Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, February 10, 2013

Abad yang Hilang di Ikhtiar Sejarah Mongondow


DISKURSUS sejarah sejumlah orang Mongondow menjelang akhir abad 19 ternyata berlanjut. Minggu pagi (10 Februari 2013) saya diinformasikan bahwa lintas percakapan di grup facebook Pinotaba dan Dukung Provinsi Bolaang Mongondow Raya memunculkan konfirmasi-konfirmasi baru, khususnya sejarah tutur yang dikisahkan turun-temurun.

Saya tidak akan membahas lebih jauh ihwal sejarah Mongondow yang diwariskan lewat tutur. Dari info yang disampaikan, Ahmad Alheid sudah menjabarkan hal ini pada majelis di grup facebook, yang juga dikuatkan oleh beberapa penanggap lain. Yang akan saya tegaskan, berkenaan dengan konteks waktu akhir abad 19-awal abad 20, sejarah tutur (di Mongondow) itu dapat dikonfirmasi dengan sejarah tertulis, yang pencatatannya umumnya dilakukan pegawai Hindia Belanda atau pendeta dan pastor zaman itu.

Sebagai salah satu sumber, sejarah yang diwariskan lewat tutur mudah terjerumus pada aneka bias. Kepentingan si penutur, konteks peristiwa, bahkan ingatan manusia. Ketidak-hati-hatian menjadikan sejarah tutur sebagai sumber membuka peluang bercampurnya dongeng, mitos, gosip, ke dalam fakta-fakta sejarah.

Namun, sebagaimana yang berulang kali saya tulis, akhir abad 19 dan awal abad 20 masihlah segar di ingatan banyak orang di Mongondow. Apalagi hingga awal abad 21 masih banyak orang Mongondow dengan ingatan yang terjaga kewarasannya, hidup dan cukup sehat serta mampu diajak menjelajahi peristiwa masa lalu.

Ibu dari Ayah (atau Nenek) saya, Usia Monoarfa, yang meninggal di usia 106 tahun pada 2004 lalu, hingga akhir hayat tetap memiliki ingatan cemerlang. Otaknya tidak digerogoti lupa. Di usia yang melewati hitungan satu abad, Almarhumah Nenek hanya punya masalah dengan sendi-sendinya yang kian lemah. Itu yang membuat Almarhumah harus sholat dalam posisi duduk atau tidur.

Lahir tahun berapakah Almarhumah? Lebih satu abad yang lalu: 1898! Apakah dia cukup terdidik? Kalau pendidikan modern diterjemahkan sebagai ‘’hanya menguasai huruf latin’’, saya dengan kerendahan hati mengakui Almarhumah jauh dari persentuhan dengan pendidikan modern jenis itu. Sebab, beliau lebih fasih berkomunikasi tulis menggunakan aksara Arab gundul (lazim digeneralisasi sebagai pegon).

Penguasaan Arab gundul tentu tak didapat dari bawah pohon belimbing sambil melamunkan langit, bulan, dan bintang-bintang. Minimal Almarhumah Nenek dibimbing, entah itu pribadi atau kelompok, oleh satu atau lebih pengajar yang sebelumnya telah terpapar dengan dunia lebih luas. Arab gundul toh tidak jatuh begitu saja dari angkasa di Mongondow.

Bila ada yang memperdebatkan isu itu, sangat banyak orang Mogolaing yang dapat bersaksi bahwa yang saya tuliskan bukan dongeng, mitos, atau duga-duga interpretatif. Sama halnya dengan apa yang saya tuliskan tentang Kakek Buyut, yang kini dikonfirmasi oleh sejumlah orang, juga dialami oleh Kakek Buyut mereka.

Wilayah Mongondow adalah area terluas di Sulawesi Utara (Sulut), tapi dengan penduduk yang relatif saling terkait satu dengan yang lain. Mengarang-ngarang dongeng, mitologi, atau duga-duga, mudah dibantah dan ditertawakan oleh para orang tua. Masih banyak mereka, yang datang dari generasi ke 2 atau ke-3 periode akhir abad 19, yang kini masih hidup.

