Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, February 8, 2013

Awas! Ada Psikopat Pemekaran


SUASANA yang mulanya serius, Kamis malam (7 Februari 2013), tiba-tiba dipenuhi ledakan tawa. Salah seorang kawan di tengah majelis yang sedang bereriungan, setelah  membaca berita di layar komputer saya, bahkan terpiuh hingga terjerembab dari kursi.

Obyek tertawaan kami adalah berita yang baru saja diunggah Radar Totabuan, PBMR Hak Inisiatif DPR (http://www.radartotabuan.com/read/pbmr-hak-inisiatif-dpr-2983), yang mengutip Muliadi Mokodompit, MSi dan Chandra Modeong. Betul-betul menggelikan. Salah seorang kawan, analis politik yang pendapatnya wara-wari di berbagai media dan forum (kredibel), bahkan mengejek dengan bilang, ‘’Itu omongan tukang jual obat yang nggak mikir. Siapa sih orang yang ngomongnya pake dengkul itu?’’

Saya ikut tertawa-tawa, tapi sesungguhnya jengah. Bagaimana pun saya tetap orang Mongondow. Prinsipnya: Orang Mongondow mengkritik masyarakat dan tanah asalnya, adalah sebuah kewajiban. Dalam bahasa agama, itu fardu ain sekaligus fardu kifayah. Sesama orang Mongondow bertengkar demi mencapai pemahaman bersama, juga sah-sah saja. Tapi kebodohan dan sok jago yang keluar melampaui Mongondow, apalagi menyeret-nyeret ‘’atas nama’’ pihak lain (itupun cuma klaim), memang memalukan.

Bagi saya pribadi, berita di situs Radar Totabuan itu mesti disikapi hati-hati. Provinsi Bolaang Mongondow Raya (BMR) adalah isu sensitif di Mongondow saat ini. Siapa tahu Radar Totabuan salah kutip; atau ada yang memang keseleo dan berlebihan. Dengan niat baik, saya kemudian mengontak beberapa orang, terutama yang namanya dicantumkan dalam berita ‘’akan beraksi damai saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hadir di Sulut dalam rangka Hari Pers Nasional  (HPN) yang kini tengah berlangsung di Manado.’’

Kontak saya direspons, termasuk oleh Chandra Modeong, yang dengan tegas mengatakan dia tidak akan melontarkan pernyataan atau melakukan tindakan bodoh. Saya katakan pada Chandra, saya percaya bahwa sebagai mantan aktivis organisasi mahasiswa besar di Sulut, dan sekarang ketua salah satu partai, di setiap isu (terlebih sosial dan politik) dia paham mana urusan strategi dan yang mana sekadar taktik.

Dan saya mengapresiasi Chandra Medoeng, yang tidak selalu sependapat dengan saya (lagipula kami bukan bebek, jadi berbeda pendapat adalah rahmat yang disyukuri), tetap bisa bertukar pikiran dengan perspektif yang terbuka.

***

Tapi apa sebenarnya yang menggelikan dari isi berita itu? Pernyataan ala ‘’ketoprak’’ Muliadi Mokodompit, MSi-lah yang jadi musababnya. Dikutip sebagai Kordinator Tim 1 Pengkaji Provinsi BMR, dia menyatakan: Karena DPR Provinsi (Deprov) Sulut enggan merespons, maka Tim Kajian  akan membawa draf usulan pembentukan PBMR ke pusat, yakni menggunakan hak inisiatif DPR RI, dengan jaringan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (KAHMI). Dia juga menegaskan, “Intinya, target PBMR dan masyarakat BMR adalah Mei 2013 PBMR terwujud.’’

Muliadi Mokodompit bukan nama (juga sosok) asing buat saya. Jauh sebelum saya bersua dengan yang bersangkutan, siapa dia dan rekam-jejaknya sudah saya ketahui persis. Itu sebabnya, ketika tahu dia turut cawe-cawe dalam isu Provinsi BMR, pada beberapa kawan di Kotamobagu saya hanya meringis dan berkomentar, ‘’Tunggu jo apa yang mo jadi.’’

