Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, May 6, 2012

Mengapa Saya Mempertimbangkan Mendukung DjM? (2)

BOLEH dibilang, praktek politik dua kekuatan yang kini berhadapan menjelang Pilwako KK setali tiga uang. Sama kurang bermutunya. Ibarat udang dan katang, dua pihak ini merah belaka saat diceburkan ke pangganggan. Yang satu dan yang lain tidak lebih baik.

Karenanya, dengan alasan apa saya mesti marah terhadap mereka? Setelah bertahun-tahun mengkritik (dan memaki-maki), ada batas di mana saya tahu diri dan menyadari: Percuma bicara dengan pohon pisang. Hasilnya cuma capek dan bikin lapar.

Kalau pun ada alasan mendukung DjM, tersebab saya tidak suka melihat serombongan bandit mengeroyok seorang bandit. Sekali pun bandit, alangkah elegan bila siapa pun yang ingin menantang DjM, menggantikan dia sebagai Walikota KK berikut, melakukan dengan cara yang lebih bermartabat. Lebih baik dari orang yang akan digantikan. Minimal kalu mo ba ruci, nyanda perlu diumumkan ka seluruh dunia.

KK Sebagai Kasus Khusus

Memahami KK sesungguhnya tidaklah sulit. Sama mudahnya dengan melawan DjM. Memangnya apa prestasi luar biasa yang berhasil dia torehkan sebagai Walikota?

KK dengan wilayah yang tergolong kecil (dibanding empat kabupaten lain di Bolmong) dengan populasi besar yang berpendidikan, pendekatan ideal adalah yang rasional dan terbukti.  Terlebih sebagai daerah hasil pemekaran, KK adalah kasus khusus yang sejak awal menjadikan daerah ini mudah dikelolah.

Muhammad Salim Lanjar yang juga tengah bersiap turut berkompetisi di Pilwako 2013 punya pendapat yang patut saya puji. Menurut dia, ada tiga faktor yang sangat menguntungkan KK. Pertama, KK adalah daerah pemekaran di mana induknya yang berpindah, meninggalkan seluruh infrastruktur dan fasilitas yang siap digunakan. Fasilitas kesehatan terbaik, sekolah-sekolah terbaik, kantor-kantor cabang perbankan, pusat ekonomi, semuanya ada di KK. Bolmong sebagai induk justru mesti memulai dari nol di ibukota yang baru.

Kedua, sumber daya manusia (SDM) birokrasi KK adalah orang-orang pilihan. Dibanding tiga daerah pemekaran lain, KK yang lebih dahulu berdiri beruntung karena ketika itu Penjabat Walikotanya tak lain Sekretaris Daerah (Sekda) Bolmong, Rachmat Mokodongan. Otoritas yang dimiliki Sekda memudahkan dia mengalokasikan SDM-SDM terpilih (sebagian besar berusia muda) untuk mengurusi pemerintahan kota.

Ketiga, wilayah KK yang relatif kecil, seluruh akses terbuka, dengan alokasi Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) yang setara dengan empat daerah lain di Mongondow. Artinya, bila daerah lain harus memutar otak membangun infrastruktur dan fasilitas pemerintahan, juga demi pengembangan ekonomi dan kesejahteraan warganya, KK tinggal merenovasi, memaksimalkan, atau merevitalisasi infrastruktur dan fasilitas yang sebelumnya sudah tersedia.

Takarlah kinerja Walikota dan Wawali KK saat ini dengan tiga faktor itu, niscaya kita sependapat apa yang mereka capai maksimal C minus (-C), kalau bukan D. Bila mereka mampu memanfaatkan keunggulan bawaan KK, kota ini bukan hanya di atas kertas menjadi daerah pemekaran terbaik di Indonesia atau mimpi menerima Adipura, tetapi sudah bisa ‘’disulap’’ secara nyata memberikan dampak maksimal ekonomi dan sosial bagi Mongondow.

