Namanya Makatu. Saya dan para adik mengenal dia sejak masih
bermukim di Matali (di sebuah rumah yang hanya berbatas jalan dengan Mesjid
Matali). Orang-orang mengatakan Makatu agak kurang waras, terlebih karena
kesukaannya tidur di totaboyan
(tempat pengasapan kelapa).
Kurang waras, eksentrik atau apalah, kini tidak lagi relevan.
Dia sudah lama berpulang ke hadirat-Nya. Doa saya untuk Makatu dan nostalgi
tentang dia.
Yang sukar saya lupakan adalah Makatu –yang sangat jarang
bersuara— amat ringan tangan. Dia mudah dimintai tolong, selalu ada di
hajatan-hajatan –lebih khusus membantu pekerjaan-pekerjaan berat di bagian
belakang (membelah kayu, menyiapkan dandang dan aneka kerja otot lainnya).
Setelah kami sekeluarga pindah ke Jalan Amal (waktu itu saya
baru menginjak kelas 2 SD), ada dua orang lagi yang kurang lebih seperti Makatu
yang rajin bertandang ke rumah: Abas dan Hasani. Mengingat Abas yang super aktif selalu jadi memori lucu: Dia
pernah memijat kambing piaraan ayah yang sakit dan ajaibnya sembuh. Sedang
Hasani gesit mengerjakan apa saja sepanjang tersedia kopi dan rokok mengepul di
mulutnya.
Kembali pada Makatu. Satu hari sahabat dekat ayah, almarhum
Om Saman Yambo –kami kakak-beradik menyapanya dengan panggilan ‘’Papa Iwan’’—mampir
ke rumah. Setelah urusan antara para orang tua selesai, Om Saman naik ke
mobilnya (di memori saya yang dia kendarai adalah Datsun) dan bersiap mundur ke
jalan raya. Di belakang mobil Makatu bersiaga dengan aba-aba.
Tanpa ragu Makatu meneriakkan, ‘’ Mundur…. Mundur…. Trus…. Trus….’’ Lalu mendadak mobil yang
dikendarai Om Saman terjungkit. Roda belakangnya meluncur melewati bahu jalan,
terjerembab ke selokan (saat itu masih) pekarangan di depan rumah kami. Adegan
mengagetkan ini ditutup teriakan dari Makatu, ‘’Sudah! Kombonu don in got.’’
***
Tiba-tiba saya teringat pada Makatu dan mobil Om Saman yang terjungkit saat berselancar dan
menemukan di http://beritamanado.com/
serangkaian foto perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Kotamobagu (KK) yang
ke-5, Rabu (23 Mei 2012). Salah satu foto memperlihatkan kain rentang bertulis
‘’Lanjutkan’’ yang diinterpretasi sebagai dukungan terhadap Walikota KK, Djelantik
Mokodompit, untuk memperpanjang masa jabatan kedua kalinya lewat Pemilihan
Walikota (Pilwako) di 2013 mendatang.
Komando Makatu, ‘’Trus….
Trus….’’, berkelebat di benak dengan nuansa yang sama sekali berbeda.
Hingga hari ini ulah Makatu yang terjadi berpuluh tahun lampau itu saya kenang
sebagai peristiwa lucu. Tapi kain rentang ‘’Lanjutkan’’ di HUT KK sama sekali tak
bisa dimaknai sebagai lelucon. Apalagi itu dimunculkan di tengah berlangsungnya
Tarian Dana-Dana (yang dibanggakan berhasil memecahkan rekor Meseum Rekor
Indonesia –MURI).
Sebagai orang Mongondow yang dilahirkan di KK, terlibatnya
ribuan pelajar SD dan Sekolah menengah Pertama (SMP) menyukseskan tarian
kolosal itu, membuat saya bertanya-tanya: Poin apa yang ingin dicapai Pemkot
KK? Apakah tak ada ide yang lebih kreatif dan bernilai, misalnya semacam
festival makanan khas Mongondow di mana pemenangnya dihadiahi modal dan
kesempatan berusaha?
Walau tidak bersetuju, terlebih rekor MURI makin biasa dan
pasaran, tak perlulah urusan tari-tarian diperpanjang. Yang lebih penting
adalah kain rentang berisi pesan politik itu, yang menurut hemat saya sungguh
tak pada tempatnya dipapar di event
khusus yang seharusnya bebas dari interes satu kelompok atau perorangan seperti
HUT KK.
Etika memang jadi persoalan yang, apa boleh buat, harus
terus dikritisi di bawah rezim Walikota Djelantik Mokodompit. HUT KK adalah
‘’pesta’’ bagi seluruh warga, bukan hanya acara pribadi Walikota dan kelompok
pendukungnya. Benar bahwa penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemkot, namun
dengan demikian melibatkan birokrasi, lebih khusus siswa-siswi SD dan SMP serta
para guru berkaitan dengan Tarian Dana-Dana. Mengusung ‘’Lanjutkan’’ di tengah
acara tak dapat ditolak harus diterjemahkan sebagai praktek politik praktis
dari seluruh birokrat yang terlibat; serta lebih buruk lagi mobilisasi dan pelibatan
pelajar di bawah usia memilih.
Moga-moga bukan pegawai negeri sipil (PNS) KK yang mengusung
kain rentang itu. Kalau mereka PNS, rendah betul nilai profesionalismenya
sebagai birokrat. Patut diteliti apakah mereka lulus pra jabatan atau tidak,
karena sama sekali tak bisa membedakan loyalitas pada seragam dan
lambang-lambang yang dikenakan lima hari setiap pekan hingga pensiun; dan
loyalitas pada seseorang yang usia berkuasanya paling lama 10 tahun –dengan
kemungkinan di tengah atau setelah masa jabatan masuk bui.
Kian hari cara berpikir dan bertindak sejumlah orang di KK
semakin memuakkan. Tidakkah mereka menyadari hal-hal sepele seperti itu
menunjukkan bahwa komponen-komponen penting pelayan publik, khususnya
birokrasi, telah terkooptasi dan berlaku asal bapak senang. Di sisi lain,
fenomena semacam kain rentang ‘’Lanjutkan’’ di HUT KK menunjukkan kepanikan
Walikota yang tak lagi tahu cara mana yang elegan dan etis mengkampanyekan
diri; mana yang tidak dan norak.
Politik adalah seni. Semakin berkelas seorang politikus,
praktek-prakeknya memenangkan hati publik kian elegan dan tak terduga. Dan yang
terpenting, mengundang kagum serta penghormatan.
Praktek model kain rentang itu adalah low level politic yang mengindikasikan visi dan misi politikus yang
‘’syur’’ digosok-gosok cara norak seperti itu cuma sebatas kursi yang
didudukinya. Lain soal bila Walikota KK secara terbuka mengoreksi perentangan
‘’Lanjutkan’’ itu. Dia bukan hanya menunjukkan kelas pengetahuan etikanya,
tetapi juga memenangkan kesadaran orang banyak (sesuatu yang amat berguna
sebagai modal di 2013) terhadap kehormatannya sebagai pemimpin untuk semua.
Sembari turut bersuka-cita di HUT KK yang ke-5, saya berduka
terhadap kesadaran Walikota dan orang-orang di sekitarnya serta para birokrat
yang mencemari acara untuk semua orang dengan kepentingan politik murahan.
Selamat HUT KK. Pada Bapak Walikota Yang Terhormat, jangan sampai lanjutkan itu
menjadi tak beda dengan ‘’Trus... Trus….’’
dari Makatu, yang baru Anda sadari ketika sudah terjungkit dari kursi yang kini
diduduki.***