Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, February 5, 2013

Menafsir Sejarah dengan Tong Sampah (1)


MENGGEMARI sejarah berbeda dengan memahami, apalagi khatam dan layak dirujuk. Sekadar gemar sejarah, sok tahu, lalu sembarangan menjatuhkan vonis ‘’salah’’ atau ‘’keliru’’, cuma mencari perkara tak perlu.

Di Mongondow, kendati tradisi dan budayanya kian longar, mencari gara-gara tetap punya konsekwensi. Kalau bukan ditempeleng karena dianggap melakukan penghinaan, paling minim jadi obyek olok-olok

Saya harus mengingatkan Sumardi Arahbani bahwa di Mongondow kerendahan hati menjadi salah satu ekspresi membijaksanai masalah. Dengan rendah hati saya sudah meminta pencerahan berkaitan dengan sepotong amat kecil sejarah orang Mongondow, semata karena dia secara terbuka melontarkan tuduhan saya memanipulasi sejarah leluhur saya.

Saya tidak mendapatkan satu pun pencerahan dari forward tanggapan Sumardi Arahbani yang (telah dengan baik hati) dikirimkan oleh seseorang yang punya konsern sama ke email saya, Senin (4 Februari 2013). Saya menukilkan beberapa poin utamanya:

Pertama, terlalu berlebihan kalau disebut karya Dunnebier hanya dikoleksi oleh kurang dari empat perpustakaan terkemuka di dunia. Di Yogjakarta saja setidaknya ada tiga perpustakaan yang menyimpan karya-karya Dunnebier. Belum termasuk koleksi pribadi I. Kuntara Wiryamartana, SJ, seorang filolog, pakar sastra Jawa Kuno. Saya berjumpa pertama kali dengan literatur tentang Bolaang Mongondow justru dari koleksi pribadi Romo Kuntara. Di Jakarta, baik perpustakaan ataupun koleksi pribadi tentunya ada yang menyimpan karya-karya Dunnebier, termasuk di Perpustakaan Nasional. Belum lagi perpustakaan-perpustakaan di Eropa, Australia, ataupun Amerika.

Kedua, sepertinya Pak Katamsi tidak teliti untuk membentangkan siklus sejarah. Zaman Verenigde Oostindische Compaqnie (VOC) dan Hindia Belanda, itu sesuatu yang berbeda.

Ketiga, sesuatu yang mestinya direnungkan dan dinalar dengan logika sejarah sederhana; ‘’Apakah pernah ada dalam sejarah dunia seseorang yang ditawan oleh musuh  ditahan di daerah atau negara yang bukan kekuasaannya?"

Berdasarkan pengakuan Katamsi; leluhurnya hidup sezaman dengan Raja Abraham Sugeha (memerintah 1880-1893). Ingat, di zaman itu Aceh merupakan negara/kerajaan berdaulat dan Perang Aceh (1873-1904]) berkecamuk hebat. Sesuatu yang muskhil apabila leluhur Katamsi dibuang atau dipenjara di Aceh. Alih-alih dibuang ke Aceh, dengan kemungkinan sejarah yang lain: bisa jadi adalah satu dari ribuan kawula yang dijadikan Marsose oleh Belanda, sebagaimana praktik kolonial di Nusantara zaman itu.

Keempat, tentang kuli kontrak, dalam ingatan orang-orang Bolaang Mongondow bisa jadi identik dengan Jawa. Silahkan baca buku, Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi: Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran (1984).

Kelima, memasuki abad ke-19, kawula-kawula dari Sulawesi Utara, khususnya Minahasa, mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan militer Hindia Belanda. Kaum kolonial Belanda mulai tertarik kepada serdadu-serdadu Minahasa karena melihat kecakapan saat Perang Tondano (1804-1807). Sejak Perang Tondano itulah Belanda mulai merekrut orang-orang Minahasa untuk dijadikan tentara/serdadu. Serdadu-serdadu Minahasa inilah yang dipakai Belanda dalam Perang Jawa/Diponegoro (1825-1830) dan Perang Padri. Konon serdadu Minahasa inilah, dibawah pimpinan Dotulong yang mampu mengimbangi perlawanan rakyat Jawa. Pada masa ini, tentunya kawula kerajaan Bolaang Mongondow belum terlibat dalam kegiatan militer Hindia Belanda.

