Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, February 3, 2013

Nasihat untuk Pohon Pisang


ADA dua tulisan berkaitan dengan rencana pembentukan Provinsi Bolaang Mongondow Raya (BMR) yang saya unggah, masing-masing Mongondow, Provinsi, dan Mentalitas Aktivis (Selasa, 29 Januari 2013) serta ‘’Palo-Palo Cendol’’ Provinsi BMR (Kamis, 31 Januari 2013). Substansi dari dua tulisan ini sama: Provinsi BMR harus dibentuk lewat tata cara, mekanisme, dan adab yang benar dan pada tempatnya.

Selang sehari setelah tulisan kedua, Jumat (1 Februari 2013) saya membaca pernyataan Sekretaris Provinsi (Sekprov) Sulut yang juga orang Mongondow, Rachmat Mokodongan, di Beritamanado.Com (http://beritamanado.com/politik-pemerintahan/pendemo-kurang-mengerti-proses-pemekaran/159107/). Bertajuk Pendemo ‘Kurang Mengerti’ Proses Pemekaran, apa yang disampaikan Sekprov tak beda dengan apa yang menjadi konsern saya.

Sekprov yang ke-Mongondow-annya tak perlu kita pertanyakan lagi, bahkan secara ekplisit ‘’menyindir’’ para pendemo –yang aksi mereka juga saya kritik—sekadar asal seruduk. Penjelasan bahwa Gubernur SH Sarundajang, sebagai mantan Walikota Bitung (Kota Administratif pertama yang dimekarkan di Sulut, bahkan Indonesia, menjadi Kota) paham betul urusan pemekaran wilayah, halus tapi sangat menampar.

Jelasnya, ‘Kurang Mengerti’’ dalam konteks berita itu dapat diterjemahkan sebagai ‘’bodoh’’, ‘’tidak tahu tapi sok tahu’’, ‘’sekadar sok jago’’, petantang-petenteng’’, dan bahkan ‘’menuding dengan telunjuk di lobang hidung sendiri’’.

Maka, untuk yang kesekian kali, saya mengulang: Problema pembentukan Provinsi BMR belum sampai ke tangan Gubernur dan DPR Sulut. Selebihnya, baca tautan Beritamanado.Com yang saya cantumkan di atas.

***

Dua tulisan saya memang mengundang reaksi, yang sayangnya dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari cerdas dan bermartabat. Berkali-kali saya menerima pesan pendek (SMS) tak bermutu (berisi provokasi dan cacian) yang mengatas-namakan Komite Rakyat untuk Perjuangan Pemekaran Provinsi BMR (KRUPPBMR). Pertama, kedua, dan ketiga, saya masih bertoleransi. Tapi tidak bila cara-cara tak berpendidikan ini berlanjut jadi kebiasaan.

Organisasi apa sebenarnya KRUPPBMR ini? Siapa yang mendirikan, yang mengurus, dan menjadi anggotanya? Kalau sekadar organisasi tanpa bentuk (OTB), ya, wajar bila apa yang dilakukan juga tanpa bentuk, tanpa pakai otak, dan malah menjadi duri yang mengganggu kepentingan orang banyak. Berdemo, membakar ban, keranda, dan foto Gubernur Sulut dengan alasan yang sampai hari ini tak punya jawaban logis, patut jadi alasan bagi warga di seluruh BMR menuduh kelompok ini justru adalah antek-antek yang berniat jahat menyabotase pembentukan Provinsi BMR.

Saya tidak punya urusan dengan KRUPPBMR. Urusan saya, sebagai bagian dari warga Mongondow, adalah hal-hal normatif yang menjadi praktek dan adab di Mongondow. Tidak pula saya terganggu bila atas nama KRUPPBMR ada entah siapa yang mengirimkan tulisan yang berisi cacian terhadap saya di forum sosial Pinotaba (saya bukan pengguna facebook  dan karenanya tidak menjadi anggota). Hanya dengan dibacakan beberapa alinea, saya tahu persis siapa yang menulis tulisan itu. Coro yang sama, yang selama ini berulang-kali memantik perseturuan pribadi dengan saya, yang kelasnya memang hanya sampai di situ.

