Bila kondisi kesehatan sedang baik, tekanan darah stabil,
gula darah normal dan berkenan, bacalah surat ini. Bila ada di antara
aspek-aspek itu yang tidak semestinya, lupakan saja. Mungkin di lain hari saya
akan menulis lagi.
Pak Bupati, yang selalu dan tetap saya hormati –terutama
sebagai pribadi--, apa yang dituliskan di sini sangat tidak nyaman dan pasti
membangkitkan ketidak-senangan dan amarah Anda. Saya bukan tidak peduli; tapi
apa boleh buat, sudah waktunya ada yang menyampaikan segala yang pahit dengan
sejelas-jelas dan segamblang-gamblangnya.
Lame Duck
Begini, Pak Bupati, ketika orang-orang bersikukuh ingin
mencalonkan Anda di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bolmong lalu; saya
satu-satunya yang menentang Anda diusung sebagai calon Bupati. Pertimbangannya, jabatan politik untuk Salihi Mokodongan yang secara ekonomi dan usia telah
mapan, lebih sebagai prestise ketimbang mencapai visi tertentu yang besar dan
agung. Terlebih Anda tidak punya pengalaman memadai di bidang politik dan
pemerintahan.
Saya setuju bila Anda dicalonkan sebagai Wakil Bupati
(Wabup), berpasangan dengan seseorang yang minimal bila tak paham seluk-beluk
dan detil pemerintahan, maka punya pengetahuan dan kefasihan berpolitik.
Tapi dalam satu pertemuan di Hotel Sahid Jakarta, berbekal
hasil survei popularitas dan elektibitas para bakal calon Bupati dan Wabup
Bolmong, saya benar-benar kalah suara. Pertimbangan-pertimbangan yang saya
sampaikan majal, didebat dan mati-matian dimentahkan, bahkan oleh Ismail Dahab
(salah seorang adik yang sejak awal bekerja menyiapkan Anda ke Pilkada
Bolmong).
Hasil proses demokrasi sering tidak memuaskan, tapi harus
dijunjung. Itu yang saya lakukan: turut mengawal (Anda tentu akan marah bila
saya mengklaim pernah melakukan sesuatu yang berarti –kita semua tahu kerja
politik hanya urusan mulut dan bicara. Untuk satu hal ini, buat saya bukan
pekerjaan tapi kesenangan).
Karena hanya mengawal, setelah Anda dan Yani Tuuk terpilih
dan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan dari para pesaing; saya menyadari
sudah waktunya menarik diri. Apalagi di saat itu Anda dan istri (yang telah
resmi menjadi Ibu Bupati), dengan cepat berubah hingga saya nyaris tidak
mengenal lagi Papa Da’a yang baru beberapa waktu sebelumnya saya kenal sebagai
sosok bersahaja.
Anda shock begitu
tahu betapa luar biasanya jadi Bupati. Orang-orang berdatangan, bukan hanya
ingin menyelamati, tetapi hadir dengan puji-pujian dan sanjungan. Anda terbuai,
Pak Bupati, hingga beberapa orang yang sebelumnya mencaci di depan dan di
belakang Anda, tiba-tiba menjadi orang dekat dengan kekuasaan luar biasa.
Seorang Linda Lahamesang, misalnya, mendadak menjadi pengatur ini-itu atas
(mohon maaf) jaminan Ibu Bupati.
Tahukah Anda, Pak Bupati, banyak hal yang dilakukan
orang-orang itu yang bukan hanya keliru, tapi mempermalukan Anda sebagai
Bupati. Yang terakhir, yang tiba di telingga saya yang jauh dari Mongondow ini,
adalah Anda menggunakan lambang-lambang di tempat yang salah ‘’konon’’ karena advise dari orang-orang yang Anda
‘’pelihara’’ dan dengarkan itu.
Miris saya mendengar dan mengetahui sebagai Bupati, Anda
diperlakukan tidak lebih dari boneka oleh seseorang yang bahkan bagi banyak
orang sama sekali tidak diperhitungkan. Musababnya (dan ini harus saya
sampaikan dengan permohonan maaf pula), Istri Anda terlampau banyak menerabas
dan ikut campur terhadap urusan yang semestinya tidak ada di tangannya.
