Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 30, 2012

Sarkasme ‘’Kasian Deh, Lu….’’

DI USIA lewat 40 tahun mengantar saya mengalami banyak hal. Sejumlah hal bahkan sungguh bodoh, picik, dan memalukan.

Namun saya harus menyampaikan kekaguman pada Fahri Damopolii. Urat bodoh dan malunya sungguh tebal. Sudah tertangkap tangan, diperingatkan dengan halus, ditegur dengan brutal, masih juga berusaha menyelamatkan harga dirinya dengan berkelit-kelit tidak karuan.

Begini saja. Pertama, Anda memang penulis artikel tersebut. Kalau tidak terima apa yang saya sampaikan, apa argumen kokohnya? Sebagaimana tulisan atas nama A. R. Thomas, apa yang disampaikan di Terantuk Bongkahan Congkak! (Radar Totabuan, Senin, 28 Mei 2012) juga bukan argumen kecuali permainan kata (saya yakin yang menulis sendiri pening membaca betapa jelimet dan percumanya kata-kata yang digunakan). Kalau tidak mampu berargumen, gugat pidana dan perdata.

Menulis serangan dan caci-maki terhadap seseorang dengan menggunakan nama alias, jelas pekerjaan pengecut dengan niat yang hanya tepat dikategorikan culas dan jauh dari terhormat. Kalau masih tidak paham apa itu ‘’pengecut’’, ‘’culas’’, dan ‘’tidak terhormat’’, ke dokterlah dan periksa kewarasan serta jenis kelamin Anda.

Saya menjelaskan dengan runut mengapa Anda pantas disebut culas dan sebagainya. Sebaliknya, apa argumen terhadap caci maki pribadi terhadap saya, baik di tulisan atas nama A. R. Thomas maupun Fahri Damopolii sendiri? Yang membedakan antara debat dan caci maki, sekali lagi: ide dan pikiran, bukan fisik. Menyebut saya berkali-kali sebagai si ceking jelek dalam tulisan (apa hubungannya antara bentuk tubuh dengan isi kepala), membuat saya ragu apakah Anda benar-benar lulus Perguruan Tinggi (PT) atau hanya membeli ijazah. Mari disanding sebaik-baiknya, saya yakin masih lebih tampan dan gaya dibanding Fahri Damopolii.

Atau Anda memang berniat dan sungguh-sungguh menjadikan urusan ini pribadi?

Kedua, secara tidak resmi saya sudah mendapat konfirmasi bahwa tulisan dari A. R. Thomas dikirim menggunakan email Anda, fahri.damopolii@gmail.com (bahkan berbohong pun Anda gagal di tingkat paling basic).  Tentu Anda sedang bersiap-siap beralasan bahwa email tersebut dibajak, digunakan orang yang tidak bertanggungjawab, dan alasan klasik lainnya.

Sesekali jadilah laki-laki. Stilistika tulisan atas nama A. R. Thomas identik 100 persen dengan Anda; demikian pula dengan email yang digunakan. Caci-maki kelas bawah di Terantuk Bongkahan Congkak! tak lebih dari kekalapan orang tak berdaya. Atau barangkali entry ‘’malu’’ dan ‘’beradab’’ sobek di halaman kamus yang Anda punya?

Ketiga, sebenarnya apa poin yang ingin Anda sampaikan? Mencaci saya pribadi atau mengkritik ide-ide yang saya tuliskan. Kalau mengkritik ide-ide saya, di manakah itu? Sedang cacian yang sudah bersifat pribadi dan fisik, ya, tampaknya karena iri dan dengki, kalah kelas, lalu menggunakan cara lama: Ingin diakui besar, lawanlah singa. Jurus ini tidak akan mempan sebab kelas kita memang beda.

Sebagai anak kampung yang dibesarkan di Jalan Amal, bersekolah di Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) kota kecil di udik, lalu ke Perguruan Tinggi (PT) yang paling dekat dari kediaman orangtua (hanya itu yang kami mampu), saya pantas congkak. Memangnya congkak melanggar hukum? Belum ada anak Mongondow yang bisa menyamai prestasi pribadi saya, dari drop out memanjat ke posisi signifikan di perusahaan multi nasional terbesar di bidangnya. Tanpa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Dari yang belajar menulis di mesin ketik tua ayah, menjadi salah satu penulis yang direken di negeri ini. Adakah yang setanding dan selevel di Mongondow, mohon maaf, saya yakin tidak. Congkak? Iya, dong, anak kemarin sore yang baru belajar menulis saja boleh pongah, masak saya dilarang besar kepala?

