Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, May 3, 2012

Politik Bolmong, Politik Para Pedagang (1)

CUKUP lama saya berhenti menulis tentang Mongondow. Beberapa bulan terakhir bahkan ditambah puasa membicarakan perkembangan daerah ini (empat kabupaten dan satu kota), dinamika politik, ekonomi, sosial dan budayanya; termasuk hal-hal sepele seperti hubungan-hubungan antar politikus-birokrat dan siapa yang diproyeksi ke posisi-posisi publik penting.

Di tengah hiruk-pikuk yang terbaik adalah berdiam, melihat sekeliling, memastikan kita siapa dan berada di mana. Dengan demikian kewarasan selalu menyertai kepala, hati tetap dingin.

Saya bukan siapa-siapa di Mongondow. Tidak pula merasa luar biasa hanya karena kenal dengan beberapa tokoh politik yang kini dianggap penting, familiar dengan birokrat-birokrat papan atas atau mudah bertegur-sapa dengan tokoh-tokoh masyarakat. Saya sepenuhnya menyadari bahwa menulis kritik, bicara tentang kepentingan Mongondow, tidak lebih dan kurang karena satu hal: Sebagai orang Mongondow saya mengimpikan daerah ini direken dan dihormati, tak hanya di Sulut, tapi di lingkup yang lebih luas.

Impian itu mendorong saya berpartisipasi aktif, menggunakan hak sebagai warga negara (lebih khusus lagi orang Mongondow) di ranah politik. Tidak terlibat dalam pengertian praktis, tetapi turut mendorong dan membantu perwujudan visi ideal dan kontekstual untuk Mongondow. Kalau kemudian aktivitas itu berbentuk relasi dengan politikus, kelompok dan institusi politik, karena demikianlah wujud nyatanya.

Kita toh tidak bisa mengusung visi monyet atau kelompok monyet yang barangkali terbatas pada jenis pisang apa yang paling enak dikudap. Atau barisan kambing yang kepentingan terbesarnya hanya memenuhi sebanyak mungkin kapasitas perut dan setelah itu berangin-angin di bawah rimbunan pohon atau semak.

Memelihara Harapan

Kesadaran itu membuat saya selalu waspada. Saya menampik dianggap berada di tengah sukses seorang politikus, entah dia anggota DPR (termasuk DPR RI), Bupati atau Wakil Bupati (Wabup), Walikota atau Wawali, pimpinan partai, atau aktivis politik elit yang sedang naik daun. Kalau pun ada yang saya kontribusikan, lebih pada kesamaan visi; bukan demi ambisi seseorang yang di jangka panjang membawa berkah pribadi buat saya.

Bahwa dengan turut aktif saya terus memelihara harapan satu saat Mongondow dipandang dan diapresiasi tinggi oleh siapa pun yang mendengar nama daerah ini disebut.

Di Pemilihan Umum (Pemilu 2009) bersama sejumlah adik-adik saya (sedikit) ikut andil mendukung calon anggota DPR RI yang ternyata terpilih. Keikut-sertaan itu dilandasi pikiran sederhana: Alangkah baik bila ada lebih dari satu anggota DPR RI asal Sulawesi Utara (Sulut) berlatar Mongondow. Pasti akan memberi arti penting bagi daerah ini dan masyarakatnya.

Lalu setelah itu ada rangkaian pemilihan kepala daerah (Pilkada), yang dengan sukarelanya saya turut menceburkan diri (tentu dengan kontribusi sangat kecil). Puncaknya adalah Pilkada Bolmong Induk 2011 lalu, dimana Salihi Mokodongan-Yani Tuuk terpilih sebagai Bupati-Wabup.

Sejak awal saya amat berharap pasangan ini membawa atmosfir baru politik dan pemerintahan di Bolmong. Praktek-praktek buruk yang berlangsung selama 10 tahun di bawah razim sebelumnya harus diubah total. Sebaliknya, praktek-praktek baik dijaga sebagai sebuah pencapaian yang patut dijunjung dan dihormati.

Banyak yang harus dikritik dari Bupati Bolmong terdahulu, Marlina Moha-Siahaan. Sama halnya dengan pujian terhadap banyak pula hal baik yang berhasil dia rintis dan wujudkan. Belajar dari kelemahan dan keunggulan rezim terdahulu, niscaya memberi pencerahan agar tak mengulang kemungkinan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk jatuh ke lobang yang sama.

Babak Kesadaran

Kebanyakan kita tak menyadari bahwa kompetisi politik kerap lebih kejam dari perang. Kalau kita, si A dan kelompok, tidak bertarung habis-habisan dengan strategi dan taktik jitu; maka si B dan kelompoknya yang keluar sebagai pemenang. Dan dalam politik walau ultimate-nya adalah negosiasi, hampir pasti pemenanglah yang sesungguhnya menentukan segala sesuatu.

Ironisnya, boleh jadi sang pemenang bukanlah A dan kelompoknya, tetapi hanya A seoran. Para pendukung cuma instrument yang setiap saat dapat diganti dan ubah. Adagium dalam politik bahwa yang lestari hanyalah kepenting adalah fakta yang selalu faktual.

Usai Pemilu 2009, kesadaran terhadap fakta itu pula yang membuat saya mengumpulkan adik-adik yang terlibat, meminta mereka kembali ke aktivitas semula dan melupakan harapan-harapan yang pernah dijanjikan, diucapkan atau sekadar didengar. Tindakan itu belakangan saya syukuri karena lingkaran dalam politik memang selalu berubah cepat.

Pengalaman bertahun-tahun telah mengajarkan: Politikus yang baik adalah yang mudah berjanji, sekaligus disaat bersamaan mudah melupakan janjinya.

Orang-orang yang di ‘’masa perang’’ memang menyingkir (atau disingkirkan), berganti dengan wajah-wajah yang tak kami kenal di ‘’masa susah dan perih’’. Tapi tidak ada iri dan cemburu, kendati menyaksikan mereka yang sebelumnya tak turut ‘’angkat senjata’’ dengan gemilang berbagi keuntungan dan keberuntungan yang datang bersama kekuasaan politik yang berhasil diraih.

Hal yang sama saya lakukan lagi seusai pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk memenangkan gugatan keabsahan Pilkada Bolmong di Mahkamah Konstitusi. Namun hasilnya berbeda. Sebagian besar adik-adik, yang telah bekerja mati-matian sejak awal menyiapkan Salihi Mokodongan mencalonkan diri, sepenuhnya yakin dia adalah politikus dari spesies yang berbeda.

Mereka menyakinkan saya bahwa Salihi Mokodongan datang dengan visi dan misi membawa perubahan besar untuk Bolmong umumnya, lebih khusus lagi Bolmong Induk. Bahwa dia adalah sosok nothing to lose yang bebas dari interes pribadi, praktek-praktek lazim penguasa dan godaan-godaan umum terhadap mereka yang berhasil duduk di kursi elit kekuasaan. Bahwa dia mampu bertindak lurus, tegas, dengan mengedepankan kepentingan besar ketimbang sekadar kerakusan jangka pendek kolusi, korupsi, dan nepotisme.(Bersambung)