Hanya dalam tempo singkat bangkai yang telah dikubur Bupati
Marlina Moha-Siahaan, sukses digali dan diusung Linda Lahamesang di hadapan
Bupati dan Ibu Bupati yang baru.
Merindingkan Kuduk
Tidak ada yang salah mendekatkan diri dengan Bupati dan Ibu
Bupati. Memayungi, mengipasi, mengurus dandanan Ibu Bupati juga bukan dosa (cuma
bikin mual sebab semuanya mendadak terlihat talebe-lebe).
Saya kira Ibu Bupati belumlah jompo dan tak berdaya hingga urusan-urusan sepele
sudah harus dibantu tenaga khusus.
Mau seperti apa Linda Lahamesang menjilat Bupati dan Ibu
Bupati, termasuk tiba-tiba sudah menyebut Salihi Mokodongan dan istri dengan
‘’Papa’’ dan ‘’Mama’’ (pertama kali tahu hal ini saya tertawa hingga
terguling-guling. Gile bener….),
sepanjang tidak menyentuh ruang publik, saya tak ambil pusing. Menakut-nakuti
para birokrat mengatas-namakan Bupati, tidak pula saya pikirkan. Hanya birokrat
bodoh yang percaya begitu saja lidah berbisanya. Terlebih dia bahkan bukan
bagian dari Tata Usaha Pimpinan (TUP), tapi hanya staf Sespri.
Sama halnya dengan membawa-bawa istri Bupati seolah-olah
punya kekuasaan yang sama dengan Bupati di pemerintahan dan birokrasi Bolmong.
Sepanjang yang saya tahu rakyat Bolmong memilih Salihi Mokodongan sebagai
Bupati; bukan istrinya (yang di balik punggung mereka sekarang dijuluki
‘’Kosong Setengah’’).
Saya baru bereaksi kalau itu melibatkan adab terhadap orang
banyak dan kehormatan seseorang seperti Bupati Bolmong.
Gambarannya seperti ini: Biasanya bila melakukan perjalanan
rombongan Bupati Bolmong didahului mobil Patroli Kawal (Patwal). Di banyak
kesempatan Linda Lahamesang yang entah atas perintah siapa turut di mobil
Patwal lalu menggunakan pengeras suara menyuruh minggir kendaraan atau halangan
di depan. Dengan lantang biasanya dia berseru, ‘’Hoi…! Ba pinggir!’’
Saking seringnya kelakuan barbar itu dipertontonkan hingga
seorang kawan yang bukan orang Mongondow pernah mengeluh ke saya dengan kalimat
sinis: ‘’Mangkage butul Bupati Bolmong
itu, kang? Sedang cuma mo lewat musti
ada depe pengawal yang bertugas bataria’. Padahal so kawal lei dengan oto
patroli.’’
Mendapat angin sebab tak ada yang berani menegur (karena
akan diadukan langsung ke Ibu Bupati), kelakuan biadab itu kian menjadi. Peristiwa
ini adalah contoh yang lain. Satu saat setelah dilantik, dalam satu apel Bupati
ingin mengetahu para pimpinan SKPD dan meminta mereka mengangkat tangan saat
dinas atau badannya disebutkan. Begitu Bupati mulai, Linda yang seperti biasa
menempel bagai lintah, bergegas ke tengah para pejabat Pemkab Bolmong (dari
eselon II hingga IV) dan berteriak-teriak memerintah agar mereka unjuk tangan.
Lainnya, semisal kejadian di pisah-sambut Komandan Kodim
1303 Bolmong beberapa waktu lalu. Di depan undangan dan hadirin, Linda
Lahamesang dengan entengnya memperbaiki papan nama Bupati yang rupanya terpasang
miring. Padahal ketika itu Bupati Salihi Mokodongan sedang menyampaikan
sambutan.
Yang saya contohkan itu hanya tiga dari banyak peristiwa
yang menunjukkan bagaimana kehormatan Bupati Bolmong diciderai di depan umum. Bagaimana
Bupati diperlakukan bagai ‘’orang mangkage’’ dan ‘’bodok-bodok’’ oleh orang di
sekitarnya yang bahkan hanya level staf.
