Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, February 5, 2013

Menafsir Sejarah dengan Tong Sampah (2)


TAHUKAH Anda perbedaan mendasar antara ‘’tentara sewaan’’ (mercenary) dan ‘’tentara’’ (army)? Anda menuliskan ‘’… fakta sejarah yang sebenarnya adalah ia disewa oleh pemerintah Hindia Belanda….’’ Pemerintah Hindia Belanda, dalam konteks Aceh, tidak pernah menyewa tentara. Mereka merekrut tentara, yang menjadi bagian dari Koniklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL). Yang menyewa tentara adalah Verenigde Oostindische Compaqnie (VOC), yang hanya perusahaan dagang, bukan institusi negara.

Anda berpikir bahwa saya menulis hanya karena bisa menggunakan komputer dan tahu merangkai kata? Bahwa kata-kata dan kalimat yang dituliskan sekadar dimuncratkan begitu saja?

Sumardi Arahbani gagal menangkap sindiran (dan ejekan saya) terhadap asal bunyinya soal ‘’dia disewa’’ Pemerintah Hindia Belanda. ‘’Disewa’’ dan ‘’menjadi tentara’’ itu dua hal yang sama sekali berbeda. Dan dalam soal ini, Sumardi Arahbani sangat tidak konsisten. Mana yang benar? Di mana fakta itu berada? Anda sekadar mangap saja, supaya punya alasan mengolok-ngolok saya dan leluhur saya? 

Ketiga, Anda sebenarnya belajar sejarah di mana? Bawa ke sini kepala Anda biar saya isi dengan pengetahuan yang lebih benar, paling tidak yang telah diuji berdasar standar ilmiah kesejarahan.

Kalau Anda benar-benar belajar sejarah, pasti tahu bahwa de facto dan de jure empat hari setelah pendaratan Tentara Belanda di Aceh dan menempati bivak di Penanjoeng pada 20 Januari 1874, Sultan (yang menjadi simbol resmi Pemerintahan Aceh) menyerah nyaris tanpa perlawanan. Logika Sumardi Arahbani pasti bengkok ketika menuliskan bahwa di periode 1880-1893 Aceh masih kesultanan yang berdaulat. Perang yang kemudian meletus setelah 1874 (dimana Unit Marsose yang didirikan KNIL mendapatkan reputasi mengerikan) dianggap sebagai pemberontakan oleh Belanda.

Tentang serdadu Belanda yang berperang di Aceh, Sumardi Arahbani boleh membaca Zwarte Hollanders, Afrikaanse Soldaten in Nederlands-Indie 1831-1945 karya Ineke van Kessel. Buku ini sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Komunitas Rumah Bambu pada Mei 2011 dengan tajuk Serdadu Afrika di Hindia Belanda.

Penelitian Ineke van Kessel mengkonfirmasi bahwa tentara rekrutan KNIL yang berperang di Sumatera setidaknya berasal dari Afrika (Ghana), Jawa, Bugis, Madura, Sumenep, Manado dan Ambon. Tidak ada satu pun yang menyebutkan ada serdadu KNIL dari Bolaang Mongondow.

Bagaimana dengan (khusus) Perang Aceh? Karena pengarsipan kolonial yang relatif baik, para sejarawan punya peluang menelusuri nama-nama serdadu yang bertempur sejak pertama kali Belanda menyatakan perang pada Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873. Termasuk nama-nama para anggota Marsose, lengkap dengan gaji mereka .

Saya cermati, membedakan Marsose dan KNIL saja tampaknya Sumardi Arahbani mengalami kesulitan (dengan menulis Marsose/KNIL –sepele tapi fatal). Tahukah Anda bahwa Marsose hanyalah unit khusus di dalam KNIL, yang artinya cuma serdadu pilihan yang masuk dalam unit ini? Dan unit ini pun baru dibentuk setelah Perang Aceh meletus.

