Malam yang semestinya teduh, mendidih dibakar anarki.
Didahului sahut-sahutan pertengkaran mulut, provokasi dan saling mengundang,
teriakan, lalu tawuran pecah. Orang-orang berlarian saling mengincar.
Orang-orang tua, kaum perempuan dan anak-anak, menutup rapat pintu dan jendela,
menyembunyikan diri sehening mungkin dengan jantung berdegup bagai bunyi kereta
uap berbahan bakar batubara.
Di tengah chaos api
mulai menjalar. Tak jelas siapa yang menyulut. Yang pasti lidah-lidah merah
yang membumbung mudah berpindah dari satu bangunan ke bangunan yang lain.
Tatkala pagi tiba, yang tersisa adalah satu-dua tubuh kaku, dingin
berlumur darah; orang-orang terluka yang mengerang-ngerang; rumah yang tinggal
abu dan arang berasap; dan tangisan kehilangan nyawa dan harta benda.
Pemandangan ini, anehnya, kerap hanya sesaat mendatangkan sesal. Setelah itu
amarah berkobar lagi dan siklus anarki dimulai lagi dari awal.
Saya tidak sedang mecuplik kisah dunia Barat liar yang
banyak ditulis bacaan klasik Amerika, adegan film Gang of New York (Martin Scorsese, 2002), atau pertempuran antara
tentara pemberontak dipimpin Saigo Takamori melawan pasukan Kaisar Jepang
menjelang akhir 1800-an (walau pun membayangkan pedang beradu pedang, parang
beradu parang, ditingkahi peluru senapan angin dan panah wayer tak urung
menyeret ingatan saya pada Samurai: The
Last Warrior karya John Man, 2011). Sesungguhnya yang ada di benak saya adalah
bentrokan massal yang pekan-pekan ini menjadi isu panas di wilayah Dumoga,
Bolmong.
Sudut Pandang Lain
Saya tak hendak sok pintar mencari-cari akar masalah kenapa
bentrok massal (lebih populer disebut ‘’perkelahian antar kampung’’
–seolah-olah ini sama dengan pertandingan sepakbola atau kasti antar kampung)
mudah meletus di wilayah Dumoga. Tidak pula saya berkeinginan mengutak-ngatik
mengapa ada dendam berkarat antar dua kampung yang diekspresikan dengan
perkelahian massal di waktu-waktu tertentu.
Demikian juga, tak perlu saya membahas mengapa malam muda-mudi
pesta pernikahan yang semestinya menjadi tempat orang-orang bergembira, mendadak
jadi pemicu tawuran berombongan. Atau sekadar teguran Ketua RT pada pemuda
kampung sebelah yang terlampau rajin mengunjungi pacar (seperti besok dunia
akan runtuh kalau rindu menatap wajah kekasih tak tersampaikan), bisa menyulut
emosi anak-anak muda yang lalu berduyun menyerbu kampung si kekasih.
Asmara Remoe dan Juliet versi tawuran antar kampung itu
dapat dipastikan berakhir dengan patah hati massal. Cewek gila mana yang masih
bersedia menikahi pemuda yang menyerbu kampungnya? Orangtua mana pula yang
ikhlas anaknya dilamar bengal tukang tenteng parang?
Musabab mudahnya bentrok massal di Dumoga biar jadi kajian
para sosiolog dan ahli psikologi massa. Buru-buru mengatakan (seperti
pernyataan seorang anggota DPR Sulut yang saya baca di situs Tribun Manado, Selasa, 8 April 2012)
karena minimnya kesempatan kerja, perlu diuji kebenarannya dengan serius.
Berapa banyak bentrok massal yang bakal terjadi di negeri ini kalau tesis itu
valid?
Karenanya, untuk kasus di wilayah Dumoga, saya sendiri hanya
menawarkan sudut pandang lain, bahwa ada energi dan semangat berlebih yang
meletup-letup, yang membutuhkan saluran lebih baik ketimbang hanya baku tumbu, baku potong, dan baku panah.
