Tak salah bila subyek yang ‘’ditabrak’’ tulisan saya,
kerabat, teman atau sekadar kenalan menyimpan murka dan –andai bisa— siap
melayangkan tinju. Namun sebelum menjadi tarung fisik, sukar dibantah: Saya
hanya menulis isu yang berkaitan dengan hajat-hidup orang banyak dan
tokoh-tokoh yang terlibat dan bertanggungjawab.
Ada batas api yang pantang dilewati. Selama ini garis itu
saya jaga ketat. Berbeda pendapat dengan mantan Bupati Bolmong, Marlina
Moha-Siahaan, misalnya, tidak membuat anggota keluarganya –kecuali mereka yang
menceburkan diri ke tengah ketidak-sepahaman-- turut diseret-seret.
Saya bersyukur hingga almarhum suami mantan Bupati
Moha-Siahaan, Kudji Moha, berpulang, hubungan kami tetap sangat baik. Demikian
pula putra mereka, Didi Moha. Mereka mampu membedakan urusan yang jadi domain
umum dan hubungan-hubungan pribadi; walau barangkali melahirkan
kepahitan-kepahitan sendiri.
Menyerang Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik
Mokodompit, juga dilokalisir hanya yang berkaitan dengan hajat-hidup orang
banyak, lebih khusus janji-janji dan pernyataannya. Toh tidak ada alasan saya harus tak sependapat dengan Djelantik
sebagai pribadi. Bahwa saya juga pernah dengan kejam mengkritik putranya yang
anggota DPR Sulawesi Utara (Sulut), Razki Mokodompit, tak lepas dari posisi dan
tanggungjawab publiknya.
Sikap membedakan pribadi dan jabatan publik itu juga saya makmumi,
katakanlah ketika mengkritik Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan
Lanjar; Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu; Bupati
Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Hamdan Datunsolang; atau –yang
terakhir—Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan. Dalam koteks Bupati Bolmong ada
kritik yang sama pedasnya terhadap Ibu Bupati, sebab dari sisi kepentingan
publik sudah saatnya yang bersangkutan ditegur setegas-tegasnya.
Mengkritik keras, apalagi mencaci, semata karena punya kemampuan
dan ketrampilan menulis –terlebih dengan motif yang bersifat sangat pribadi dan
politicking— adalah perilaku biadab
yang tidak bertanggungjawab.
Diluar kepentingan publik, jangankan menulis tentang istri,
anak atau kerabat Bupati/Walikota di Mongondow; terhadap Bupati dan Walikota
pun saya haramkan. Selain tulisan jenis itu melanggar etika, potensi menjadi
masalah hukum (pidana dan perdata) mengangga lebar, yang paling sederhana
perbuatan tidak menyenangkan atau pencemaran nama baik.
***
Artikel di Radar Totabuan, Senin-Selasa (14-15 Mei 2012), Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’
(1 dan 2), jelas melanggar batas api.
Saya sudah menuliskan di O, Cuma
Proklamasi Orang-Orang Bermartabat Receh (1 dan 2), dengan harapan si
penulis menyadari dua hal fundamental yang dia langgar: Pertama, keseluruhan artikel itu hanya ‘’memaki-maki’’ saya sebagai
pribadi, bukan ide apalagi kepentingan kontrol publik secara umum. Kutipan-kutipan
tulisan saya yang dijadikan dasar juga jauh dari komprehensif dan dipelintir
sesukanya.
Kedua, apa yang
saya lakukan dikait-kaitkan demi kepentingan kerabat terdekat (Kakak Ipar dan
adik kandung), yang sudah jadi pengetahuan umum selama ini justru menjadi
korban langsung dan tidak langsung dari sikap kritis saya. Terlampau murah
pengorbanan yang mereka pikul bertahun-tahun kalau hanya ditukar dengan jabatan
birokrasi di Bolmong, terlebih Bupatinya adalah Salihi Mokodongan (tanpa perlu
merendahkan diri mudah bagi saya meminta jabatan untuk dua kerabat itu).
Saya marah membaca artikel itu. Namun, kata-kata harus
dibalas dengan kata-kata dan itu sudah saya dituliskan dengan menahan diri,
sebab hanya dengan membaca tiga alinea pertama Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1 dan 2) saya sesungguhnya langsung tahu siapa si penulis.
Begini pembaca, bagaimana saya mengetahui A. R. Thomas hanya
sebuah nama, sebagian kecil sudah saya jelaskan di O, Cuma Proklamasi Orang-Orang Bermartabat Receh (1 dan 2). Yang
belum diungkap adalah saya punya artikel pembanding yang keidentikannya dari
segala aspek 100 persen menunjuk ke seseorang yang saya tahu persis
kualitasnya. Bukan penulis, hanya orang yang bermodal satu-dua kata eksotis tapi
sudah merasa hebat (bahkan tunjung jago)
dalam tulis-menulis.
***
Apa yang berbahaya dari menulis dan mempublikasikannya di
media massa? Pertama, setiap tulisan
adalah rekam jejak yang dapat ditelusuri. Hanya dengan memperbandingkan rekam
jejak itu, seorang analis yang baik dan berpengalaman dengan cepat mengetahui
satu tulisan ditulis oleh siapa.
Kedua, di media
cetak (khususnya koran, tabloid dan majalah) selalu ada klausal artikel (utamanya
opini) yang ditulis bukan oleh jurnalisnya (by
line) harus disertai tanda pengenal dan identitas lengkap penulisnya. Media
tidak berani ceroboh memuat tulisan opini, apalagi yang bakal mengundang
reaksi umum dengan mengabaikan aspek penting ini.
Ketiga, media
wajib melindungi sumber beritanya apabila informasi yang disampaikan
berkonsekwensi terhadap keselamatan jiwanya. Artikel Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1 dan 2) bukanlah berita. Kalau pun sebagai satu bentuk opini atau
informasi ke publik, yang ditulis bukanlah rahasia yang berpotensi mengancam keselamatan
sang penulis.
Dengan menganalisis tulisan yang mencaci itu, saya tahu siapa
penulisnya. Kalau masih kurang yakin, sebagai subyek dari tulisan, saya dapat
memastikan dengan menelepon atau menulis email ke Pemimpin Redaksi Radar Totabuan, meminta redaksi membuka
identitas si penulis. Saya yakin redaksi dengan senang hati memberikan
konfirmasi, sebab: Tulisan itu adalah artikel opini di mana tanggungjawab sepenuhnya berada di tangan penulis,
bukan tergolong isu yang bisa membahayakan keselamatan penulisnya, dan karena
saya adalah subyek yang ditunjuk langsung.(Bersambung)