Keenam, memasuki paruh kedua abad ke-19, kekuatan militer Hindia Belanda [KNIL] tidak lagi hanya bersandar pada orang-orang Ambon dan Minahasa. Mulailah direkrut kawula-kawula kerajaan di hampir seluruh kerajaan di Nusantara untuk dijadikan tentara Hindia-Belanda. Memang belum pernah secara jelas disebutkan adanya kawula-kawula swapradja Bolaang Mongondow dalam formasi KNIL. Untuk Sulawesi Utara, yang disebut adalah kawula-kawula dari Gorontalo, Sangihe dan Minahasa. Namun meskipun kawula Bolaang Mongondow tidak disebut, pastinya layak diduga ada beberapa yang terlibat dalam tentara Marsose/KNIL. Seandainya pengakuan Pak Katamsi benar bahwa leluhurnya yang hidup sejaman Raja Abraham Sugeha pernah dikirim ke Aceh; dengan logika sejarah dapat disimpulan ia bergabung dalam tentara Marsose/KNIL.

Ketujuh, mungkin buku "Gedenkschrift Koninklijk Nederlands-Indi­sch Leger 1830-1950", karya P Van Meel bisa dijadikan tambahan koleksi Pak Katamsi. Dalam buku itu saya bisa memastikan tidak ada nama leluhur Pak Katamsi yang diduga dikirim ke Aceh; karena nama-nama yang disebut dalam buku itu adalah mereka para Marsose yang memiliki kedudukan tinggi dalam tentara KNIL, sebagian di antaranya adalah serdadu asal Minahasa. Namun sekali lagi, berdasarkan kesaksian yang dituturkan secara turun temurun sebagaimana Katamsi tuturkan, dan dikaitkan dengan pola sejarah umun Hindia Belanda, semestinya logika sejarah di atas patut dipertimbangkan: Bukan dibuang karena melawan Belanda; namun masuk dalam formasi tentara KNIL. Sebuah karier yang menggiurkan bagi sebagain kawula pribuma waktu itu.

***

Tanpa berpanjang-panjang, saya akan mengomentari satu per satu apa yang disampaikan Sumardi Arahbani, untuk menunjukkan bahwa pengetahuan sejarahnya belumlah setinggi kepercayaan dirinya.

Pertama, saya tidak menuliskan ‘’karya-karya Dunnebier’’ hanya buku. Saya berkeyakinan apa yang dikoleksi oleh I Kuntara Wiryamartana, SJ adalah Injil berbahasa Mongondow karya W Dunnebier. Saya tidak heran bila seorang Pastor Katolik memiliki buku (terlebih Injil berbahasa daerah) yang ditulis oleh Pendeta Protestan.

Sedangkan koleksi Perpustakaan Nasional (bahkan Arsip Nasional), bertahun-tahun lampau sudah saya sambangi (bersama Reiner Ointoe dan Firasat Mokodompit). Hasilnya, jauh dari apa yang seolah-olah diketahui Sumardi Arahbani. Bahkan Perpustakaan Utrech University dan Leiden University yang konon sangat lengkap mengoleksi aneka buku dan catatan berkaitan dengan Indonesia masa lalu, juga tidak menyimpang karya-karya lengkap Dunnebier.

Kalau Anda mau berbantah, saya perlu mengingatkan, telah delapan tahun terakhir saya intensif memburu literatur Mongondow, termasuk ke Belanda, karena penasaran terhadap miskinnya catatan-catatan sejarah tentang daerah ini.

Ringkasnya, tidak ada satu pun perpustakaan yang lengkap memiliki meyimpan karya W Dunnebier (kalau Sumardi Arahbani mampu menunjukkan siapa atau perpustakaan mana yang punya koleksi lengkap itu, saya dengan suka cita akan menyambangi). Terlebih, catatan-catatan yang dia buat (jurnal dan sejenisnya), yang tidak pernah dipublikasi terbuka. Jadi, kalau sekadar baca satu-dua buku sejarah (bahkan cuma melihat koleksi orang lain dan menduga-duga koleksi di tempat lain) lalu jadi jumawa, utamnya dalam konteks sejarah Mongondow, terus terang saya tak bisa memaafkan Anda, Sumardi Arahbani

Kedua, Anda menyebutkan dalam posting terdahulu (Dari Perang Aceh hingga Katamsi Ginano: Catatan Atas Polemik Provinsi Totabuan), bahwa: ‘’Kalau memang benar bahwa Kakek Pak Katamsi pernah "ditempatkan" di Aceh; fakta sejarah yang sebenarnya adalah ia disewa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menumpas perlawanan Rakyat Aceh. Jadi, bukan dibuang karena melawan Belanda.’’***