Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 2, 2012

Pasal ''P'' DPR ''Biongo''

PEPERANGAN di HBO, Age of Heroes, seketika terhenti, Ahad (29 April 2012), ketika telepon saya berdering dan nama Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, berkedip-kedip di sana. Dikontak oleh Eyang –demikian saya menyapanya— selalu sebuah kehormatan, lebih dari sekadar petanda saya menjadi sahabat dan saudaranya.

Saya menyukai cerita-cerita dan tawanya yang lepas dan tak dibuat-buat. Sebagai politikus, apalagi dengan jabatan Bupati, Eyang tak kehilangan sifat alamiahnya. Dia tetap orang yang tidak kaget dengan jabatan (frasa yang suka dia katakan, ‘’Eh, kita ini Bupati!’’, lebih sebagai anekdot ketimbang pernyataan serius --terlebih itu hanya diucapkan di kalangan yang dia tahu dekat dengannya).

Salah satu yang kemudian kami percakapkan adalah tulisan Amato Assagaf yang dipublikasi Harian Radar Totabuan, yang kemudian saya komentari di blog ini. Buat Eyang, bagian yang paling dia sukai adalah kalimat terakhir dari tulisan Ekosistem ‘’Makang Puji’’ Politikus Bolmong. Dia mengomentari itu dengan tawa panjang yang membuat Minggu siang saya sungguh cerah.

Yang kemudian menjadi serius adalah harapan Eyang agar dia selalu dikritik dan dikontrol. Jangan sampai dia tampak konyol di depan orang banyak semata-mata karena semua masyuk memuji. Lupa bahwa setinggi apa pun jabatan seseorang, dia tetap manusia biasa dengan segala khilaf dan potensi kebodohan manusiawi.

Keinginan itu seperti ‘’buku ketemu ruas’’ atau sebaliknya. Terhadap mereka yang meradang dikritik saja saya melakukan dengan tidak peduli, lalu apa alasannya untuk tidak terhadap Eyang yang membuka diri seluas-luas dan selebar-lebarnya. Saya tidak akan segan mengkritik bila dia sudah keluar dari rel, apalagi bertingkah seperti beberapa elit politik Bolaang Mongondow (Bolmong) yang mirip badut tak lucu. Sekali pun demikian, saya harus menyampaikan: Di antara banyak politikus Bolmong yang saya kenal dan menjadi kawan, Eyang adalah salah-satu (dari amat sangat sedikit) politikus yang dengan bangga saya klaim sebagai sahabat dan saudara.

Saya akan mengisahkan hubungan dengan Eyang –yang membuat saya menyimpulkan dia adalah sahabat dan saudara dalam pengertian utuh-- di tulisan yang lain. Untuk kali ini, yang dapat ditegaskan adalah: Saya telah bertekad akan beriringan dengan dia semampu dan sebisa saya, hari ini dan di masa depan yang belum terdifinisikan kapannya.

DPR ‘’Biongo’’

Percakapan penuh canda dengan Eyang di Ahad siang itu masih berkesiuran di benak ketika saya menerima email dari seorang kawan pada Senin pagi (30 April 2012). Email itu tanpa pengantar atau basi-basi apa pun kecuali dua berita yang dipublikasi Harian Radar Totabuan, masing-masing Dekab Boltim Polisikan Wartawan: Keberatan Atas Pemberitaan (Sabtu, 28 April 2012) dan DPRD Boltim Terancam Pidana: Laporkan Wartawan Tuai Serangan Balik (Senin, 30 Aptil 2012).

DPR Boltim sebagai institusi, lewat Badan Kehormatan (BK) melaporkan wartawan Radar Totabuan, Mawardi Mamonto, SH, ke Polsek Urban Kotabunan, tentu bukan sekadar iseng dan cari sensasi. Masalahnya, laporan itu tersebab DPR Boltim ‘’tersinggung’’ pemberitaan yang ditulis sang wartawan, yang dipublikasi 18 April 2012, berkenaan dengan perjalanan dinas yang mereka lakukan. Apalagi dibumbui kritik bahwa perjalanan-perjalanan itu demi ‘’uang lebih’’ untuk menutup hutang anggota DPR yang telah menggadaikan Surat Keputusan (SK) mereka ke bank.

