PEPERANGAN di
HBO, Age of Heroes, seketika
terhenti, Ahad (29 April 2012), ketika telepon saya berdering dan nama Bupati
Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, berkedip-kedip di sana.
Dikontak oleh Eyang –demikian saya menyapanya— selalu sebuah kehormatan, lebih
dari sekadar petanda saya menjadi sahabat dan saudaranya.
Saya menyukai cerita-cerita dan tawanya yang lepas dan tak
dibuat-buat. Sebagai politikus, apalagi dengan jabatan Bupati, Eyang tak
kehilangan sifat alamiahnya. Dia tetap orang yang tidak kaget dengan jabatan
(frasa yang suka dia katakan, ‘’Eh, kita
ini Bupati!’’, lebih sebagai anekdot ketimbang pernyataan serius --terlebih
itu hanya diucapkan di kalangan yang dia tahu dekat dengannya).
Salah satu yang kemudian kami percakapkan adalah tulisan
Amato Assagaf yang dipublikasi Harian Radar
Totabuan, yang kemudian saya komentari di blog ini. Buat Eyang, bagian yang paling dia sukai adalah kalimat
terakhir dari tulisan Ekosistem ‘’Makang
Puji’’ Politikus Bolmong. Dia mengomentari itu dengan tawa panjang yang
membuat Minggu siang saya sungguh cerah.
Yang kemudian menjadi serius adalah harapan Eyang agar dia
selalu dikritik dan dikontrol. Jangan sampai dia tampak konyol di depan orang
banyak semata-mata karena semua masyuk memuji. Lupa bahwa setinggi apa pun
jabatan seseorang, dia tetap manusia biasa dengan segala khilaf dan potensi
kebodohan manusiawi.
Keinginan itu seperti ‘’buku ketemu ruas’’ atau sebaliknya.
Terhadap mereka yang meradang dikritik saja saya melakukan dengan tidak peduli,
lalu apa alasannya untuk tidak terhadap Eyang yang membuka diri seluas-luas dan
selebar-lebarnya. Saya tidak akan segan mengkritik bila dia sudah keluar dari
rel, apalagi bertingkah seperti beberapa elit politik Bolaang Mongondow
(Bolmong) yang mirip badut tak lucu. Sekali pun demikian, saya harus
menyampaikan: Di antara banyak politikus Bolmong yang saya kenal dan menjadi
kawan, Eyang adalah salah-satu (dari amat sangat sedikit) politikus yang dengan
bangga saya klaim sebagai sahabat dan saudara.
Saya akan mengisahkan hubungan dengan Eyang –yang membuat
saya menyimpulkan dia adalah sahabat dan saudara dalam pengertian utuh-- di
tulisan yang lain. Untuk kali ini, yang dapat ditegaskan adalah: Saya telah
bertekad akan beriringan dengan dia semampu dan sebisa saya, hari ini dan di
masa depan yang belum terdifinisikan kapannya.
DPR ‘’Biongo’’
Percakapan penuh canda dengan Eyang di Ahad siang itu masih
berkesiuran di benak ketika saya menerima email dari seorang kawan pada Senin pagi
(30 April 2012). Email itu tanpa pengantar atau basi-basi apa pun kecuali dua
berita yang dipublikasi Harian Radar
Totabuan, masing-masing Dekab Boltim
Polisikan Wartawan: Keberatan Atas Pemberitaan (Sabtu, 28 April 2012) dan DPRD Boltim Terancam Pidana: Laporkan
Wartawan Tuai Serangan Balik (Senin, 30 Aptil 2012).
DPR Boltim sebagai institusi, lewat Badan Kehormatan (BK)
melaporkan wartawan Radar Totabuan,
Mawardi Mamonto, SH, ke Polsek Urban Kotabunan, tentu bukan sekadar iseng dan
cari sensasi. Masalahnya, laporan itu tersebab DPR Boltim ‘’tersinggung’’
pemberitaan yang ditulis sang wartawan, yang dipublikasi 18 April 2012, berkenaan
dengan perjalanan dinas yang mereka lakukan. Apalagi dibumbui kritik bahwa
perjalanan-perjalanan itu demi ‘’uang lebih’’ untuk menutup hutang anggota DPR
yang telah menggadaikan Surat Keputusan (SK) mereka ke bank.