Sebaliknya, Almarhumah Nenek dari sisi Ibu justru berpendidikan modern. Fasih dalam beberapa bahasa, terutama Belanda. Pendidikan itu berbekas dari buku-buku dan literatur yang dimilikinya. W Dunnebier, pendeta Belanda yang lama bermukim di Mongondow (Passi) dan paling banyak dirujuk berkaitan dengan masa lalu daerah ini, pertama kali saya kenal dari buku-buku yang dimiliki Almarhumah Nenek dari sisi Ibu.

***

Maka terlalu menganggap remeh bila ada orang luar yang hanya melihat (bahkan meneliti) Mongondow di atas permukaan, lalu petantang-petenteng bersikap seolah-olah di akhir abad 19 dan awal abad 20 Mongondow hanya belukar dengan orang-orang biadab yang saling mengayau kepala satu dan lain. Yang dengan angkuhnya memperlakukan generasi Mongondow kini tak lebih dari sekumpulan otak udang dan pengarang picisan.

Daerah ini adalah sebuah Kerajaan (dengan ‘’K’’ besar) tua, yang jelas memiliki peradaban. Peradaban itu yang sedihnya hilang disaput aneka peristiwa. Rekonstruksi dan kontruksinya boleh dari berbagai sumber, termasuk penutur kredibel yang di-cross check dengan sumber tertulis yang membahas era yang sama, di tempat yang sama. Darimana pun sumber tertulis itu.

Tatkala ada tuduhan bahwa mengarang-ngarang sejarah keluarga, khususnya Kakek Buyut, saya sudah mencontohkan bagaimana sejarawan kredibel mampu merekontruksi orang atau peristiwa di masa lalu. Saya mengemukakan tiga nama yang diakui melakukan terobosan fenomenal (bahkan membuat sejarah harus ditulis ulang): Gavin Menzies, Simon Sebaq-Montefiore, dan John Man.

Gavin Menzies berhasil membuktikan bahwa Colombus bukanlah penemu Benua Amerika. Benua ini sudah lebih dahulu dijelajahi pelaut-pelaut Cina. Bahkan Columbus berhasil menemukan ‘’dunia baru’’ itu dengan panduan peta milik pelaut-pelaut Cina. Simon Sebaq-Montefiore berhasil merekonstruksi salah satu tokoh momok sejarah, Stalin, dengan kelengkapan sumber yang sukar ditandingi sejarahwan mana pun. Akan halnya John Man, dia tidak hanya meriset sejarah dari balik meja dan literatur, atau metodologi konservatif lain yang umum dipraktekkan; tetapi menyambangi situs dan apa pun yang terkait dengan obyek yang sedang ingin dia singkap, dengan keingin-tahuan melampaui obsesi.

Dengan pikiran terbuka saya menerima segala kemungkinan dari temuan sejarah berkaitan dengan Mongondow, khususnya apa yang terjadi di akhir abad 19 dan awal abad 20 dan siapa saja aktor-aktor utama serta pemeran pembantu yang terlibat di peristiwa-peristiwa pentingnya. Generasi kini memang mesti menyingkap banyak abad yang hilang di Mongondow, memilah mana yang dongeng, mitos, atau sekadar bumbu-bumbu percakapan sosial yang jauh dari fakta.

Sejalan dengan itu, saya berharap kontribusi dari mana pun disajikan berdasar data kredibel, jauh dari bolong-bolong dan celah yang pada akhirnya cuma menciptakan kemarahan karena argumen dan pembuktian yang lemah. Ingat: Generasi Mongondow kini juga sekolah; tidak cuma berkhayal di bawah pohon kelapa, main domino, atau membaui lem Eha Bond.***