Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, May 24, 2012

‘’Lanjutkan Sampe di Got?’’

KENANGAN dari masa Sekolah Dasar (SD) tetap hidup di ingatan.

Namanya Makatu. Saya dan para adik mengenal dia sejak masih bermukim di Matali (di sebuah rumah yang hanya berbatas jalan dengan Mesjid Matali). Orang-orang mengatakan Makatu agak kurang waras, terlebih karena kesukaannya tidur di totaboyan (tempat pengasapan kelapa).

Kurang waras, eksentrik atau apalah, kini tidak lagi relevan. Dia sudah lama berpulang ke hadirat-Nya. Doa saya untuk Makatu dan nostalgi tentang dia.

Yang sukar saya lupakan adalah Makatu –yang sangat jarang bersuara— amat ringan tangan. Dia mudah dimintai tolong, selalu ada di hajatan-hajatan –lebih khusus membantu pekerjaan-pekerjaan berat di bagian belakang (membelah kayu, menyiapkan dandang dan aneka kerja otot lainnya).

Setelah kami sekeluarga pindah ke Jalan Amal (waktu itu saya baru menginjak kelas 2 SD), ada dua orang lagi yang kurang lebih seperti Makatu yang rajin bertandang ke rumah: Abas dan Hasani. Mengingat Abas yang super aktif selalu jadi memori lucu: Dia pernah memijat kambing piaraan ayah yang sakit dan ajaibnya sembuh. Sedang Hasani gesit mengerjakan apa saja sepanjang tersedia kopi dan rokok mengepul di mulutnya.

Kembali pada Makatu. Satu hari sahabat dekat ayah, almarhum Om Saman Yambo –kami kakak-beradik menyapanya dengan panggilan ‘’Papa Iwan’’—mampir ke rumah. Setelah urusan antara para orang tua selesai, Om Saman naik ke mobilnya (di memori saya yang dia kendarai adalah Datsun) dan bersiap mundur ke jalan raya. Di belakang mobil Makatu bersiaga dengan aba-aba.

Tanpa ragu Makatu meneriakkan, ‘’ Mundur…. Mundur…. Trus…. Trus….’’ Lalu mendadak mobil yang dikendarai Om Saman terjungkit. Roda belakangnya meluncur melewati bahu jalan, terjerembab ke selokan (saat itu masih) pekarangan di depan rumah kami. Adegan mengagetkan ini ditutup teriakan dari Makatu, ‘’Sudah! Kombonu don in got.’’

***

Tiba-tiba saya teringat pada Makatu dan mobil  Om Saman yang terjungkit saat berselancar dan menemukan di http://beritamanado.com/ serangkaian foto perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Kotamobagu (KK) yang ke-5, Rabu (23 Mei 2012). Salah satu foto memperlihatkan kain rentang bertulis ‘’Lanjutkan’’ yang diinterpretasi sebagai dukungan terhadap Walikota KK, Djelantik Mokodompit, untuk memperpanjang masa jabatan kedua kalinya lewat Pemilihan Walikota (Pilwako) di 2013 mendatang.

Komando Makatu, ‘’Trus…. Trus….’’, berkelebat di benak dengan nuansa yang sama sekali berbeda. Hingga hari ini ulah Makatu yang terjadi berpuluh tahun lampau itu saya kenang sebagai peristiwa lucu. Tapi kain rentang ‘’Lanjutkan’’ di HUT KK sama sekali tak bisa dimaknai sebagai lelucon. Apalagi itu dimunculkan di tengah berlangsungnya Tarian Dana-Dana (yang dibanggakan berhasil memecahkan rekor Meseum Rekor Indonesia –MURI).

Sebagai orang Mongondow yang dilahirkan di KK, terlibatnya ribuan pelajar SD dan Sekolah menengah Pertama (SMP) menyukseskan tarian kolosal itu, membuat saya bertanya-tanya: Poin apa yang ingin dicapai Pemkot KK? Apakah tak ada ide yang lebih kreatif dan bernilai, misalnya semacam festival makanan khas Mongondow di mana pemenangnya dihadiahi modal dan kesempatan berusaha?

Walau tidak bersetuju, terlebih rekor MURI makin biasa dan pasaran, tak perlulah urusan tari-tarian diperpanjang. Yang lebih penting adalah kain rentang berisi pesan politik itu, yang menurut hemat saya sungguh tak pada tempatnya dipapar di event khusus yang seharusnya bebas dari interes satu kelompok atau perorangan seperti HUT KK.

Etika memang jadi persoalan yang, apa boleh buat, harus terus dikritisi di bawah rezim Walikota Djelantik Mokodompit. HUT KK adalah ‘’pesta’’ bagi seluruh warga, bukan hanya acara pribadi Walikota dan kelompok pendukungnya. Benar bahwa penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemkot, namun dengan demikian melibatkan birokrasi, lebih khusus siswa-siswi SD dan SMP serta para guru berkaitan dengan Tarian Dana-Dana. Mengusung ‘’Lanjutkan’’ di tengah acara tak dapat ditolak harus diterjemahkan sebagai praktek politik praktis dari seluruh birokrat yang terlibat; serta lebih buruk lagi mobilisasi dan pelibatan pelajar di bawah usia memilih.

Moga-moga bukan pegawai negeri sipil (PNS) KK yang mengusung kain rentang itu. Kalau mereka PNS, rendah betul nilai profesionalismenya sebagai birokrat. Patut diteliti apakah mereka lulus pra jabatan atau tidak, karena sama sekali tak bisa membedakan loyalitas pada seragam dan lambang-lambang yang dikenakan lima hari setiap pekan hingga pensiun; dan loyalitas pada seseorang yang usia berkuasanya paling lama 10 tahun –dengan kemungkinan di tengah atau setelah masa jabatan masuk bui.

Kian hari cara berpikir dan bertindak sejumlah orang di KK semakin memuakkan. Tidakkah mereka menyadari hal-hal sepele seperti itu menunjukkan bahwa komponen-komponen penting pelayan publik, khususnya birokrasi, telah terkooptasi dan berlaku asal bapak senang. Di sisi lain, fenomena semacam kain rentang ‘’Lanjutkan’’ di HUT KK menunjukkan kepanikan Walikota yang tak lagi tahu cara mana yang elegan dan etis mengkampanyekan diri; mana yang tidak dan norak.

Politik adalah seni. Semakin berkelas seorang politikus, praktek-prakeknya memenangkan hati publik kian elegan dan tak terduga. Dan yang terpenting, mengundang kagum serta penghormatan.

Praktek model kain rentang itu adalah low level politic yang mengindikasikan visi dan misi politikus yang ‘’syur’’ digosok-gosok cara norak seperti itu cuma sebatas kursi yang didudukinya. Lain soal bila Walikota KK secara terbuka mengoreksi perentangan ‘’Lanjutkan’’ itu. Dia bukan hanya menunjukkan kelas pengetahuan etikanya, tetapi juga memenangkan kesadaran orang banyak (sesuatu yang amat berguna sebagai modal di 2013) terhadap kehormatannya sebagai pemimpin untuk semua.

Sembari turut bersuka-cita di HUT KK yang ke-5, saya berduka terhadap kesadaran Walikota dan orang-orang di sekitarnya serta para birokrat yang mencemari acara untuk semua orang dengan kepentingan politik murahan. Selamat HUT KK. Pada Bapak Walikota Yang Terhormat, jangan sampai lanjutkan itu menjadi tak beda dengan ‘’Trus... Trus….’’ dari Makatu, yang baru Anda sadari ketika sudah terjungkit dari kursi yang kini diduduki.***