Sementara itu, sembari disanjung dan dipuja-puja, Ibu Bupati
juga dijerumuskan jadi bahan tertawaan massal. Saya pernah hampir menegur
sekelompok perempuan yang ramai mencibir Ibu Bupati Bolmong karena hadir di
salah satu acara Dharma Wanita lengkap dengan seragam Dharma Wanita. Untung
belum ada kata yang keluar dari mulut ini, sebab yang berhak menggunakan
pakaian Dharma Wanita memang hanyalah perempuan yang bekerja sebagai pegawai
negeri sipil (PNS) atau istri PNS.
Mulut saya lagi-lagi ditutup rapat-rapat sewaktu berada di
tengah orang banyak yang mempercakapkan bagaimana di Hari Ulang Tahun (HUT)
Bolmong, Maret 2012 lalu, Ibu Bupati berkebaya tanpa selendang. Padahal ibu-ibu
lain yang hadir dan berkebaya, seluruhnya lengkap dengan selendang (yang memang
menjadi pelengkap formal jenis pakaian ini). Saya hanya mengeleng-ngeleng
ketika mendengar cemooh, ‘’Bagitu noh
kalu ba dengar pa tuh tukang-tukang ba jilat.’’
Kalau akhirnya saya berkomentar, ketika tahu bahwa
akhir-akhir ini ada dua kendaraan yang secara bersamaan menggunakan DB 1 di
Bolmong. Satu yang digunakan oleh Bupati Bolmong, yang satu lagi oleh istrinya.
Pekan lalu pada satu acara di Kopandakan ada dua DB 1 yang diparkir karena
Bupati dan istri hadir di tempat yang sama.
Komentar saya terhadap penggunaan pelat nomor yang sama itu
pendek saja: Ampun! Apalagi saya yakin yang melakukan itu pasti tak jauh dari
orang yang sama, yang selama ini terus-menerus membuat Bupati dan istrinya
tampak konyol di depan publik.
Piramida
Kesemena-Menaan
Begitu kacau-balaunyakah tata dan tingkah di sekitar Bupati
Bolmong? Tidakkah Bupati menyadari bahwa kalau dia terus bersikap seolah-olah
semuanya baik-baik saja; membiarkan setiap orang di sekitarnya berlaku sesuka
mereka sendiri, cepat atau lambat pimpinan SKPD, kemudian para staf, dan
akhirnya orang banyak kehilangan respek dan hormat. Jabatan tetap Bupati, tapi
diperlakukan tak lebih sebagai ‘’bupati-bupatian’’ saja.
Secara pribadi saya melihat petanda kesemena-menaan yang
dicontohkan orang-orang yang mengaku dekat dengan Bupati (atau Ibu Bupati),
mulai dipratekkan secara terstruktur. Kalau di level Linda Lahamesang yang
disemena-menai adalah Satpol PP dan staf bawah di sekitar Bupati, bagaimana
dengan di tingkatan yang lebih tinggi?
Harus dinilai seperti apakah fakta seperti ini: Kepala Dinas
Sosial (Kadinsos), Lutfi Limbanadi, tidak berada di tempat karena mengikuti Pendidikan
dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II (Pim II) di Makassar. Ditunjuklah
Sekretaris Dinsos sebagai Pelaksana Harian (Plh). Entah dengan alasan apa, oleh
Asisten II tiba-tiba penunjukkan Plh Kadinsos itu dialihkan ke salah seorang
Kapala Bidang (Kabid). Duga-duga yang disampaikan ke saya, sang Kabid dipilih
karena dia adalah sepupu Asisten II.
Bagi kebanyakan orang melawan praktek-praktek busuk politik
dan birokrasi bukan pilihan yang menyenangkan. Apalagi di Bolmong yang levelnya
tak hanya bekeng tako tetapi sudah
menjadi horor yang dengan cepat terasa lebih mengerikan di bawah rezim Salihi
Mokodongan yang belum lagi genap setahun; dibanding 10 tahun di masa kekuasaan
Bupati sebelumnya.
Mungkin karena umumnya kita semakin peka. Atau boleh jadi
rezim terdahulu lebih pintar dalam modus.***