Laporan ke polisi itu substansinya bukan karena Mawardi
Mamonto menulis berita yang tidak benar, melainkan karena isinya membuat
tersinggung. Di komunitas sekitar rumah ayah saya di Jalan Amal,
ketersinggungan seperti itu hanya diolok sebagai pelanggaran Pasal ‘’P’’. Pasal
perasaan.
Sesungguhnya Radar
Totabuan terus menindak-lanjuti pemberitaannya, termasuk memuat bantahan
dari anggota DPR Boltim di edisi 19 April 2012 (Tak Benar DPRD Akal-Akalan). Dengan pemberitaan ini, apalagi yang
harus dipermasalahkan? DPR Boltim dan
para anggotanya, lebih khusus BK, semestinya khatam dengan UU Pers Nomor 40
Tahun 1999. Kalau pun tidak tahu persis, apa susahnya men-download UU ini, mempelajari, dan kemudian mengambil tindakan yang
semestinya.
Kalau jendela pengetahuan masih tetap tertutup, undang ahli
hukum dan praktisi media berdiskusi, memberi masukan dan saran. Bukankah cara
ini tidak berbeda dengan bimbingan teknis (Bimtek) yang biasanya dilakukan oleh
anggota DPR. Dengan begitu langkah-langkah yang diambil tidak bertabrakan
dengan UU dan mekanisme pendukungnya, yang pada akhirnya hanya menambah coreng
di jidat anggota dewan.
Di sisi lain, sejak pers Indonesia lepas dari tekanan dan
cengkraman Orde Baru, harus diakui profesi ini melahirkan praktek jurnalistik
aneka rupa: mulai dari yang profesional, etis, dan berkualitas hingga sekadar
sebagai tukang gonggong yang lebih banyak menulis duga-duga dan spekulasi yang
jauh dari panduan paling dasar jurnalistik (5W + 1H). Tapi Radar Totabuan bukanlah media yang sekadar terbit. Harian ini
setiap hari menyapa pembacanya. Punya kantor di Kotamobagu. Menjadi bagian dari
jaringan media besar dengan standar yang dipublikasi secara terbuka (lepas dari
apakah standar itu dipatuhi dengan ketat atau tidak).
Dengan memahami UU Pers dan fakta-fakta tentang Radar Totabuan dan pemberitaan yang jadi
musabab perkara, menurut hemat saya tidak ada satu alasan pun yang masuk akal
perihal laporan BK DPR Boltim ke Polsek Urban Kotabunan. Kecuali, DPR Boltim
lewat BK-nya, ingin menunjukkan kualitas sejumlah anggotanya memang hanya dapat
didefinisikan dengan satu kata: biongo!
Lucunya, polisi juga merespons dengan bakal memanggil
Mawardi sebagaimana yang disampaikan Kapolsek Kompol Hamdi Lobangon. Kenapa
Mawardi yang mesti dipanggil? Dia adalah wartawan yang boleh menulis apa saja,
tapi dicetak atau tidak harus melewati tahap berjenjang di Radar Totabuan, di mana penanggungjawab tertingginya adalah
Pemimpin Redaksi. Pak Kapolsek, polisi sudah terlampau banyak dikritik dan
dicaci, tidak perlu ditambah lagi dengan mengurusi hal-hal yang kita tahu
bersama masih berada di ranah Dewan Pers.
Janganlah polisi pura-pura tidak paham hukum kemudian
ikut-ikutan bertingkah bodoh seperti BK DPR Boltim.
DPR Boltim sendiri, saya sarankan temuilah Bupati Sehan
Lanjar. Mohon tausiah dari Eyang bagaimana pentingnya kontrol dan kritik media;
bagaimana menghadapi para wartawan; dan yang terpenting bagaimana seorang politikus
yang punya jabatan publik (seperti anggota DPR) tampil cerdas dan berkelas. Atau
minimal kalau tidak cerdas, ya, masih berkelaslah.***