Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, May 22, 2012

Motif Culas dan Batas Api (1)

PANTASKAH orang-orang marah karena isu-isu yang saya tulis, kritik, cemooh dan (kadang-kadang) caci berkaitan dengan Mongondow?

Tak salah bila subyek yang ‘’ditabrak’’ tulisan saya, kerabat, teman atau sekadar kenalan menyimpan murka dan –andai bisa— siap melayangkan tinju. Namun sebelum menjadi tarung fisik, sukar dibantah: Saya hanya menulis isu yang berkaitan dengan hajat-hidup orang banyak dan tokoh-tokoh yang terlibat dan bertanggungjawab.

Ada batas api yang pantang dilewati. Selama ini garis itu saya jaga ketat. Berbeda pendapat dengan mantan Bupati Bolmong, Marlina Moha-Siahaan, misalnya, tidak membuat anggota keluarganya –kecuali mereka yang menceburkan diri ke tengah ketidak-sepahaman-- turut diseret-seret.

Saya bersyukur hingga almarhum suami mantan Bupati Moha-Siahaan, Kudji Moha, berpulang, hubungan kami tetap sangat baik. Demikian pula putra mereka, Didi Moha. Mereka mampu membedakan urusan yang jadi domain umum dan hubungan-hubungan pribadi; walau barangkali melahirkan kepahitan-kepahitan sendiri.

Menyerang Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, juga dilokalisir hanya yang berkaitan dengan hajat-hidup orang banyak, lebih khusus janji-janji dan pernyataannya. Toh tidak ada alasan saya harus tak sependapat dengan Djelantik sebagai pribadi. Bahwa saya juga pernah dengan kejam mengkritik putranya yang anggota DPR Sulawesi Utara (Sulut), Razki Mokodompit, tak lepas dari posisi dan tanggungjawab publiknya.

Sikap membedakan pribadi dan jabatan publik itu juga saya makmumi, katakanlah ketika mengkritik Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar; Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu; Bupati Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Hamdan Datunsolang; atau –yang terakhir—Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan. Dalam koteks Bupati Bolmong ada kritik yang sama pedasnya terhadap Ibu Bupati, sebab dari sisi kepentingan publik sudah saatnya yang bersangkutan ditegur setegas-tegasnya.

Mengkritik keras, apalagi mencaci, semata karena punya kemampuan dan ketrampilan menulis –terlebih dengan motif yang bersifat sangat pribadi dan politicking— adalah perilaku biadab yang tidak bertanggungjawab.

Diluar kepentingan publik, jangankan menulis tentang istri, anak atau kerabat Bupati/Walikota di Mongondow; terhadap Bupati dan Walikota pun saya haramkan. Selain tulisan jenis itu melanggar etika, potensi menjadi masalah hukum (pidana dan perdata) mengangga lebar, yang paling sederhana perbuatan tidak menyenangkan atau pencemaran nama baik.

***

Artikel di Radar Totabuan, Senin-Selasa (14-15 Mei 2012), Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1 dan 2), jelas melanggar batas api. Saya sudah menuliskan di O, Cuma Proklamasi Orang-Orang Bermartabat Receh (1 dan 2), dengan harapan si penulis menyadari dua hal fundamental yang dia langgar: Pertama, keseluruhan artikel itu hanya ‘’memaki-maki’’ saya sebagai pribadi, bukan ide apalagi kepentingan kontrol publik secara umum. Kutipan-kutipan tulisan saya yang dijadikan dasar juga jauh dari komprehensif dan dipelintir sesukanya.

Kedua, apa yang saya lakukan dikait-kaitkan demi kepentingan kerabat terdekat (Kakak Ipar dan adik kandung), yang sudah jadi pengetahuan umum selama ini justru menjadi korban langsung dan tidak langsung dari sikap kritis saya. Terlampau murah pengorbanan yang mereka pikul bertahun-tahun kalau hanya ditukar dengan jabatan birokrasi di Bolmong, terlebih Bupatinya adalah Salihi Mokodongan (tanpa perlu merendahkan diri mudah bagi saya meminta jabatan untuk dua kerabat itu).

Saya marah membaca artikel itu. Namun, kata-kata harus dibalas dengan kata-kata dan itu sudah saya dituliskan dengan menahan diri, sebab hanya dengan membaca tiga alinea pertama Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1 dan 2) saya sesungguhnya langsung tahu siapa si penulis.

Begini pembaca, bagaimana saya mengetahui A. R. Thomas hanya sebuah nama, sebagian kecil sudah saya jelaskan di O, Cuma Proklamasi Orang-Orang Bermartabat Receh (1 dan 2). Yang belum diungkap adalah saya punya artikel pembanding yang keidentikannya dari segala aspek 100 persen menunjuk ke seseorang yang saya tahu persis kualitasnya. Bukan penulis, hanya orang yang bermodal satu-dua kata eksotis tapi sudah merasa hebat (bahkan tunjung jago) dalam tulis-menulis.

***

Apa yang berbahaya dari menulis dan mempublikasikannya di media massa? Pertama, setiap tulisan adalah rekam jejak yang dapat ditelusuri. Hanya dengan memperbandingkan rekam jejak itu, seorang analis yang baik dan berpengalaman dengan cepat mengetahui satu tulisan ditulis oleh siapa.

Kedua, di media cetak (khususnya koran, tabloid dan majalah) selalu ada klausal artikel (utamanya opini) yang ditulis bukan oleh jurnalisnya (by line) harus disertai tanda pengenal dan identitas lengkap penulisnya. Media tidak berani ceroboh memuat tulisan opini, apalagi yang bakal mengundang reaksi umum dengan mengabaikan aspek penting ini.

Ketiga, media wajib melindungi sumber beritanya apabila informasi yang disampaikan berkonsekwensi terhadap keselamatan jiwanya. Artikel Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1 dan 2) bukanlah berita. Kalau pun sebagai satu bentuk opini atau informasi ke publik, yang ditulis bukanlah rahasia yang berpotensi mengancam keselamatan sang penulis.

Dengan menganalisis tulisan yang mencaci itu, saya tahu siapa penulisnya. Kalau masih kurang yakin, sebagai subyek dari tulisan, saya dapat memastikan dengan menelepon atau menulis email ke Pemimpin Redaksi Radar Totabuan, meminta redaksi membuka identitas si penulis. Saya yakin redaksi dengan senang hati memberikan konfirmasi, sebab: Tulisan itu adalah artikel opini di mana tanggungjawab sepenuhnya berada di tangan penulis, bukan tergolong isu yang bisa membahayakan keselamatan penulisnya, dan karena saya adalah subyek yang ditunjuk langsung.(Bersambung)