Logika bengkok, nama yang dipetik dari langit, dan caci maki yang ditulis, semestinya dipertanggungjawabkan oleh KRUPPBMR. Sebab kalau ada yang menulis akan menendang pantat saya, mari laksanakan. Ini pantat ada di tempatnya dan tetap dibawa ke mana-mana saya pergi. Sebaliknya, KRUPPBMR, mana pantat pengirim SMS dan penulis caci-maki atas nama organisasi ini terhadap saya, supaya jelas pemilik dan jenis pantat yang harus saya tendang.

Sejatinya sejak mendengar nama KRUPPBMR saya spontan menyatakan mendukung gerakan mereka. Tapi dengan perilaku yang ditunjukkan sejumlah cecunguk yang turut berhimpun di organisasi ini, saya mati selera. Mengurus disiplin dan isi kepala anggotanya saja tidak becus, bagaimana pula mengharapkan kontribusi nyata terhadap pembentukan Provinsi BMR.

Berkontribusi terhadap Mongondow, khususnya pembentukan BMR, bukanlah jenis aksi koboi-koboian karena ada toa dan sejumlah kepala siap berdiri di bawah terik matahari, mendengarkan ocehan orator yang ngalor-ngidul tak karuan. Bila pun ada pertanyaan, ‘’Lalu apa kontribusi Anda?’’ Kalau saya menyatakan tidak ada dan tidak perlu, memangnya ada ancaman hukuman di tengkuk saya? Memangnya apa hak OTB menagih kontribusi orang per orang terhadap pembentukan provinsi?

Justru orang banyaklah yang berhak keberatan bila atas nama pembentukan provinsi lalu hajat-hidup mereka diganggu. Para demonstran yang pekan lalu beraksi cukup beruntung karena para pengguna plat merah yang dihadang punya toleransi tinggi. Semestinya, aksi tanpa otak dan anarkis seperti itu layak dibalas dengan cara yang sama.

Lagipula, apa yang saya publikasikan di blog ini ditujukan untuk konsumsi orang-orang yang berpikir. Mereka-mereka yang daya cerna otaknya tak cukup memadai, sudah disarankan jangan sekali-kali membaca isinya. Cuma membuat pusing dan akhirnya menimbulkan masalah baru: Ya, tereng-lah, kalap-lah, yang ujungnya kian menunjukkan buruknya kualitas pendidikan dan langit pengetahuan yang bersangkutan.

***

Hari-hari setelah demo di bundaran Paris Superstore, pemberitaan-pemberitaan yang berkaitan dengan aksi ini umumnya (cukup santun) berisi kritik dan penyesalan. Yang dikutip pun bukan sekadar sumber abal-abal, tetapi mereka-mereka yang diakui sebagai tokoh oleh warga Mongondow, bahkan Sulut.

Tidak cukupkah fakta-fakta itu menjadi pelajaran bagi sejumlah orang, yang demikian tumpulnya sehingga berlaku seolah-olah pohon pisang. Kalau tidak ditebang, dibakar dan digali hingga ke akar-akarnya, dengan cepat tumbuh dan merimbun lagi.

Aktivis –pekerjaan jenis apa sebenarnya ‘’makluk aktivis’’ ini?—yang kapasitasnya hanya setara pohon pisang, cuma berakhir di penggorengan atau tergantung-gantung hingga busuk. Nah, para pohon pisang yang sudah bekerja keras mengirimkan SMS dan menulis caci maki untuk saya, balajarlah dulu dengan tekun. Setahu saya, mempertontonkan kebodohan belumlah pernah jadi trend favorit di belahan jagad mana pun.***