Laporan ke polisi itu substansinya bukan karena Mawardi Mamonto menulis berita yang tidak benar, melainkan karena isinya membuat tersinggung. Di komunitas sekitar rumah ayah saya di Jalan Amal, ketersinggungan seperti itu hanya diolok sebagai pelanggaran Pasal ‘’P’’. Pasal perasaan.

Sesungguhnya Radar Totabuan terus menindak-lanjuti pemberitaannya, termasuk memuat bantahan dari anggota DPR Boltim di edisi 19 April 2012 (Tak Benar DPRD Akal-Akalan). Dengan pemberitaan ini, apalagi yang harus dipermasalahkan?  DPR Boltim dan para anggotanya, lebih khusus BK, semestinya khatam dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Kalau pun tidak tahu persis, apa susahnya men-download UU ini, mempelajari, dan kemudian mengambil tindakan yang semestinya.

Kalau jendela pengetahuan masih tetap tertutup, undang ahli hukum dan praktisi media berdiskusi, memberi masukan dan saran. Bukankah cara ini tidak berbeda dengan bimbingan teknis (Bimtek) yang biasanya dilakukan oleh anggota DPR. Dengan begitu langkah-langkah yang diambil tidak bertabrakan dengan UU dan mekanisme pendukungnya, yang pada akhirnya hanya menambah coreng di jidat anggota dewan.

Di sisi lain, sejak pers Indonesia lepas dari tekanan dan cengkraman Orde Baru, harus diakui profesi ini melahirkan praktek jurnalistik aneka rupa: mulai dari yang profesional, etis, dan berkualitas hingga sekadar sebagai tukang gonggong yang lebih banyak menulis duga-duga dan spekulasi yang jauh dari panduan paling dasar jurnalistik (5W + 1H). Tapi Radar Totabuan bukanlah media yang sekadar terbit. Harian ini setiap hari menyapa pembacanya. Punya kantor di Kotamobagu. Menjadi bagian dari jaringan media besar dengan standar yang dipublikasi secara terbuka (lepas dari apakah standar itu dipatuhi dengan ketat atau tidak).

Dengan memahami UU Pers dan fakta-fakta tentang Radar Totabuan dan pemberitaan yang jadi musabab perkara, menurut hemat saya tidak ada satu alasan pun yang masuk akal perihal laporan BK DPR Boltim ke Polsek Urban Kotabunan. Kecuali, DPR Boltim lewat BK-nya, ingin menunjukkan kualitas sejumlah anggotanya memang hanya dapat didefinisikan dengan satu kata: biongo!

Lucunya, polisi juga merespons dengan bakal memanggil Mawardi sebagaimana yang disampaikan Kapolsek Kompol Hamdi Lobangon. Kenapa Mawardi yang mesti dipanggil? Dia adalah wartawan yang boleh menulis apa saja, tapi dicetak atau tidak harus melewati tahap berjenjang di Radar Totabuan, di mana penanggungjawab tertingginya adalah Pemimpin Redaksi. Pak Kapolsek, polisi sudah terlampau banyak dikritik dan dicaci, tidak perlu ditambah lagi dengan mengurusi hal-hal yang kita tahu bersama masih berada di ranah Dewan Pers.

Janganlah polisi pura-pura tidak paham hukum kemudian ikut-ikutan bertingkah bodoh seperti BK DPR Boltim.

DPR Boltim sendiri, saya sarankan temuilah Bupati Sehan Lanjar. Mohon tausiah dari Eyang bagaimana pentingnya kontrol dan kritik media; bagaimana menghadapi para wartawan; dan yang terpenting bagaimana seorang politikus yang punya jabatan publik (seperti anggota DPR) tampil cerdas dan berkelas. Atau minimal kalau tidak cerdas, ya, masih berkelaslah.***