Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, February 6, 2013

Permisi, Maaf, dan Terima Kasih


SORE jatuh di Jakarta yang mendung, Selasa (5 Februari 2013) ketika saya membaca berita yang diunggah Detik.Com, Abraham Samad Terbukti Bukan Caleg PKS, Hidayat Minta Maaf. Yang meminta maaf adalah Ketua Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS), Hidayat Nur Wahid; yang dimintai maaf adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, Abraham Sahmad; dan jadi musabab adalah tuduhan Samad pernah menjadi calon anggota legislatif (Caleg) PKS di Sulawesi Selatan (Sulsel).

Tuduhan dari Hidayat Nur Wahid ke Abraham Samad terlontar menyusul lindu ditangkapnya Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, atas dugaan suap-menyuap kuota daging impor yang melibatkan PT Indoguna Utama. Spekulasi yang mengiringi tuduhan Ketua Fraksi PKS, Abraham Samad berperan dalam konspirasi mendudukkan tokoh lain dengan menyingkirkan Luthfi Hasan Ishaaq dari pimpinan puncak partai.

Lontaran Hidayat Nur Wahid terbukti tak berlandas fakta dan karenanya dia meminta maaf. Detik.Com mengutipkan: ‘’Saya harus sampaikan permintaan maaf atas informasi yang kurang tepat itu dan demikian clear bahwa beliau memang bukan calon anggota DPR dari PKS.’’

Membaca permintaan maaf itu, saya nyaris mengekspresikan kekaguman dengan bertepuk-tangan. Hidayat Nur Wahid tidak hanya sedang menunjukkan ketinggian mentalitas, akal budi, dan adabnya; tapi juga mengingatkan kembali betapa mulia kebesaran hati. Sudah fitrah dan sifat alamiah manusia melakukan kesalahan; yang obat pertamanya cuma menunjukkan penyesalan degan permintaan maaf. Sepele, sederhana.

***

Namun yang dianggap sepele dan sederhana, kerap tak mudah dipraktekkan, terutama di Indonesia (negeri Pancasila yang ber-Tuhan dan berkemanusiaan yang adil dan beradab), lebih khusus lagi belakangan ini di Bolaang Mongodow (Bolmong). Meminta maaf, sekali pun salah, kelihatan tak lagi masuk dalam daftar tata sosial dan perilaku. Sudah terbukti salah, keliru, justru balik mengertak. Kalau pun akhirnya terpaksa minta maaf, semata karena pokok soalnya sudah jadi urusan pidana.

Ya, seperti lagu yang dilantunkan Elton John: Sorry seems to be the hardest word (maaf tampaknya menjadi kata yang amat sulit).

Teramat sulit bahkan untuk Anuar Sukur, penulis yang juga seorang kerabat sekaligus karib, yang menelepon Senin malam (4 Februari 2013) saat saya dalam perjalanan memenuhi janji makan malam dengan seorang kawan. Anuar (yang kita harapkan di masa datang menjadi pengganti almarhum Bernard Ginupit) tentu tahu persis budaya luhur Mongondow dalam soal mengakui kesalahan dan minta maaf.

Masalahnya, isu yang kami bahasa di telepon tidaknya menyangkut dia seorang, tetapi Komite Rakyat untuk Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya (KRUPPBMR), khususnya lagi account facebook kelompok ini yang sudah berulang kali digunakan mencaci maki saya pribadi. Anuar yang juga menjadi salah satu bagian dari kelompok ini menyatakan bahwa dia juga keberatan terhadap penyalah-gunaan itu.

Saya tahu secara tersirat (tidak tersurat) dia menyampaikan permintaan maaf, yang semestinya bukan menjadi tanggungjawabnya.  Saya mengenal baik Anuar, kepribadian dan ketulusannya. Dan untuk itu saya menyampaikan hormat yang tinggi. Lagipula, kalau dia punya keberatan, kritik, atau cacian, telepon dan pintu rumah saya setiap saat terbuka untuknya.

Namun, saya juga mengemukakan keprihatinan, bahwa saya cukup mengetahui sepak-terjang tokoh-tokoh utama yang berhimpun di KRUPPBMR. Beberapa orang saya respeki dengan sungguh-sungguh; sebagian lagi saya kampreti, terutama ‘’penumpang aji mumpung’’ yang rekam jejaknya jauh dari layak dihormati.

