Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, February 17, 2013

Banteng dengan Dua atau Tanpa Tanduk?


POLITIK selalu menjadi topik ‘’seksi’’ di Mongondow. Tulisan Memalukan! Elit Politik KK Cuma Sekelas Kuaci yang diunggah di blog ini, Jumat (15 Februari 2013), mengundang banyak tanggapan. Beberapa aktivis dan elit partai yang tak percaya, bahkan meminta saya mem-forward foto Djelantik Mokodompit (DjM) dan Tatong Bara (TB) saat mengikuti fit and proper test (FPT) dan psikotes DPP PDI Perjuangan.

Komentar yang disampaikan para penanggap umumnya negatif dan sinis. Mereka hampir tidak percaya bahwa sebagai ketua partai, DjM (Partai Golkar Kota Kotamobagu –PG KK) dan TB (Dewan Pengurus Wilayah Partai Amanat Nasional Sulawesi Utara –DPW PAN Sulut) melakukan blunder politik parah. Memimpin partai politik (Parpol) sekaligus menduduki jabatan publik setingkat Walikota dan Wakil Walikota (Wawali) minimal menguasai perpolitikan di atas pengetahuan dasar.

Macam-macam analisis –profesional dan amatir— pun berdatangan. Ada yang menilai DjM dan TB bertindak konyol karena keduanya telah menjadikan kompetisi pemilihan walikota (Pilwako) KK 2013 tidak lagi sekadar adu strategi dan taktik politik, tetapi pertarungan ego pribadi. Pula, penilaian bahwa keduanya dikelilingi orang-orang dekat dan penasehat yang tak kompeten. Bukan ahli strategi, taktik, dan komunikasi polilitik, tapi sekadar jongos yang mengaminkan apa pun keinginan kedua elit politik KK ini.

Opini, komentar, analisis, cuma gerundelan, atau serapah berkaitan dengan ikut sertanya DjM dan TB di FTP dan psikotes DPP PDI Perjuangan, menurut hemat saya menjadi indikator kesadaran politik warga KK khususnya. Kesadaran ini mungkin baru mencamuk sebagian kecil orang. Tapi di KK dengan wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk padat, hanya butuh sehari-dua dan isu pahit DjM-TB ini segera jadi perbincangan khalayak.

Kesalahan tak termaafkan apabila DjM dan TB menganggap warga KK mudah melupakan tindakan bodoh mereka. Andai pekan ini Pilwako dilangsungkan, dengan hanya dua calon, DjM dan TB, lalu kita tambahkan kotak kosong, saya berani bertaruh kotak kosonglah yang akan menang.

Dengan segala maaf pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK, yang aktif mendorong warga menggunakan hak pilih di Pilwako 2013, bersiap-siap sajalah menghitung angka golongan putih (Golput). Tanpa pesaing yang cukup berkualitas, DjM dan TB sebagai calon sudah ‘’jatuh harga’’ di mata konstituen yang –tanpa mengesampingkan kesadaran pemilih di daerah lain di Mongondow— lebih terpapar informasi dan penyadaran politik.

Saya sendiri tidak akan menganjurkan konstituen Pilwako KK 2013 ber-Golput. Tetapi kalau pilihannya hanya DjM, TB, dan satu calon lain yang kualitasnya setara ikan buntal, lebih baik di hari pemilihan kita mengudap pisang goroho atau mengecek saluran air di sawah. Hak pilih orang per orang terlalu mahal untuk diberikan pada politikus yang kualitasnya di bawah standar, bahkan sekadar pas-pasan.

***

Ada problem fundamental dan krusial yang belum saya tuliskan berkaitan dengan ikut sertanya DjM dan TB di FTP dan psikotes DPP PDI Perjuangan. Pilwako 2013 membuat mereka ekstasi dan abai mengkalkulasi konsekwensi-konsekwensi lanjutan dari apa yang dilakukan.

