakan, secara pribadi saya cukup mengenal Goenawan Mohamad. Akan halnya Romo Sindhunata, saya familiar dengan apa yang dia tuliskan. Saya berterima kasih pada Sumardi yang telah dengan kelapangan dada menyandingkan saya dengan dua maha guru esai di Indonesia ini.

Saya sadar, kelas saya jauh dari Romo Sindhu, apalagi Mas Goen (Goenawan Mohamad) yang bacaannya ruar biasa komplit. Dan aspek paling mendasar perbedaan antara saya dan dua tokoh itu adalah: Mereka menulis, saya mengomel.

Saya menyukai tulisan-tulisan mereka. Bahkan di beberapa kesempatan, berdiskusi tentang kandungan tulisannya langsung dengan Mas Goen. Yang hebat dari para empu seperti Mas Goen, dia boleh mengkritik, mencela, atau meremehkan; tetapi juga menerima sikap yang sama apabila lawan diskusinya punya argumen dan bukti-bukti kuat.

Di ranah sejarah kontemporer berserak nama-nama yang karyanya saya suka, bahkan gila-gilai. Gavin Menzies yang menulis ulang sejarah eksplorasi dunia, termasuk penemuan Benua Amerika lewat 1421 (2002) dan 1434 (2008); Simon Sebag-Montefiore yang menghentak kita dengan Jerusalem: The Biography (2011), Young Stalin (2008), Stalin: The Court of the Red Tsar (2005); atau John Man yang membuai lewat Genghis Khan: Life, Death and Resurrection (2005), Attila: The Barbarian King Who Challenged Rome (2005), Kublai Khan (2006), Samurai: The Last Warrior (2011), dan yang terbaru Ninja: 1,000 Years Of The Shadow Warriors (2012).

Ada banyak nama yang bisa disebutkan, termasuk Jared Diamon, Profesor Geografi yang justru menulis buku yang bertitik-berat sejarah peradaban manusia, Guns, Germs & Steel (1997), yang mengganjari dia Hadiah Pulitzer pada 1998.

Bagaimana dengan sejarawan yang menulis tentang Indonesia? Saya mengoleksi cukup banyak buku sejarah Indonesia, mulai dari The History of Java-nya Thomas Stamford Raffles (edisi Indonesianya terbit pada 2008), Sejarah Indonesia Modern Sejak 1200 dari MC Ricklefs (edisi revisi terbit pada 2005) yang setebal bantal, serta ratusan literatur sejaran lain yang saat ini ditumpuk di 15 kotak dokumen di ruang kerja saya.

Dan itu tak cukup karena saya masih memburu karya-karya W Dunnebier, seorang pendeta Belanda yang pernah bermukim di Passi. Saking langkanya, karya-karya Dunnebier yang bahkan menulis sebagian bukunya dalam bahasa Mongondow, hanya dikoleksi oleh kurang dari empat perpustakaan terkemuka di dunia.

Benar bila saya tidak secara khusus mempelajari sejarah. Saya mengikuti kuliah metodologi penelitian dan penulisan sejarah, kuliah-kuliah lain berkaitan dengan sejarah, sembari asik membaca buku yang tak berhubungan dengan apa yang sedang dipaparkan para dosen. Jadi, sangat mungkin saya membuat kekeliruan atau terpeleset dalam soal sejarah kehidupan Kakek Buyut saya.

***

Masalahnya, sejarah Indonesia kontemporer tidaklah tua-tua amat. Hingga 30 tahun lalu masih banyak orang tua di Mongondow (usia saya sudah melewati paruh 40-an) yang menjadi saksi hidup peristiwa yang terjadi di awal abad 20. Sedemikian pula, kendati compang-camping, setelah era Orde Baru, kita masih bisa menelusuri banyak peristiwa kontemporer yang luput dari sejarah mainstream karena rezim yang berkuasa terlampau berorientasi pada Jawa dan manusianya.

Lebih buruk lagi, negeri ini miskin sejarawan yang menyeriusi riset dan menuliskan tanpa terpengaruh tarikan kepentingan (utamanya) politik rezim kuasa. Boleh dibilang, sejarah pinggiran yang kita cecap sekarang adalah sisa-sisa pengetahuan yang diwariskan dengan compang-camping secara turum-temurun.

Tapi juga sejarah memiliki tipikalnya sendiri. Sebagai penggemar riset sejarah (sekali pun itu sejarah lingkungan), Sumardi Arahbani tentu tidak membantah di era kolonial serdadu bayaran identik dengan Ambon dan wilayah sekitarnya. Demikian pula dengan kuli kontrak, yang identik dengan orang Jawa.

Pertanyaan saya: Tidakkah melawan sejarah sebuah kerajaan yang diketahui tidak pernah dijajah, tidak mengenal tradisi serdadu bayaran, lalu mengirim tentaranya berperang di bawah panji Verenigde Oostindische Compaqnie (VOC)? Sebagai serdadu bayaran pula? 

Mungkin saya melewatkan banyak literatur sejarah Aceh, terutama berkaitan dengan perang tak kunjung henti di wilayah ini di era kolonial. Dan bab yang terlewatkan itu gawat nilainya, karena berisi kisah tentang serdadu bayaran yang berasal dari Bolmong, yang salah satunya adalah Kakek Buyut.

Mohon Sumardi Arahbani memberi saya pencerahan. Saya akan sangat berterima kasih untuk itu.***