Keempat, tentang kuli kontrak, apa urusannya lalu ditarik menjadi sekadar persepsi orang Mongondow? Ini persepsi orang Indonesia umumnya ketika bicara tentang sejarah kuli kontrak yang melibatkan pribumi –bukankah kita tidak sedang membicarakan Cina? Lagipula saya paham betul sejarah kuli kontrak. Sumardi Arahbani boleh membuka-buka lagi arsip lama, pasti akan menemukan review saya di media terkemuka Indonesia berkaitan dengan buku (sejarah) karya Jan Bremen yang sempat menjadi diskusi hangat bertahun lalu, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial Pada Awal Abad Ke-20 (Grafiti, 1997).
Apakah Anda mau menyandingkan Jan Bremen yang bertahun-tahun melakukan riset serius dengan buku yang ditulis berdasarkan nostalgi pribadi? Yang hanya menyinggung kuli kontrak dalam satu kalimat?
Kelima, capek betul saya membaca penjelasan tentang serdadu rekrutan KNIL yang ada di poin lima hingga tujuh di atas, karena sama sekali tidak menjawab subsatansi dari tuduhan terhadap Kakek Buyut saya. Apa literatur yang Anda gunakan, Sumardi Arahbani? ‘’Konon’’ dan ‘’patut diduga’’ dengan metodologi sejarah yang tidak diuji, sama dengan karang-karangan. Saya kuatir Anda hanya memetik apa yang dituliskan dari percakapan di Pos Kamling.

Cek kembali data-data tentang perekrutan serdadu-serdadu pribumi oleh KNIL pasca penyerahan kekuasaan dari VOC ke Pemerintah Hindia Belanda.  Sejak kapan perekrutan itu dimulai dan dari mana saja mereka? Anda akan malu karena betapa banyak kelirunya Anda, termasuk dalam soal kecakapan perang pribumi.

Kecakapan perang sebagai fakta sejarah itu yang menjadi dasar mengapa serdadu bayaran indentik dengan Ambon di masa kolonial. Literatur-literatur sahih menyebutkan karena serdadu asal Ambon sangat terkenal keberaniannya (hanya dikalahkan oleh serdadu KNIL asal Ghana yang mulai direkrut di periode 1831-1835 –dan selama bertugas di Hindia Belanda sering dikacaukan dengan serdadu pribumi asal Ambon karena kesamaan warna kulit).

Sebagai bonus, karena Sumardi Arahbani menyinggung-nyinggung Perang Diponegoro, saya menyarankan sebaiknya baca tiga jilid Kuasa Ramalan: Pengeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855) karya Peter Carey, terbit di Belanda pada 2007, yang edisi Indonesianya diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia  (KPG) pada November 2011.

Saya marah karena orang yang dikira punya pengetahuan, layak dipuji, dan dimintai pencerahan, ternyata hanya berargumentasi dengan ‘’konon’’ dan ‘’patut diduga’’. Sayang sekali saya harus kehilangan respek terhadap Sumardi Arahbani. Dengan tulisan ini (yang rujukannya bisa ditelusuri ke literatur-literatur sejarah yang diakui keabsahannya) saya sudah membuktikan krebilitas pengetahuannya cukup dilemparkan ke tong sampah.

Saya justru ingin menanyakan apa motif di balik penghinaannya terhadap saya dan leluhur saya?  Kalau hanya berdasar ‘’konon’’ dan ‘’patut diduga’’, saya juga bisa mengarang-ngarang konon Kakek Buyut Sumardi Arahbani adalah antek Belanda, yang patut diduga menjadi salah satu yang diburu-buru untuk dipenggal oleh orang-orang seperti Kakek Buyut saya.

Saya akan menutup komentar (terakhir –karena saya tidak akan menanggapi lagi di masa datang) terhadap Sumardi Arahbani ini dengan peringatan: Anda boleh mengolok-olok saya. Tetapi jangan Kakek Buyut saya, yang anak-temurun dan rumpunnya tersebar di seluruh Mongondow. Apalagi olok-olok itu berdasar karang-karangan dan tafsir sesuka-suka Anda.

Berikutnya, bila ada lagi penghinaan atas dasar ‘’konon’’ dan ‘’patut diduga’’, supaya Sumardi Arahbani faham, saya menggunakan bahasa Manado: ‘’Kurang fulungku yang mo sampe pa ngana, karna ngana rupanya nyanda mangarti kalu cuma kata-kata.’’ ***