Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, February 15, 2013

Memalukan! Elit Politik KK Cuma Sekelas Kuaci


DI BANDARA Soekarno-Hatta, Kamis menjelang malam (14 Februari 2013), pertanyaan-pertanyaan itu tiba di telepon selular saya dalam bentuk pesan pendek (SMS) dan BlackBerry Messenger (BBM): ‘’Anda sudah tahu Djelantik Mokodompit (DjM) dan Tatong Bara (TB) ikut fit and proper test  (FPT) dan psikotes di Kantor DPP PDI perjuangan?’’

Itu kabar yang dikemas dengan pertanyaan sopan. Yang lebih nakal, ada yang mengirimkan foto TB sedang berkonsentrasi menghadapi kertas (materi FPT atau psikotes?) dengan latar DjM yang tampak tak kurang khusyuknya.

Saya tidak membalas satu pun SMS dan BBM itu. Satu hari sebelumnya (Rabu, 13 Februari 2013), saya sudah mendapatkan informasi bahwa pasangan Walikota dan Wakil Walikota (Wawali) KK yang dipastikan bakal jadi kompetitor di Pilwako 2013 ini, mengikuti FPT dan psikotes yang dilaksanakan DPP PDI Perjuangan. Sekali pun mencoba menahan diri, kabar ini sempat membuat saya meletupkan serapah berisi jenis seluruh penghuni kebun binatang dan tempat pembuangan sampah untuk kebodohan DjM dan TB.

***

Di KK, PDI Perjuangan bukanlah partai papan atas. Dengan jumlah tiga kursi di DPR, dia dikategorikan sebagai partai menengah dengan potensi menjadi salah satu ‘’pemain utama’’ di Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 mendatang.

Dibanding Partai Golkar (PG) yang Dewan Pengurus Daerah (DPD) KK-nya di Ketuai Djelantik Mokodompit atau Partai Amanat Nasional (PAN) yang Diketuai Begie Gobel (dengan Tatong Bara sebagai Ketua Dewan Pengurus Wilayah –DPW—Sulut), di Pilwako KK PDI Perjuangan harus berkoalisi dengan partai lain untuk bisa mengusung calon Walikota-Wawali 2013-2018. Sementara PG dan PAN yang masing-masing memiliki satu fraksi utuh, boleh melenggang dengan calonnya sendiri. Kalau pun harus berkoalisi, pilihannya lebih sebagai taktik ketimbang strategi jangka panjang.

Di tingkat Provinsi Sulut, sebaliknya PDI Perjuangan dan PG masuk kategori pemain utama. Mereka punya fraksi utuh di DPR Sulut dan masing-masing meloloskan dua kadernya ke DPR RI (Edwin Kawilarang dan Didi Moha dari PG, serta Olly Dondokambey dan Vanda Sarundajang dari PDI Perjuangan). Di bawahnya, kategori menengah, ada PAN dan Partai Demokrat (PD) masing-masing dengan satu kader di DPR RI.

Bila dipetakan lebih jauh, di kompetisi pemilihan kepala daerah (provinsi, kabupaten, dan Kota), PG dan PDI Perjuangan bersaing ketat (sekaligus) saling berganti berkoalisi dengan PAN dan PD. Hasilnya adalah politik yang cair dan mudah bergeser.  Boleh dikata tak ada satu partai politik (Parpol) pun yang menjadi driving factor politik di provinsi ini. Benar bahwa Gubernur SH Sarundajang dan Walikota Manado adalah kader (bahkan elit) PD; tetapi di tingkat kabupaten dan Kota lainnya, baik Bupati maupun Walikota, justru diduduki kader PG, PDI Perjuangan, dan PAN.

***

Tidak adanya partai yang menjadi ‘’penguasa politik’’ di Sulut membuat saya ternganga-nganga dan menyerapahi keikut-sertaan DjM dan TB di FTP dan psikotes yang dilaksanakan DPP PDI Perjuangan. Dari seluruh aspek logika dan praktek politik, langkah DjM yang sudah dipastikan menjadi bakal calon Walikota KK dari PG dan TB yang menjadi satu-satunya calon Walikota dari PAN, adalah kebodohan ‘’tingkat dewa’’.