Kekuasaan super
Linda Lahamesang, yang hanya staf Sespri Bupati –atas nama
siapakah dia berhak men-skors atau menempeleng Satuan Polisi Pamong Praja atau
menyematkan pin Garuda di kerah baju suaminya yang tenaga honorer di rumah dinas
Bupati?--, sepengatahuan saya tidak lepas dari restu Ibu Bupati. Tidak banyak
di antara kita yang siap menghadapi mulut manis berlidah panjang dengan
kata-kata bagai mutiara. Sebab itu saya menuliskan ini untuk mengingatkan Anda,
Pak Bupati, dan kita semua.
Mencintai, menghormati, mendengarkan, dan mematuhi istri
adalah puncak ekspresi seorang suami. Tapi mencampur-adukkan wilayah yang
menjadi urusan publik (yang bila salah bahkan dapat menyeret Anda ke bui) dan
relasi domestik, menunjukkan sebagai pemimpin Anda sama sekali tidak berdaya. Just like a lame duck.
Jadi, Pak Bupati, tolong ingatkan dan kontrol sepak-terjang
Ibu Bupati (yang tidak akan saya rinci satu per satu), lalu ambil tindakan
tegas (singkirkan benalu dan cacing pita di sekitar Anda). Gantilah dengan
orang-orang yang lebih bermartabat dan mampu menjaga Anda, sekali pun mereka
mungkin tidak suka menyanjung-nyanjung dan memuji. Dengan melakukan itu, lebih
50 persen masalah kepemimpinan dan citra sebagai Bupati telah Anda selesaikan.
Memilih Nakhoda
Bagaimana dengan birokasi dan pemerintahan Bolmong setelah rolling eselon II beberapa waktu lalu?
Pak Bupati, saya tidak akan mengungkit-ungkit sesuatu yang sudah diputuskan;
apalagi mempersalahkan. Apa hak saya?
Untuk masalah ini, saya ingin mengingatkan satu ketika di
tengah proses pencalonan Pilkada Bolmong, kita pernah membicarakan bagaimana
dengan sederhana birokrasi dan pemerintahan serta sumber daya manusia (SDM) dan
sumber daya lainnya dimaksimalkan. Ketika itu saya mengandaikan seperti Anda
memanej armada kapal ikan (yang memang Anda pahami hingga ke detil-detil
terkecilnya).
Setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tak beda dengan
satu unit kapal penangkap ikan yang memerlukan nakhoda, kepala kamar mesin,
juru mudi, juru mesin, juru tangkap, dan koki. Gantikan kata nakhoda dengan
Kepala SKPD dan seterusnya, seketika Anda akan menemukan bahwa manajemen itu
perkara yang sesungguhnya dikuasai dan praktekkan bertahun-tahun.
Bila Anda memerlukan seorang nakhoda, Anda tahu dia memang
mampu memimpin kapal penangkap dan (yang terpenting): memegang teguh
kepercayaan dan loyal. Apakah pertimbangan-pertimbangan seperti itu sudah digunakan
saat Pak Bupati memilih para pembantu, eselon II yang baru saja diangkat?
Yang saya lihat sebagian besar keliru. Ada yang sesungguhnya
cuma pantas jadi juru mudi, Anda dudukkan sebagai nakhoda. Ada yang semestinya
jadi koki, Anda tunjuk sebagai juru mesin. Di atas kapal dengan kekacauan
kompetensi, apakah pantas berharap seluruh awak bakal kembali dengan selamat dengan
membawa hasil tangkapan maksimal?
Yang Terhormat Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, tidak
pernah ada kata terlambat. Selalu ada cara untuk memperbaiki kekeliruan dan
kerusakan yang terlanjur terjadi. Saran saya: Temukan dan dapatkan itu dari
orang-orang yang nothing to lose.
Anda tahu di mana menemukan mereka. Mereka masih ada, hanya cukup lama Anda
telah melupakan dan meninggalkan mereka.
Akan halnya saya, setelah Anda membaca surat ini, pasti ada
kemarahan dan kebencian tak terperih. Sebab itu, dengan takzim saya sampaikan:
Saya tidak peduli. Yang jelas saya menulis ini dengan perasaan sayang dan
hormat; serta dengan harapan Anda menjadi salah seorang Bupati Bolmong yang
dicatat dalam sejarah. Bukan sekadar orang mujur yang kebetulan terpilih
sebagai Bupati dan berakhir tidak lebih dan kurang sebagai mantan di catatan
kaki sejarah Bolmong.
Semoga Tuhan selalu menyertai Anda, juga keluarga Anda, Pak
Bupati.***