Prestasi terbesar pemerintahan KK saat ini adalah menggusur Pasar Serasi, membongkar Mesjid Baitul Makmur, membangun dua pasar yang kontruksinya amburadul di Genggulang dan Poyowa Kecil (kalau ada lulusan teknik sipil yang berani membantah pernyataan ini, saya tantang berkunjung bersama dan akan saya tempeleng kepalanya setelah itu), termasuk mengerahkan ‘’katanya’’ Dewan Adat demi kepentingan Walikota.

Prestasi lain, beberapa elit birokrasi KK duduk sebagai tersangka di pengadilan karena kasus penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS). Di sidang-sidang yang berlangsung, setidaknya yang saya ikuti dari media, Walikota dan Wakil Walikota juga disebut-sebut terlibat.

Politik Sebagai Fakta

Bagaimana dengan keseimbangan politik di Mongondow? Para politikus cerdas dan matang hanya akan berkonflik dengan alasan fundamental. Kompetisi mencapai jabatan publik atau posisi elit, seketat apa pun itu, dimaknai sebagai ujian efektivitas dan efisiensi kerja-kerja politik yang dilakukan di rentang waktu tertentu. Politik dengan logika dan prakteknya akan berjalan secara alamiah (hasilnya bisa memuaskan, dapat pula memuakkan) dan kontrol publik akan hadir berdampingan sebagai penyeimbang.

Saya percaya masih sangat banyak orang waras di Mongondow yang tidak silau dengan koneksi politik dan kekuasan.

Tapi bagaimana dengan bandul politik yang sekarang berpusat di KK? Di titik ini saya harus mengakui DjM terus-menerus berupaya menjaga konstituennya. Bahwa cara yang digunakan, pernyataan-pernyataan yang disampaikan, lebih banyak menurunkan simpati warga, menunjukkan sebagai politikus dia telah berhenti belajar (atau mungkin tidak pernah benar-benar belajar agar paripurna). Kabar baiknya: hanya dengan mengubah persepsi dan implementasi (sesuatu yang bukan mustahil dilakukan) di tingkat konstituen, DjM masih berpeluang memperpanjang jabatan ke masa jabatan kedua.

Memangnya tidak ada pesaing yang potensial mengalahkan DjM dengan telak?

Fakta politiknya DjM adalah Ketua PG KK dengan kursi yang memenuhi syarat mengusung calon Walikota-Wawali tanpa koalisi dengan partai lain. Demikian pula PAN yang jauh-jauh hari memastikan hanya akan menyodorkan satu nama, Tatong Bara.

Realitas itu tak bisa dinafikan, walau misalnya, tokoh-tokoh seperti Rachmat Mokodongan atau Ketua DPR Bolmong, Abdul Kadir Mangkat, menurut hemat saya lebih bernilai jual. Kendalanya, andai Rachmat Mokodongan bersedia mencalonkan diri, dia harus bersigegas mengumpulkan partai-partai di luar PG dan PAN (problem yang sama juga dihadapi kandidat lain memastikan keikutsertannya, Muhammad Salim Lanjar). Deal dengan satu partai saja cukup menguras energi dan memeningkan kepala, apalagi tiga-empat partai. Sebaliknya, Abdul Kadir Mangkat terhalang etika dan sopan-santun internal PG; serta –yang terpenting-- tekad DjM mempertahankan jabatannya.

Berharap Parpol di KK pro aktif dan menjadikan pancalonan Walikota-Wawali sebagai peluang menemukan pemimpin yang mampu dorong pembangunan kota secara maksimal, masih sebatas mimpi. Apa boleh buat, sembari menunggu opsi yang lebih baik, saya serius mempertimbangkan mendukung DjM. Tentu kalau dia ingin berubah. Kalau tidak, menunggu lima tahun lagi bukan masalah.

Saya bisa bahagia menjadi tukang kritik siapa pun yang terpilih menjadi Walikota-Wawali KK berikut.***