Sebagai politikus, mereka berdua sama sekali tidak paham apa itu strategi dan taktik politik. Pun tidak punya respek terhadap partai dan konstituen mereka.

Sebaliknya, untuk seluruh jajaran PDI Perjuangan, saya mengucapkan selamat karena berhasil menunjukkan bahwa fraksi di DPR KK boleh minus, tapi dari sisi strategi dan taktik politik, mereka sukses mengadali elit partai lain. Dua jempol untuk itu, terlebih yang masuk perangkap adalah Ketua DPD KK PG yang juga masih menjabat Walikota dan Ketua DPW PAN Sulut yang juga Wawali KK.

Di jagad mana pun, kekuatan sebuah partai diukur dari capaian posisi politik dari kader-kadernya. Di KK, PG dan PAN adalah partai kuat (sekali lagi) dengan masing-masing satu fraksi utuh. Walau, kuantitas mungkin berbanding terbalik dengan kualitas. Kader boleh banyak, tetapi tak beda dengan kantong nasi yang bisa bicara dan jalan-jalan, karena isi kepala mereka kosong melompong.

Berdasar logika dan praktek umum politik, di KK posisi PG dan PAN jauh lebih dominan dibanding PDI Perjuangan. Kalau dua partai ini berkoalisi dengan PDI Perjuangan, maka call politik normal adalah calon Walikota berasal dari PG atau PAN dan Wawali dari PDI Perjuangan. Sebagai main factor, baik PG maupun PAN berhak menentukan jenis kader seperti apa yang dapat diterima dan disandingkan dengan calon mereka. Bentuknya, yang paling umum adalah lewat FPT, psikotes, dan jajak pendapat (berkaitan dengan keterkenalan dan keterpilihan sang calon).

Namun politik KK adalah politik abdormal. DjM dan TB justru harus tunduk terhadap PDI Perjuangan dengan ikut FPT, psikotes, dan survei yang akan dilaksanakan setelah dua yang pertama selesai dijalani. Mereka berdua diperlakukan sama dengan para bakal calon yang berbondong mendaftarkan diri ke PDI Perjuangan dan bersedia –tanpa reserve—mengikuti aturan internal partai ini. Artinya, implisit dan eksplisit PDI Perjuangan memaklumatkan pada orang banyak: Di KK partai ini lebih penting dibanding PG dan PAN, karena calon Walikota mereka pun harus melewati syarat yang kami tetapkan.

Pengurus dan kader PG serta PAN KK semestinya malu terhadap kedunguan strategi dan taktik politik partai serta kebodohan dua elit politik mereka. Terus-terang, dengan berat hati saya harus mengatakan DjM maupun TB cuma politikus kelas kuaci. Dengan diletakkannya harga dan nilai partai terlalu murah, yang paling logis bagi pengurus dan kader PG serta PAN KK adalah beramai-ramai pindah ke PDI Perjuangan.

***

Saya tidak punya urusan, apalagi ingin mencari gara-gara pada DjM, TB, PG, PAN atau PDI Perjuangan. Sebagai warga KK, saya hanya malu terhadap kualitas elit politik yang kini duduk di jabatan publik tertinggi di KK seperti yang ditunjukkan DjM dan TB.

Tidak heran pembangunan di KK morat-marit, tak jauh beda dengan hubungan antara Walikota dan Wawali. Dan karena itu, warga KK tidak usah berharap banyak terhadap Walikota-Wawali yang akan terpilih di Pilwako 2013 ini, terlebih kalau calon kuat Walikotanya adalah DjM dan TB. Siapa pun yang akan terpilih, selama lima tahun ke depan hanya akan memimpin dengan kemiskinan visi, pengetahuan, dan etika. Mereka terbukti tak tahu harga dan nilai harga diri.

DjM dan TB bahkan tak pantas dibandingkan dengan Ahmad Ishak atawa Matt Jabrik –wartawan yang tukang main gitar--, yang dengan gagah berani mengumumkan mencalonkan diri sebagai Walikota KK 2013-2018. Menurut hemat saya, Matt Jabrik punya keunggulan yang mutlak dimiliki seorang politikus dan calon pejabat publik, melebihi dukungan partai dan sokongan dana: kehormatan dan harga diri.***