Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, February 1, 2013

Doktrin Terkutuk Loyalitas PNS di Mongondow


Peringatan: Pegawai negeri sipil (PNS), bakal calon Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK), pengurus dan aktivis Partai Politik (Parpol, dan para tukang jilat, sebaiknya tidak membaca tulisan ini untuk menghindari tekanan darah tinggi, tereng, dan sejenisnya.

BELAKANGAN saya kerap mendengar kata ‘’loyalitas’’ dipercakapkan di kalangan pegawai negeri sipil (PNS) di Mongondow, terutama di KK dan Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk. Tidak ada yang aneh. Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, misalnya, sudah mengatur dengan jelas aspek-aspek utama yang harus diindahkan oleh setiap birokrat di negeri ini.

Ayat-ayat di Pasal 3 PP No 53/2010, yang berjumlah 17, berisi kandungan eksplisit kepada siapa PNS harus loyal. Pun, sumpah/janji PNS atau sumpah/janji jabatan (ayat 1 dan 2), misalnya, saya yakin tidak mensyaratkan seorang birokrat loyal pada satu-dua sosok pribadi. Termasuk loyal, katakanlah, pada Bupati, Walikota, Gubernur, atau atasannya (siapa pun itu), harus diletakkan pada konteks profesionalitas seorang birokrat.

Sebab itu, mengetahui minggu-minggu terakhir ini ada sensus politik di seluruh Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) KK, yang pertama terlontar dari mulut saya adalah serapah, ‘’Terkutuk!’’ Kalau pun caci-maki ini tertuju langsung pada Walikota, Djelantik Mokodompit, sebagai pejabat birokrasi dan politik tertinggi di KK, saya tidak ambil pusing. Sebagai Walikota, dia tahu persis apa yang terjadi dan patut diduga perintah bejat itu datang langsung dari yang bersangkutan.

Saya yakin isu ini sudah dimamah-biak oleh mayoritas warga KK. Bagi yang hanya samar-samar mengetahui, saya perjelas: Di tiap SKPD di KK telah diedarkan daftar isian, dimana para birokratnya harus mencantumkan nama dan pemihakan politiknya, yang ditandai dengan tiga warna: Kuning, Biru, dan Abu-Abu.

Kuning artinya mendukung Djelantik Mokodompit (yang telah pula ditetapkan oleh Partai Golkar) sebagai calon Walikota KK 2013-2018. Biru untuk Tatong Bara (yang sudah pasti diusung Partai Amanat Nasional –PAN) berkompetisi dengan Djelantik. Dan Abu-Abu untuk mereka yang belum menjatuhkan pilihan.

Yang menjijikkan, proses sensus disertai pula dengan ancaman bahwa pilihan ‘’biru’’ atau ‘’abu-abu’’ tidak menunjukkan loyalitas seorang PNS. Dan PNS yang tidak loyal, tentu bakal disingkirkan dengan non job dan sejenisnya. Agar lebih meyakinkan, PNS yang kumabal diperingatkan dengan mengutip Trimatra Pengabdian yang kerap disebutkan di mana-mana oleh Walikota dan jajarannya: Loyalitas, disiplin, dan profesionalisme.

***

Dari mana asal-usul Trimatra Pengabdian PNS yang jadi jargon (khususnya) di KK dan Bolmong ini berasal? Setelah capek mencari-cari rujukan, menelepon sejumlah orang, barulah saya mendapatkan gambaran. Bahwa, Trimatra yang menakutkan ini ternyata mulai dipopulerkan di era Bupati Bolmong Marlina Moha-Siahaan.

Konon, Trimatra ini jadi resep ampuh saat dia mencalonkan diri sebagai Bupati Bolmong di periode jabatan kedua. PNS yang ketahuan memilih calon pesaing, bakal digencet dengan Trimatra. Walikota Djelantik Mokodompit membeo dan kemudian mengubah urutan Trimatra Pengabdian ala Marlina Moha-Siahaan menjadi ‘’loyalitas, disiplin, dan profesinalisme’’; lalu kini menggunakan sebagai senjata membuat jerih PNS di KK.

