Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, February 2, 2013

Nyata-Nyata Bandit, Bukan Pencitraan


SENTIMEN politik menjelang pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK) 2013-2018 benar-benar berada di fase yang hampir tak lagi mampu dicerna akal sehat. Ancaman loyalitas lewat sensus politik –yang mendata pemihakan politik pegawai negeri sipil (PNS)— ternyata bukan hanya gosip dan bual-bual warung kopi.

Bahkan, perkembangan belakangan lebih gawat dari sekadar urusan afiliasi warna (kuning, biru, atau abu-abu). Memberi salam, tegur sapa, hubungan kekerabatan, atau pertemuan PNS dengan lawan politik Walikota Djelantik Mokodompit pun, bisa berakibat fatal. Dicopot dari jabatan tanpa penjelasan. Pokoknya, selamat jalan!

Pelantikan eselon III dan IV di jajaran Pemkot KK, Jumat malam (1 Februari 2013) memunculkan fakta-fakta yang membuat saya mual. Salah satunya adalah kisah tentang Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) KK, Erwin Pasambuna, SH.

Erwin, kata kabar yang tiba di telepon saya selewat tengah malam, adalah pengganti pejabat sebelumnya, Herman Aray, yang baru menduduki kursi Kasatpol PP beberapa bulan terakhir. Sebagai pejabat baru dia bersigegas mengurusi tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi –setiap kali menulis kata ini saya teringat pada Raski Mokodompit, sarjana hukum yang lucunya tak mampu menjawab ‘’apa itu tupoksi’’ saat ujian akhir), sembari bersosialisasi dengan para atasan.

Saya menduga, entah tak paham tensi politik yang tengah bergejolak (karena pemahamannya terhadap profesionalisme birokrasi) atau sebab terlalu naif (kata bisik-bisik yang dikisahkan kembali ke saya), beberapa hari lalu dia menghadap Wawali, Tatong Bara. Kasatpol PP menghadap Wawali, apalagi karena dipanggil untuk urusan kedinasan, di pelosok dunia mana pun bukan masalah, apalagi aib.

Tidak di KK dengan Walikota paranoid yang dikelilingi mulut-mulut jahat. Entah apa yang tiba di kuping para elit birokrasi dan politik KK, Djelantik Mokodompit dan para menyokongnya, yang jelas tanpa angin dan hujan Erwin Pasambuna tiba-tiba dicopot.

Kalau dia dianggap tidak kapabel atau belum waktunya menduduki jabatan tersebut, analisis apa yang dipakai hingga Erwin ditunjuk sebagai pengganti Herman Aray? Alasan bahwa setelah dia menduduki jabatan dan dievaluasi ternyata belum memenuhi syarat, pertanyaannya: Apakah penilaian tersebut dilakukan dengan standar yang sama, fairness, dan berlaku tanpa pandang bulu?

Kalau hanya mendengar dari satu sisi, simpulan saya: Erwin Pasambuna disemena-menai semata karena sentiment politik yang tak jelas dasar dan pijakannya. Tapi baiklah, sisi lain pun mesti mendapatkan porsi. Dari beberapa panggilang telepon, saya mendapatkan info bahwa sejak menjabat Kasatpol PP, kinerja Erwin jeblok. Misalnya, dalam kasus bentrok massal Kelurahan Mongondow-Poyowa Kecil beberapa waktu lalu, dia tak tahu menahu, bahkan tak menunjukkan batang hidung di tempat kejadian. Pejabat macam ini, bila benar demikian, memang harus kita beri lambaian penuh takzim: bye….

Tapi, bagaimana dengan salah seorang Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskemas) yang dalam rolling semalam juga turut dicopot. Apa dosa yang bersangkutan hingga di-non job-kan (jabatan barunya kedengaran keren, ‘’tenaga fungsional’’), padahal dia bukan hanya dokter tetapi juga penyandang gelar S2 (MKes) yang kompetensi dan kapabilitinya masih sangat dibutuhkan di KK. Tolong Walikota dan Badan Pertimbang Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) memberi penjelasan yang menggunakan otak, bukan sekadar ngalor-ngidul dan omong kosong yang sejak Djelantik Makodompit berkuasa sudah jadi budaya baru di KK.

