Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, May 8, 2012

Dumoga: Energi Berlebih dan Kompetisi ‘’Bakalae’’

DUA kelompok massa saling berhadapan. Masing-masing pihak mempersenjatai diri dengan aneka benda maut. Pedang panjang, parang, pisau, potongan besi, balok, bambu runcing dan batu. Jangan lupa tambahkan dua jenis yang tak kalah seram, senapan angin dan panah wayer.

Malam yang semestinya teduh, mendidih dibakar anarki. Didahului sahut-sahutan pertengkaran mulut, provokasi dan saling mengundang, teriakan, lalu tawuran pecah. Orang-orang berlarian saling mengincar. Orang-orang tua, kaum perempuan dan anak-anak, menutup rapat pintu dan jendela, menyembunyikan diri sehening mungkin dengan jantung berdegup bagai bunyi kereta uap berbahan bakar batubara.

Di tengah chaos api mulai menjalar. Tak jelas siapa yang menyulut. Yang pasti lidah-lidah merah yang membumbung mudah berpindah dari satu bangunan ke bangunan yang lain.

Tatkala pagi tiba, yang tersisa adalah satu-dua tubuh kaku, dingin berlumur darah; orang-orang terluka yang mengerang-ngerang; rumah yang tinggal abu dan arang berasap; dan tangisan kehilangan nyawa dan harta benda. Pemandangan ini, anehnya, kerap hanya sesaat mendatangkan sesal. Setelah itu amarah berkobar lagi dan siklus anarki dimulai lagi dari awal.

Saya tidak sedang mecuplik kisah dunia Barat liar yang banyak ditulis bacaan klasik Amerika, adegan film Gang of New York (Martin Scorsese, 2002), atau pertempuran antara tentara pemberontak dipimpin Saigo Takamori melawan pasukan Kaisar Jepang menjelang akhir 1800-an (walau pun membayangkan pedang beradu pedang, parang beradu parang, ditingkahi peluru senapan angin dan panah wayer tak urung menyeret ingatan saya pada Samurai: The Last Warrior karya John Man, 2011). Sesungguhnya yang ada di benak saya adalah bentrokan massal yang pekan-pekan ini menjadi isu panas di wilayah Dumoga, Bolmong.

Sudut Pandang Lain

Saya tak hendak sok pintar mencari-cari akar masalah kenapa bentrok massal (lebih populer disebut ‘’perkelahian antar kampung’’ –seolah-olah ini sama dengan pertandingan sepakbola atau kasti antar kampung) mudah meletus di wilayah Dumoga. Tidak pula saya berkeinginan mengutak-ngatik mengapa ada dendam berkarat antar dua kampung yang diekspresikan dengan perkelahian massal di waktu-waktu tertentu.

Demikian juga, tak perlu saya membahas mengapa malam muda-mudi pesta pernikahan yang semestinya menjadi tempat orang-orang bergembira, mendadak jadi pemicu tawuran berombongan. Atau sekadar teguran Ketua RT pada pemuda kampung sebelah yang terlampau rajin mengunjungi pacar (seperti besok dunia akan runtuh kalau rindu menatap wajah kekasih tak tersampaikan), bisa menyulut emosi anak-anak muda yang lalu berduyun menyerbu kampung si kekasih.

Asmara Remoe dan Juliet versi tawuran antar kampung itu dapat dipastikan berakhir dengan patah hati massal. Cewek gila mana yang masih bersedia menikahi pemuda yang menyerbu kampungnya? Orangtua mana pula yang ikhlas anaknya dilamar bengal tukang tenteng parang?

Musabab mudahnya bentrok massal di Dumoga biar jadi kajian para sosiolog dan ahli psikologi massa. Buru-buru mengatakan (seperti pernyataan seorang anggota DPR Sulut yang saya baca di situs Tribun Manado, Selasa, 8 April 2012) karena minimnya kesempatan kerja, perlu diuji kebenarannya dengan serius. Berapa banyak bentrok massal yang bakal terjadi di negeri ini kalau tesis itu valid?