Reputasi mulut Djelantik Mokodompit yang tak dapat dipegang kebenarannya, tak perlu diperbantahkan lagi. Walau demikian, saya tetap takjub terhadap ketidak-tahu maluannya. Padahal, di awal 2013, saat apel perdana dengan jajarannya, Walikota mengingatkan agar PNS tak berpolitik praktis (http://manado.tribunnews.com/2013/01/03/antik-ingatkan-pns-tak-berpolitik-praktis).

Pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) pun pasti tahu apa arti ‘’politik praktis’’ berkaitan dengan PNS. Pertanyaan saya: Walikota KK benar-benar tidak tahu, pura-pura tidak tahu ada sensus politik di lingkungan Pemkot KK, atau memang tidak paham apa itu politik praktis dan ke-PNS-an? Saya lebih percaya yang ketigalah yang lebih mendekati kemungkinan. Bahkan, saya berkeyakinan penuh dialah dalang dibalik sensus itu.

***

Telah menjadi semacam konsensus umum di KK bahwa pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) KK 2013 adalah kompetisi dua elit politik: Djelantik Mokodompit dan Tatong Bara. Sebagai Walikota dan Ketua PG KK, Djelantik diuntungkan karena dialah yang menggendalikan DPR (dimana mayoritas anggotanya berasal dari PG) dan PNS yang setiap saat mengkerut diancam mutasi dan non job.

Sebaliknya, Tatong Baru yang masih duduk di kursi Wawali KK, adalah Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PAN Sulut. Di wilayah Bolmong, PAN cukup punya gigi. Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, adalah Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) PAN Bolmong dan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, adalah Koordinator PAN untuk Sulut dan Gorontalo. Kekuatan Tatong Bara kian mumpuni bila Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu, yang walau berasal dari PDI Perjuangan tetapi sudah berkomitmen mendukung calon PAN di Pilwako KK, juga disertakan dalam aliansi politis ini.

Dengan mempraktekkan politik normatif saja, peluang Tatong Bara mengalahkan Djelantik Mokodompit, terbuka lebar. Tapi alangkah mengecewakan, karena dua sosok elit ini ternyata 11-12 belaka.

Sensus politik PNS KK yang diakukan Djelantik Mokodompit, kini dilawan dengan pengerahan PNS oleh Tatong Bara, dengan menggunakan jejaring partainya. Yang sudah terkonfirmasi adalah PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolmong. Malam ini (Jumat, 1 Februari 2013), PNS Bolmong di atas eselon III, lebih khusus lagi yang bermukim atau memiliki pengaruh di KK, disokong melakukan pertemuan khusus dengan agenda mendukung Tatong Bara.

***

Sudah waktunya kelakuan tak senonoh elit politik di Mongondow ini dihentikan. Yang mengherankan saya, praktek-praktek busuk itu seolah-olah tak diketahui Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) KK. Kemana saja dua institusi ini? Apa mereka sudah ikut-ikutan makan sogok dan masuk angin?

Sensus politik yang dilakukan di jajaran Pemkot dan pengerahan PNS untuk mendukung bakal calon di Pilwako KK, cukup menjadi alasan bagi KPU dan Paswalu bersepakat menunda pelaksanaan event ini. Atau, kalau satu-satunya kepentingan mereka adalah demi hak dan kemaslahatan warga KK, maka harus ada sanksi yang tegas: Mencoret bakal calon atau calon yang sudah terbukti melakukan praktek kotor dan melawan semua undang-undang (UU) serta turunannya.

Lebih baik KPU meloloskan Ahmad Ishak atawa Matt Jabrik, yang wartawan dan tukang main gitar, sebagai calon Walikota KK 2013-2018, daripada maniak politik yang telah terbukti semena-mena menyalah-gunakan jabatan publiknya.

Kalau pun belum ada yang melaporkan masalah ini (terutama karena takut ditimpa sanksi loyalitas), tulisan ini boleh dijadikan bukti.***