Anda yang haram hukumnya congkak. PNS bow, yang sekarang maksimalnya membebek Raski Mokodompit kemana-mana supaya dapat perhatian, termasuk capek-capek jadi panitia ini-itu yang tidak ada relevansinya dengan kerja birokrasi. Saya dan Anda berkaca di mana saja, penggorengan, belanga, atau ujung sendok, hasilnya sama: Saya orang merdeka, Anda tidak.

Daftar yang bikin sirik makin panjang kalau saya cantumkan siapa teman-teman reriuangan sehari-hari, yang namanya hanya mampu Anda kagumi dari kejauhan. Saya bukan penggemar, pendukung, atau orang suruhan, karena mereka adalah teman yang duduk dan berdirinya sama tinggi. Posisi saya bukan seperti Anda, di mana yang satu ‘’Abo’’ dan yang lain ‘’Ata’’. O, beberapa di antara orang-orang yang sekadar berjabat tangan dengan mereka mungkin Anda impi-impikan, dengan hormat memanggil saya ‘’Abang’’.

Nah, Fahri Damopolii, Anda siapa? Mau menyombongkan apa? Saya maklumi saja kalau Anda merasa terintimidasi dengan kecongkakan saya. Kasihan Anda, --yang pada akhirnya kalah di pasar nasional, apalagi internasional— harus puas berakhir sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di KK. Dengan karakter yang ditunjukkan sekarang, hingga pensiun pilihan yang ada cuma berjibaku sikut-sikutan dan jilat-jilatan untuk mendapatkan jabatan; atau bekerja profesional dan makan hati karena digencet birokrat yang gemar politicking –ya, contohnya Anda sendiri. Saya menonton orang-orang seperti Anda dengan iba sembari menikmati penerbangan kelas satu, hotel bintang lima, buku-buku bagus, dan wisata ke kota-kota dunia.

Jadi, saya memang berhak congkak. Kalau keberatan, ya, ‘’derita elu’’ sendiri. Silahkan kulum jempol dengan perasaan merana. Lagipula menanggapi amatir sekualitas Anda, cemen belaka. Cukup beberapa menit di jeda makan siang atau sembari menyeruput kopi sore menjelang waktu pulang.

Keempat, salah satu jenis pembohong yang buruk adalah tidak ingat terhadap kebohongannya sendiri. Fahri Damopolii adalah jenis yang terburuk dari para pembohong. Kata-katanya diingkari (cek lagi BlackBerry Messenger –BBM—Anda, termasuk permintaan maaf ke saya), bahkan sebelum tinta dan ludah di mulut kering. Ingat-ingat pula kalimat saya yang dikutip dengan pelintiran, apakah memang itu yang tersurat dan tersirat. Ke polisi berurusan dengan tokoh publik populer saja saya tidak takut, apalagi cuma dengan cacing pita.

Lupa dengan kebohongan sendiri menunjuk jelas ke problem kejiwaan. Saya kutipkan contoh pernyataan Fahri Damopolii (yang memang sudah dalam bentuk kutipan, lengkap dengan kesalahan tanda bacanya): ‘’Anda rakyat Bolmong harus bersabar diri dan dalam batas tertentu memaklumi segala yang Anda jumpai dari istri Salihi, sebab ibu bupati Anda memang orang bodoh yang tak paham keprotokoleran pejabat, dan teramat tolol hingga urusan pakaian yang dikenakan’’.

Kelima, penulis yang buruk selalu memproduksi tulisan berkualitas rendah. Idenya compang-camping, alur seperti menunggang kuda mabuk, dengan argumen yang memerlukan satu botol Viagra agar tegak dan lurus. Penulis-penulis yang mengaku berteman dengan saya tentu tak sudi dikait-kaitkan dengan tulisan buruk dan bermutu rendah.

Menulis adalah paduan antara apa yang ‘’masuk’’ (dari bacaan, pengalaman, renungan) serta yang dikandung di batok kepala penulisnya. Garbage in, garbage out. Sampah yang masuk, ditambah mentalitas busuk, hasilnya adalah limbah beracun.

Maka, saya tidak perlu membayangkan siapa-siapa. Saya menunjuk hidung bahwa penulis culas dengan motif dengki dan politicking di balik nama alias A. R. Thomas adalah Fahri Damopolii. Keberatan? Saya akan layani sampai ke mana pun.***