Ketika mengkritik aksi bakar ban, keranda, dan foto Gubernur Sulut, saya menyampaikan keyakinan bakal ada kampanye antipati dan caci-maki yang ditujukan ke saya, terutama di media sosial, yang lebih massif dari sebelumnya. Tidak masalah, sepanjang itu bukan pemelintiran dan manipulasi (sayangnya inilah yang terjadi). Saya tahu siapa saja dalangnya.

Saya hanya menyayangkan banyak orang sekolahan yang bebal di Mongondow. Di dunia maya segala sesuatu bisa ditelusuri, internet protocol (IP) address dan sebagainya, yang menuntun kita ke orang per orang. Mereka terlampau menganggap remeh saya, peralatan yang dipunyai, dan (terutama) teman-teman yang bisa membantu melacak bahkan setiap kutu di balik jagad kelindan internet.

Keprihatinan yang lain, karena sejumlah anak muda Mongondow yang sudah mengenyam pendidikan tinggi, ternyata mudah diprovokasi hingga terjerumus menista logika lurusnya.

Kembali pada pernyataan Muliadi Mokodompit (saya harap MSi-nya adalah master of science, bukan ‘’master segala ilmu’’), sama dengan menganggap semua orang Mongondow ‘’orang utang’’ yang terisolasi dari dunia luas. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, sudah dengan detil mengatur syarat-syarat dan tata cara pembentukan provinsi, kabupaten, atau kota baru.

Musim semi pembentukan daerah otonomi baru (DOB) sebelum 2007 atau beberapa saat setelah PP No 78 itu keluar, memang agak lebih longgar. Tidak saat ini, terlebih dengan adanya moratorium. Yang sudah lama diproses dan lengkap secara teknis dan administratif seperti Provinsi Pulau Sumbawa, hingga kini masih belum diputuskan oleh DPR RI. Mau contoh yang lebih gamblag, pemekaran Papua yang bahkan dijamin oleh undang-undang (UU) khusus, baru terwujud dua: Papua dan Papua Barat.

Benar bahwa pada Oktober 2012 DPR RI sudah menyetujui satu provinsi baru (Kalimantan Utara –Kaltara) yang proses pengajuannya sudah bertahun-tahun lampau; serta beberapa kabupaten --Pangandaran (Jawa Barat), Pesisir Barat (Lampung), serta Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak (Papua Barat)— yang semuanya dinyatakan memenuhi syarat sesuai PP No 78/2007. Itu pun DOB ini sudah disaring ketat dari 19 yang diusulkan Komisi II DPR RI (http://nasional.kompas.com/read/2012/10/22/20574778/Provinsi.Kalimantan.Utara.Disetujui).

Ada di mana posisi Provinsi BMR saat ini? Melengkapi persyaratan PP No 78/2007. Membawa ke DPR RI tanpa kelengkapan sesuai aturan baku itu, cuma halusinasi psikopat. Terlebih dengan menyeret-nyeret nama Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Indonesia (KAHMI). Siapa Muliadi Mokodompit? Saya tidak pernah melihat dia ada di lingkaran elit KAHMI di Jakarta. Memangnya KAHMI itu isinya sekumpulan burung pipit, lalu dengan bodoh menabrak aturan-aturan normatif di negeri ini?

Saya betul-betul ingin tahu apa reaksi KAHMI Sulut dan KAHMI Pusat membaca pernyataan yang menyeret-nyeret dan merendahkan organisasi ini? Terutama reaksi Ketua Presdium KAHMI Pusat, Mahfud MD, yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

***

Mencari pengaruh, bergiat, atau apapun namanya, adalah hak setiap warga negara. Tidak ada yang bisa melarang Muliadi Mokodompit berakrobat dalam urusan pembentukan Provinsi BMR. Hanya saja, saya ingin mempertanyakan motif pribadi dan aksi-aksi yang turut dia gerakkan belakangan ini?

Kalau sekadar jualan omong kosong, minggir sajalah daripada satu saat terbuka seluruh borok yang selama ini mewarnai rekam-jejak Anda. Laksanakan saja tugas Pengkajian di Tim 1 yang sudah diamanatkan, lalu pertanggungjawabkan dengan benar, termasuk dana-dana yang digunakan untuk itu. Tidak perlu melakukan manuver orang mabuk popularitas yang akhirnya cuma jadi bahan tertawaan, bahkan di luar Mongondow.***