Dengan menggunakan pendekatan lebih kreatif (alangkah lelahnya Muspida Bolmong
bolak-balik bertemu tokoh masyarakat Dumoga, menggelar silahturahmi dengan
masyarakat, dan setelah mereka pergi senjata mulai dihunus lagi), energi besar
dapat didaya-gunakan menjadi sumber kesejahteraan ekonomi dan sosial; dan
mungkin budaya baru yang menjamin stabilitas keamanan masyarakat.
Kelemahan Menjadi
Nilai Tambah
Mengapa tidak kita pikirkan mengemas ‘’energi dan semangat’’
tiu menjadi satu tontonan yang dipromosikan sebagai keunikan wilayah Dumoga?
Misalnya dengan sejenis ‘’kompetisi bakalae’’ yang hanya boleh diikuti mereka
yang tercatat sebagai penduduk Dumoga.
Aturan ‘’kompetisi bakalae’’ ini kira-kira: para pesertanya mutlak
penduduk Dumoga, dibagi berdasar usia (misalnya 18-21 tahun; 22-27 tahun; 27-33
tahun, 33-38 tahun –di atas usia ini kalau masih tawuran massal juga, sungguh
keterlaluan). Atau berdasar pembagian berat badan (50-55 kg; 55-60 kg; 60-65 kg;
65-70 kg; 70-75 kg; dan kelas bebas). Para peserta boleh menggunakan pakaian
apa saja (pakai baju karate atau silat oke, celana ceper diterima, cawat juga
tidak dilarang). Arena yang digunakan berbentuk ring (seperti di pertandingan
tinju) dengan peraturan sederhana: begitu bel berbunyi, silahkan saling hantam.
Wasit yang bertugas hanya memastikan bahwa peserta
betul-betul ‘’bakalae’’ dengan serius dan memutuskan pertandingan dihentikan
kalau salah satu peserta menyatakan menyerah; atau flao.
Agar kompetisi ini menjadi berkelas, pemenangnya berhak atas
hadiah besar: Pemenang I Rp 50 juta, Pemenang II Rp 30 juta, dan dua semi
finalis lain masing-masing berhak atas hadiah Rp 15 juta. Sebagai bonus, sang
juara wajib disapa ‘’Bos’’ selama satu tahun oleh warga Dumoga, hingga ‘’Bos’’
baru ditentukan lagi lewat kompetisi berikut.
Siapa pun yang berkelahi di luar ring kompetisi, pasti para
penakut yang cuma pantas ditendang masuk sel Polsek Dumoga.
Sebagai sebuah tontonan yang diharapkan bermanfaat secara
ekonomi, ‘’kompetisi bakalae’’ ini selayaknya dimulai dari tingkat kampung yang
berlangsung setiap akhir pekan; di mana hanya Pemenang I dan II di setiap
kampung yang berhak ke kompitisi puncak sewilayah Dumoga. Kompetisi puncak pun
hanya digelar Sabtu dan Minggu, dengan demikian meng-atraksi orang-orang dari
seluruh penjuru datang menonton.
Mahasiswa pemula di Fakultas Ekonomi pasti langsung bisa
menghitung berapa besar efek ekonomi yang terjadi. Mereka yang berniat diakui
kejagoannya di komunitasnya pun bakal berlomba-lomba menyiapkan diri turut
ambil bagian. Mabuk-mabukkan dan begadang dengan sendirinya surut, sebab tukang
berkelahi yang mengkonsumsi miras tak akan sanggup berhadapan dengan lawan
lebih dari dua menit.
Saya berkeyakinan, sesuatu yang mulanya adalah kelemahan dan
halangan, selalu dapat diubah menjadi keuntungan. Dan inilah tawaran saya, yang
bahkan mungkin dapat segera
direalisasikan lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Perubahan Bolmong
2012. Implementasi mudah, sebab sudah ada Dinas Pendidikan dan Olaharaga serta
Dinas Pariwisata di Bolmong. Serahkan pada mereka dan para Muspida serta warga
Dumoga silahkan tidur nyenyak.***