Bila disarikan, tanggapan yang berdatangan itu dapat dibagi
dalam dua arus utama: Pertama, tidak
percaya dan menduga sikap saya itu semata karena sedang marah pada kelompok
pesaing DjM. Kedua, mengisyaratkan
memahami alasan saya dan memberi dukungan sebagai upaya menjaga keseimbangan
politik di KK khususnya dan Bolmong umumnya.
Semestinya saya boleh tidak peduli apa pendapat orang.
Sebagaimana yang berulang kali saya tulis: Memangnya siapa saya di tengah
jutaan jiwa yang bermukim di Mongondow?
Saya hanyalah anak Mongondow biasa yang tumbuh-besar di
Jalan Amal, belajar tentang dunia, lalu mencoba mengkontribusi pengetahuan
(yang terbatas ini) sebagai sebuah diskursus sehat dengan komunitas saya.
Komunitas yang amat sangat terbatas, hanya mereka yang kebetulan membaca
tulisan-tulisan saya. Selebihnya, kelompok kecil yang setia beriuangan (kadang-kadang sambil
mengudap durian, pisang goroho, menikmati tinutuan disambung ikang garang rica atau bebek masak
pedas).
Agar tidak menjadi spekulasi dan duga-duga, tampaknya saya
mesti menjelaskan mengapa ada pernyataan ‘’mempertimbangkan’’ mendukung DjM
yang saya tuliskan.
Resep Kedaluwarsa
Dinamika politik di Mongondow sesungguhnya mudah diduga. Kompetisi
para elit politik yang duduk di puncak-puncak kekuasaan dan peran publik dari
daerah ini, setidak hampir 15 tahun terakhir, selalu terpolarisasi dengan
jelas. Di masa ketika mantan Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong), Marlina
Moha-Siahaan, berkuasa; kita tahu dia memiliki dua pesaing utama, Djelantik
Mokodompit (saat itu anggota DPR RI) dan Syarial Damopolii (di masa itu adalah
Ketua DPR Sulut). Ketiga tokoh elit Mongondow ini berasal dari partai yang
sama: Partai Golkar (PG).
Siapa pun yang telaten mengikuti naik-turunnya politik
Mongondow belum lupa bagaimana ketiga tokoh itu tidak pernah benar-benar
sependapat (termasuk untuk kepentingan orang banyak), kecuali pada kondisi
mereka terpaksa bekerjasama karena menghadapi ‘’musuh’’ atau kepentingan yang
sama.
Masa berganti, Marlina Moha-Siahaan dan Syarial Damopolii
surut, tertinggal DjM yang masih menjabat Walikota KK. Di saat yang sama
kelompok politik dengan afiliasi ke anggota DPR RI yang juga Ketua Komisi V,
Yasti Mokoagow, lahir sebagai kekuatan baru. Kelompok ini harus diakui dengan
cepat menguat, apalagi suksesor Marliha Moha-Siahaan, Didi Moha, cenderung
mempraktekkan politik low exposure;
generasi kedua Syarial Damopolii lebih tekun menjadi birokrat profesional dan
anggota DPR yang kurang lebih juga tak menonjol di media.
Tak pelak yang kemudian high
exposure adalah DjM dan anaknya, Raski Mokodompit, di satu sisi dengan
kelompok baru yang mengerucut ke Yasti Mokoagow di sisi lain. Pengecualiannya
barangkali adalah Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, yang
kendati kini menjadi salah satu kader Partai Amanat Nasional (PAN) –setelah
bergabungnya Partai Bintang Reformasi (PBR) ke PAN— relatif independen dan tahu
persis teknik politik stepping in the
edge.
Apa relevansi dari polarisasi itu terhadap sikap saya
sebagai warga negara, khususnya yang lahir di Mongondow dan mengenal para
‘’pemain politiknya’’ dengan baik? Ada yang berspekulasi situasi terkini
pemerintahan dan birokrasi di Bolmong Induk serta pernyataan Bupati Bolaang
Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu, yang disampaikan di Restoran Lembah
Bening, Kamis (19 April 2012), yang menjadi pemicu.
Dugaan itu sama sekali keliru. Bagi saya politik adalah visi
dan seni yang sebaiknya dingin dan tidak melibatkan emosi mendalam. Dengan
memegang teguh keyakinan ini, saya terbebas dari kemarahan dan menyadari
sepenuhnya, orang paling cerdas, baik, santun dan bersahaja sekali pun, ketika
bersentuhan dengan politik sebagai praktek dan kehilangan keawasan, dengan
mudah tergelincir menjadi seseorang yang sama sekali tak kita kenal lagi.
Menurut cermatan saya, masing-masing kelompok yang saat ini
sedang menancapkan kekuasaan politik di Mongondow, telah kehilangan keawasan
itu dan terpeleset mempraktekkan politik ‘’kelas rendah’’. Rolling eselon II di Bolmong Induk dan pernyataan Bupati Bolsel
yang akan mendudukkan beberapa warga Kota Kotamobagu sebagai Kepala Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) berkaitan dengan Pilwako KK, adalah konfirmasi
telanjang dan blak-blakkan.
Di satu sisi, Walikota KK yang semestinya mencerdasi situasi
tersebut, merespons dengan tindakan yang sama. Rolling yang dia lakukan terhadap sejumlah jabatan dan posisi,
membuktikan DjM tidak lebih pintar dari kelompok yang kini berbaris dan bersiap
mengeroyok dia. Pembaca, Anda boleh mengecek sendiri, tetapi di rolling yang beberapa waktu lalu dilakukan,
DjM dengan sembrono menyingkirkan para birokrat profesional yang ‘’terduga’’
terafiliasi dengan kelompok seberang; serta mengangkat orang-orang yang dianggap
menjadi lingkaran terdekat, bahkan yang belum memenuhi syarat sekali pun.
Salah satu contoh adalah pengangkatan beberapa PNS baru
(benar-benar baru karena masih ‘’bau’’ Pra Jabatan) dan PNS ‘’impor’’ (dari
seantero wilayah Bolmong) yang baru tiga-empat bulan pindah ke KK, ke jabatan
Kepala Seksi (Kasi) dan Kepala Sub Bagian (Kasubag). DjM barangkali tidak sadar
bahwa tindakan tersebut justru menimbulkan antipati massal.
Masyarakat KK relatif sangat sadar informasi dan aware politik. Meremehkan dua aspek ini,
menurut hemat saya, tak beda dengan menggali lobang kubur sendiri.
Dugaan pengaturan jabatan di Bolmong, kemudian ‘’janji’’
Bupati Bolsel, begitu diketahui warga KK, sebenarnya dengan drastis telah
menurunkan ‘’tingkat keterpilihan’’ Tatong Bara sebagai calon yang
digadang-gadang menjadi penantang kuat DjM. Apalagi akar kelompok penyokongnya
belumlah sekokoh yang mereka yakini.
Tokoh politik sekuat Marlina Moha-Siahaan, yang selama 10
tahun berhasil membangun loyalitas para birokrat, di masa akhir kejayaannya
membuktikan resep itu kedaluwarsa dan tak ampuh lagi. Putranya, anggota DPR RI
dari PG yang mencalonkan diri sebagai Bupati Bolmong di Pilkada 2011, hanya
berada di urutan ketiga dari empat pasang calon.***(Bersambung)