Di tengah hiruk-pikuk yang terbaik adalah berdiam, melihat
sekeliling, memastikan kita siapa dan berada di mana. Dengan demikian kewarasan
selalu menyertai kepala, hati tetap dingin.
Saya bukan siapa-siapa di Mongondow. Tidak pula merasa luar
biasa hanya karena kenal dengan beberapa tokoh politik yang kini dianggap
penting, familiar dengan birokrat-birokrat papan atas atau mudah bertegur-sapa
dengan tokoh-tokoh masyarakat. Saya sepenuhnya menyadari bahwa menulis kritik,
bicara tentang kepentingan Mongondow, tidak lebih dan kurang karena satu hal:
Sebagai orang Mongondow saya mengimpikan daerah ini direken dan dihormati, tak hanya di Sulut, tapi di lingkup yang
lebih luas.
Impian itu mendorong saya berpartisipasi aktif, menggunakan
hak sebagai warga negara (lebih khusus lagi orang Mongondow) di ranah politik.
Tidak terlibat dalam pengertian praktis, tetapi turut mendorong dan membantu
perwujudan visi ideal dan kontekstual untuk Mongondow. Kalau kemudian aktivitas
itu berbentuk relasi dengan politikus, kelompok dan institusi politik, karena
demikianlah wujud nyatanya.
Kita toh tidak
bisa mengusung visi monyet atau kelompok monyet yang barangkali terbatas pada
jenis pisang apa yang paling enak dikudap. Atau barisan kambing yang
kepentingan terbesarnya hanya memenuhi sebanyak mungkin kapasitas perut dan
setelah itu berangin-angin di bawah rimbunan pohon atau semak.
Memelihara Harapan
Kesadaran itu membuat saya selalu waspada. Saya menampik
dianggap berada di tengah sukses seorang politikus, entah dia anggota DPR
(termasuk DPR RI), Bupati atau Wakil Bupati (Wabup), Walikota atau Wawali, pimpinan
partai, atau aktivis politik elit yang sedang naik daun. Kalau pun ada yang
saya kontribusikan, lebih pada kesamaan visi; bukan demi ambisi
seseorang yang di jangka panjang membawa berkah pribadi buat saya.
Bahwa dengan turut aktif saya terus memelihara harapan satu
saat Mongondow dipandang dan diapresiasi tinggi oleh siapa pun yang mendengar
nama daerah ini disebut.
Di Pemilihan Umum (Pemilu 2009) bersama sejumlah adik-adik
saya (sedikit) ikut andil mendukung calon anggota DPR RI yang ternyata
terpilih. Keikut-sertaan itu dilandasi pikiran sederhana: Alangkah baik bila
ada lebih dari satu anggota DPR RI asal Sulawesi Utara (Sulut) berlatar
Mongondow. Pasti akan memberi arti penting bagi daerah ini dan masyarakatnya.
Lalu setelah itu ada rangkaian pemilihan kepala daerah
(Pilkada), yang dengan sukarelanya saya turut menceburkan diri (tentu dengan
kontribusi sangat kecil). Puncaknya adalah Pilkada Bolmong Induk 2011 lalu,
dimana Salihi Mokodongan-Yani Tuuk terpilih sebagai Bupati-Wabup.
Sejak awal saya amat berharap pasangan ini membawa atmosfir
baru politik dan pemerintahan di Bolmong. Praktek-praktek buruk yang berlangsung
selama 10 tahun di bawah razim sebelumnya harus diubah total. Sebaliknya,
praktek-praktek baik dijaga sebagai sebuah pencapaian yang patut dijunjung dan
dihormati.
Banyak yang harus dikritik dari Bupati Bolmong terdahulu,
Marlina Moha-Siahaan. Sama halnya dengan pujian terhadap banyak pula hal baik
yang berhasil dia rintis dan wujudkan. Belajar dari kelemahan dan keunggulan
rezim terdahulu, niscaya memberi pencerahan agar tak mengulang kemungkinan
Salihi Mokodongan-Yani Tuuk jatuh ke lobang yang sama.
Babak Kesadaran
Kebanyakan kita tak menyadari bahwa kompetisi politik kerap
lebih kejam dari perang. Kalau kita, si A dan kelompok, tidak bertarung
habis-habisan dengan strategi dan taktik jitu; maka si B dan kelompoknya yang
keluar sebagai pemenang. Dan dalam politik walau ultimate-nya
adalah negosiasi, hampir pasti pemenanglah yang sesungguhnya menentukan segala
sesuatu.
Ironisnya, boleh jadi sang pemenang bukanlah A dan
kelompoknya, tetapi hanya A seoran. Para pendukung cuma instrument yang setiap
saat dapat diganti dan ubah. Adagium dalam politik bahwa yang lestari hanyalah
kepenting adalah fakta yang selalu faktual.
Usai Pemilu 2009, kesadaran terhadap fakta itu pula yang
membuat saya mengumpulkan adik-adik yang terlibat, meminta mereka kembali ke
aktivitas semula dan melupakan harapan-harapan yang pernah dijanjikan,
diucapkan atau sekadar didengar. Tindakan itu belakangan saya syukuri karena
lingkaran dalam politik memang selalu berubah cepat.
Pengalaman bertahun-tahun telah mengajarkan: Politikus yang
baik adalah yang mudah berjanji, sekaligus disaat bersamaan mudah melupakan
janjinya.
Orang-orang yang di ‘’masa perang’’ memang menyingkir (atau
disingkirkan), berganti dengan wajah-wajah yang tak kami
kenal di ‘’masa susah dan perih’’. Tapi tidak ada iri dan cemburu, kendati
menyaksikan mereka yang sebelumnya tak turut ‘’angkat senjata’’ dengan gemilang
berbagi keuntungan dan keberuntungan yang datang bersama kekuasaan politik yang
berhasil diraih.
Hal yang sama saya lakukan lagi seusai pasangan Salihi
Mokodongan-Yani Tuuk memenangkan gugatan keabsahan Pilkada Bolmong di Mahkamah
Konstitusi. Namun hasilnya berbeda. Sebagian besar adik-adik, yang telah
bekerja mati-matian sejak awal menyiapkan Salihi Mokodongan mencalonkan diri,
sepenuhnya yakin dia adalah politikus dari spesies yang berbeda.
Mereka menyakinkan saya bahwa Salihi Mokodongan datang
dengan visi dan misi membawa perubahan besar untuk Bolmong umumnya, lebih
khusus lagi Bolmong Induk. Bahwa dia adalah sosok nothing to lose yang bebas dari interes pribadi, praktek-praktek
lazim penguasa dan godaan-godaan umum terhadap mereka yang berhasil duduk di
kursi elit kekuasaan. Bahwa dia mampu bertindak lurus, tegas, dengan mengedepankan
kepentingan besar ketimbang sekadar kerakusan jangka pendek kolusi, korupsi,
dan nepotisme.(Bersambung)