Ada yang mengaku-ngaku tokoh, aktif terlibat tidak hanya di KRUPPBMR, tapi sebenarnya pencoleng berlagak intelektual. Tidak percaya, cek saja ke beberapa organisasi masyarakat Mongondow di mana dia pernah aktif. Kasusnya sama: Manipulasi dan menilep uang organisasi, menjual-jual atas nama, dan sejenisnya. Cari tahu pulalah bagaimana aksi yang direncanakan oleh KRUPPBMR sudah dijadikan komoditas demi keuntungan pribadi, yang dilakukan oleh beberapa orang di dalam kelompok itu.

Fakta perkembangan terakhir isu pembentukan Provinsi BMR seharusnya membuat kita malu, karena masalahnya fundamentalnya ada di Mongondow. Ketidak-lengkapan administrasi dan sebagainya. Alasan bahwa aksi demontrasi membakar ban, keranda, dan foto Gubernur Sulut membuat isu provinsi kembali mendapat perhatian, terlampau mengada-ada. Sama dengan klaim bahwa kedatangan Gun Lapadengan mewakili Pemerintah Provinsi, adalah bukti adanya perhatian itu.

O, rupanya ini kelompok orang kurang perhatian? Atau justru gila perhatian? Sayangnya minta perhatian itu dilakukan dengan cara-cara coro.

Dan cara-cara rendah itu tidak perlu diherankan. Caci maki terhadap saya dengan menggunakan account KRUPPBMR, karena saya mengkritik aksi mereka, lebih dari sikap anti kritik yang juga menjadi gejala kronis di kalangan muda di Mongondow. Perilaku ini menunjukkan betapa pengetahuan, adab, dan mentalitas sejumlah orang yang mengaku aktivis memang busuk. Tapi memangnya saya peduli? Tidak masalah buat saya. Kalau itu masalah buat sejumlah cecungguk di KRUPPBMR, saya tidak ambil pusing.

Sama halnya saya juga tidak ambil pusing terhadap halusinasi orang yang mengaku memahami sejarah Mongondow dan kemudian dengan gagah-berani menduding saya. Setelah ditunjukkan cacat-cela argumentasinya, eh, bukannya mengakui dan bilang ‘’sorry’’, malah melompat ke urusan yang amat tidak penting. Kalau baru baca satu buku sejarah dan menjadikan satu-satunya referensi, ya, tahu dirilah. Tidak susah minta maaf dan kita melanjutkan hidup dengan damai sejahtera.

Lagipula, siapa yang menyuruh membaca tulisan saya? Kalau Anda berhak demonstrasi, main silat, gantung diri, atau menulis karang-karangan sesukanya, saya pun berhak men-tolol-tolol-kan siapa pun yang memang berperilaku hanya setinggi pohon poke-poke. Mongondow na’a de’-eman bi’ tonga’ budel i laki bo ba’i monimu.

***

Mantan salah seorang asisten saya, seorang perempuan yang konsern pada gerakan-gerakan sosial, meminta pensiun dini dan kini bergiat mengurusi orang-orang kecil, gigih mengkampayekan kesadaran menggunakan tiga kata: Permisi, maaf, dan terima kasih. Alasannya, tiga kata ini kian langka digunakan, dan itu mengindikasikan adab masyarakat ada di level kronis.

Dia mungkin benar. Dalam persentuhan saya dengan komunitas atau masyarakat yang kita difinisikan ‘’maju’’, kata ‘’excuse me’’, ‘’sorry’’ (atau ‘’pardon’’), dan ‘’thank you’’ mudah ditemukan di mana-mana. Sekadar melewati orang yang sedang berdiri, minimal ada dua dari tiga kata ini yang terucap.

Di kesempatan ini saya coba mempraktekkan penggunaan tiga kata itu: ‘’Permisi, wahai para cecunguk bebal di Mongondow (yang bukan cecungguk dan tidak bebal tentu menjadi pengecualian), saya mau meminta maaf akan terus mengolok-olok kalian, karena memang demikianlah yang pantas dilakukan. Terima kasih.’’***