Karenanya, untuk kasus di wilayah Dumoga, saya sendiri hanya menawarkan sudut pandang lain, bahwa ada energi dan semangat berlebih yang meletup-letup, yang membutuhkan saluran lebih baik ketimbang hanya baku tumbu, baku potong, dan baku panah. Dengan menggunakan pendekatan lebih kreatif (alangkah lelahnya Muspida Bolmong bolak-balik bertemu tokoh masyarakat Dumoga, menggelar silahturahmi dengan masyarakat, dan setelah mereka pergi senjata mulai dihunus lagi), energi besar dapat didaya-gunakan menjadi sumber kesejahteraan ekonomi dan sosial; dan mungkin budaya baru yang menjamin stabilitas keamanan masyarakat.

Kelemahan Menjadi Nilai Tambah

Mengapa tidak kita pikirkan mengemas ‘’energi dan semangat’’ tiu menjadi satu tontonan yang dipromosikan sebagai keunikan wilayah Dumoga? Misalnya dengan sejenis ‘’kompetisi bakalae’’ yang hanya boleh diikuti mereka yang tercatat sebagai penduduk Dumoga.

Aturan ‘’kompetisi bakalae’’ ini kira-kira: para pesertanya mutlak penduduk Dumoga, dibagi berdasar usia (misalnya 18-21 tahun; 22-27 tahun; 27-33 tahun, 33-38 tahun –di atas usia ini kalau masih tawuran massal juga, sungguh keterlaluan). Atau berdasar pembagian berat badan (50-55 kg; 55-60 kg; 60-65 kg; 65-70 kg; 70-75 kg; dan kelas bebas). Para peserta boleh menggunakan pakaian apa saja (pakai baju karate atau silat oke, celana ceper diterima, cawat juga tidak dilarang). Arena yang digunakan berbentuk ring (seperti di pertandingan tinju) dengan peraturan sederhana: begitu bel berbunyi, silahkan saling hantam.

Wasit yang bertugas hanya memastikan bahwa peserta betul-betul ‘’bakalae’’ dengan serius dan memutuskan pertandingan dihentikan kalau salah satu peserta menyatakan menyerah; atau flao.

Agar kompetisi ini menjadi berkelas, pemenangnya berhak atas hadiah besar: Pemenang I Rp 50 juta, Pemenang II Rp 30 juta, dan dua semi finalis lain masing-masing berhak atas hadiah Rp 15 juta. Sebagai bonus, sang juara wajib disapa ‘’Bos’’ selama satu tahun oleh warga Dumoga, hingga ‘’Bos’’ baru ditentukan lagi lewat kompetisi berikut.

Siapa pun yang berkelahi di luar ring kompetisi, pasti para penakut yang cuma pantas ditendang masuk sel Polsek Dumoga.

Sebagai sebuah tontonan yang diharapkan bermanfaat secara ekonomi, ‘’kompetisi bakalae’’ ini selayaknya dimulai dari tingkat kampung yang berlangsung setiap akhir pekan; di mana hanya Pemenang I dan II di setiap kampung yang berhak ke kompitisi puncak sewilayah Dumoga. Kompetisi puncak pun hanya digelar Sabtu dan Minggu, dengan demikian meng-atraksi orang-orang dari seluruh penjuru datang menonton.

Mahasiswa pemula di Fakultas Ekonomi pasti langsung bisa menghitung berapa besar efek ekonomi yang terjadi. Mereka yang berniat diakui kejagoannya di komunitasnya pun bakal berlomba-lomba menyiapkan diri turut ambil bagian. Mabuk-mabukkan dan begadang dengan sendirinya surut, sebab tukang berkelahi yang mengkonsumsi miras tak akan sanggup berhadapan dengan lawan lebih dari dua menit.

Saya berkeyakinan, sesuatu yang mulanya adalah kelemahan dan halangan, selalu dapat diubah menjadi keuntungan. Dan inilah tawaran saya, yang bahkan mungkin  dapat segera direalisasikan lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Perubahan Bolmong 2012. Implementasi mudah, sebab sudah ada Dinas Pendidikan dan Olaharaga serta Dinas Pariwisata di Bolmong. Serahkan pada mereka dan para Muspida serta warga Dumoga silahkan tidur nyenyak.***