Musabab yang santer jadi pembicaraan, pencopotan sang Kepala Puskesmas itu semata-mata karena mertua dan suaminya ‘’konon’’ adalah pendukung dan supporter Tatong Bara di Pilwako nanti.

Penjelasan yang sama diperlukan untuk penunjukkan posisi pejabat yang sifatnya sangat teknis dan khusus, ke tangan orang yang latar pendidikannya bertolak belakang. Contohnya, mengangkat seorang sarjana ekonomi (SE) menjadi Kepala Seksi Leger Jalan di Bidang Bina Marga, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Daerah, tak dielakkan menimbulkan tafsir adanya niat busuk terstruktur. Demi mencuri anggaran besar yang tahun ini dialokasi untuk Seksi Leger Jalan atau supaya jalan-jalan di KK tetap amburadul dan setiap tahun tetap membutuhkan anggaran besar (yang ujungnya juga dikorupsi).

Memahami teknis jalan raya, untuk pejabat yang membawahi urusan ini, bukanlah perkara main-main. Sarjana teknik sipil yang ada di jajaran birokrasi KK bisa memberi penjelasan bagaimana sulitnya mata kuliah dan praktikum jalan, yang bahkan urusan jenis kerikil dan pasir pun bisa mengantar seseorang meraih gelar sarjana, master, atau doktor.

Akankah ada jawaban terhadap segala syak di atas? Adakah pula segerombolan aktivis yang bakal menggelar demo mempertanyakan keajaiban-keajaiban yang berlangsung di depan mata (sebagaimana demo diwarnai pembakaran ban, keranda, dan foto Gubernur Sulut beberapa waktu lalu) dan terkait langsung dengan hajat-hidup mereka serta warga KK umumnya?

Tak perlu berpikir menjawab dua pertanyaan terakhir, sebab sudah pasti: Tak ada. Siapa pula yang peduli. Paling-paling hanya ada tuduhan klasik yang kian kerap saya dengar, bahwa saya memang suka mencari gara-gara. Lagipula, bukan rahasia lagi, kebanyakan aktivis di KK biasanya beraksi sesuai pesanan dan untuk isu yang ‘’normatif dan aman-aman saja’’.

***

Di luar isu siapa, mengapa, dan bagaimana proses rolling di Pemkot KK, saya punya pertanyaan lain berkenaan dengan fenomena melantik pejabat di malam hari yang belakangan jadi tren di Mongondow. Melantik pejabat di atas pukul 20.30 Wita, lewat undangan yang disebarkan sore harinya, terkesan seperti upacara para bandit, pencoleng, maling, dan rampok yang biasanya dilakukan diam-diam dalam gelap malam. Atau, bahkan tak beda dengan acara para bambao’ , puntiana, dan mangkubi yang memang hanya afdol dilaksanakan di malam hari.

Setan mana yang terang-terangan lalu-lalang di siang hari, kecuali pocong jadi-jadian yang pasti bakal digebuki orang sekampung.

Ya, Walikota dan jajaran boleh sesuka hati menetapkan kapan dia melantik atau mencopot pejabat di bawah kewenangannya. Itu hak prerogatif yang bersangkutan. Tapi, tidak adakah waktu yang lebih tepat di siang hari? Sedemikian genting dan kasipnyakah kepentingan sesegera mungkin mengganti dan mendudukkan orang di Pemkot KK hingga tak bisa lagi menunggu besok tiba? Begitu sibuknya-kah Walikota hingga harus dilaksanakan malam hari, di akhir pekan pula?

Saya bercuriga betul, bahwa sebagaimana slogan Djelantik Mokodompit terkini meraih simpati warga untuk masa jabatan keduanya, ‘’Karya Nyata, Bukan Pencitraan’’, melantik para pejabat di malam hari adalah isyarat (nyata) bahwa Pemkot KK memang sudah diperlakukan sebagai organisasi para bandit, pencoleng, maling, rampok, bambao’ , puntiana, atau mangkubi.***