Apa yang terjadi kalau PDI Perjuangan memilih berkoalisi dengan PG? Bagi TB, koalisi PG-PDI Perjuangan adalah putusan bahwa dia tidak lulus sebagai politikus yang pantas menduduki jabatan publik setingkat Walikota KK sesuai standar PDI Perjuangan. Interpretasi lanjutan dari fakta ini adalah, apakah DPP PAN dan seluruh kader PAN di Sulut rela dipimpin oleh Ketua DPW yang secara kualitatif tak punya kualitas memadai?

TB harus dicopot dari posisinya sebagai Ketua DPW PAN Sulut. Tindakan ini logis, baik normatif maupun politis, demi menyelamatkan nama baik, semangat, loyalitas, dan penghormatan para kader terhadap partai.

Sebaliknya, bila PDI Perjuangan memutuskan berkoalisi dengan PAN, situasi yang sama harus dipikul oleh DjM. Pilihan PDI Perjuangan tak beda dengan vonis terhadap DjM dan PG, bahwa sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) KK, DjM jauh dari kualitas politikus yang disyaratkan. Bahwa PG gagal melahirkan kader berkualitas yang layak diusung sebagai calon Walikota di KK.

DPD I PG Sulut dan DPP, saya yakin, tidak akan menerima nama besar dan prestasi partai yang sudah dicapai sejauh ini –survei dari berbagai lembaga terakhir ini mendudukkan PG sebagai Parpol di urutas teratas pilihan konstituen— dirusak hanya oleh seorang DjM. Kebijakan paling rasional dari PG adalah mencopot DjM dari kursi Ketua DPD II PG KK, bahkan memecat sebagai kader terlebih kalau keikut-sertaannya di FPT dan psikotes DPP PDI Perjuangan tanpa sepengetahuan dan izin DPP PG.

***

Bagaimana dengan PDI Perjuangan? Di tengah menggelegaknya isu kekonyolan ikut sertanya DjM dan TB di FTP dan psikotes DPP PDI Perjuangan, saya menyarankan partai ini mengambil jalan tengah yang menunjukkan ketinggian fatsun, etika, strategi, dan taktik politik. PDI Perjuangan sebaiknya menggugurkan seluruh proses FTP dan psikotes yang sudah dilaksanakan, tidak berkoalisi dengan PG atau PAN, dan menjajaki koalisi dengan partai lain demi mencukupi syarat dapat mengusung bakal calon Walikota-Wawali di Pilwako KK 2013.

PDI Perjuangan harus membuktikan bahwa mereka memang partai yang menjadi driving factor politik di KK. Politik adalah kepiawaian memanfaatkan momen. Dan kedunguan yang dipraktekkan DjM dan TB adalah momen yang kalau dikelola akan menempatkan PDI Perjuangan sebagai Parpol arus utama di Mongondow. Kemampuan para pengurus, pemikir dan kader PDI Perjuangan di Sulut memanfaatkan peluang ini, akan menentukan berapa banyak suara yang bakal diraup di pemilihan umum (Pemilu) 2014 mendatang.

Saya tidak ragu meramalkan, andai PDI Perjuangan berani berkoalisi dengan partai di luar PG dan PAN di KK untuk Pilwako 2013, di Pemilu 2014 partai ini pasti mampu meraih sedikitnya 60 persen suara pemilih di seluruh Mongondow. Konstituen di mana pun merindukan Parpol yang punya sikap dan konsisten menegakkannya. PDI Perjuangan yang sudah mencitrakan diri sebagai partai yang punya sikap, konsisten, cerdas dalam berpolitik, kini ditantang menunjukkan jati dirinya di Pilwako KK 2013.

Kalau pun akhirnya PDI Perjuangan takluk pada pilihan politik pragmatis lalu tetap memilih berkoalisi dengan PG atau PAN, saya kira para pengurus, pemikir, dan kader Parpol ini sama dungunya dengan elit politik KK yang langkah-langkah politiknya kini mengundang cibir. Khusus di KK, lambang partai mungkin perlu dimodifikasi: Banteng dengan moncong putih saja, tanpa dua tanduk di kepala.***