Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, May 27, 2012

DPR (Masih) ‘’Asal Malontok’’

PEMERINTAH Kabupaten Bolaang Mongondow (Pemkab Bolmong) tidak mandiri dalam mengelola potensi kandungan tambang di wilayahnya. Saya membaca konklusi itu dari pernyataan Ketua Komisi III DPR Bolmong, Chairun Mokoginta, di situs Harian Komentar, Selasa (22 Mei 2012).

Lengkapnya, berita bertajuk Terkait Kejelasan Izin AMDAL: Besok, Komisi III Hearing BLH dan Perusahaan Tambang, mengutip Chairun, ’’Untuk menuju kemadirian keuangan daerah, harusnya Pemda cerdas memanfaatkan SDA pertambangan, itu bisa dikelola dalam bentuk WPR, koperasi daerah dan BUMD. Nantinya ini akan menopang PAD, kenapa itu harus diberikan kepada investor, bukan Pemda yang mengelolanya untuk kepentingan hajat hidup rakyat Bolmong.
Jika rekomendasi ini (PT JRBM) berlanjut, maka Pemda tidak ada keberpihakan kepada masyarakat di wilayah Kecamatan Lolayan.’’

Keseriusan Ketua Komisi III DPR Bolmong itu didramatisir wartawan yang menulis dengan menggambarkan kalimat-kalimat panjang itu ditukas dengan nada kesal. Bagaimana kira-kira nada kesal itu? Kata demi kata yang dikutip tidak menunjukkan pernyataan itu adalah ekspresi kekesalan. Menurut hemat saya, justru lebih memperlihatkan anggota DPR yang bersangkutan asal malontok.

***

Kekayaan sumber daya alam Bolmong yang selama ini (atau pernah) sangat diunggulkan adalah potensi pertanian, perkebunan, dan peternakan. Daerah ini bahkan sempat dijuluki ‘’Lumbung Padi Sulawesi Utara’’ karena pertaniannya yang maju pesat (lebih khusus di Dumoga), ditopang irigasi modern yang disuplai Bendungan Kosinggolan dan Bendungan Toraut.

Di sektor perkebunan, macam-macam komoditas berhasil memakmurkan petaninya. Mulai dari kopi (dataran tinggi Modayag menghasilkan salah satu jenis kopi berkualitas tinggi), aneka buah (jeruk satu ketika jadi buah lokal primadona), coklat, hingga cengkih dan kelapa. Khusus perkebunan kelapa, biasanya juga dipadu dengan peternakan atau penggemukan sapi.

Saya tidak akan menyebut kehutanan sebagai salah satu sektor penting. Sepengetahuan saya belum pernah ada perusahaan yang bergerak di industri ini yang meninggalkan jejak sukses. Para pengusaha kehutanan (baik yang legal maupun ilegal) terbukti berandil sangat besar terhadap sejumlah kerusakan hutan parah di seantero Mongondow. Berbeda dengan para pemainnya –terlebih ilegal-- yang justru bersulih jadi tokoh publik, bahkan kini mencoba-coba vokal dan mencitrakan diri sebagai ‘’orang bersih’’.

Tapi apa relevansi sektor-sektor itu dengan pernyataan Ketua Komisi III DPR Bolmong? Jawabannya adalah pengelolaan potensi lewat koperasi dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Berapa banyak Koperasi Unit Desa (KUD) dan koperasi dengan skalanya lebih luas yang didirikan, lebih khusus untuk menopang sektor pertanian dan perkebunan di Bolmong? Kalau Anda punya data, pertanyaan berikut: Berapa banyak yang hari ini tetap beroperasi dan sehat wal afiat?

Seingat saya Bolmong adalah salah satu ‘’kuburan subur’’ koperasi dan KUD. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan bekas pengelola koperasi dan KUD itu, atau mereka yang mengaku-ngaku pejuang koperasi, yang tetap makmur, bahkan menjadi tokoh-tokoh publik terkemuka. Contohnya Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, dan mantan Ketua DPR Sulut, Syarial Damopolii.

Fakta lain adalah BUMD perkebunan, Perusahaan Daerah (PD) Gadasera, yang (terus-terang) tak saya ketahui sudah berusia berapa tahun. Seingat saya, sejak masa kanak, PD Gadasera sudah beroperasi dengan menguasai ratusan ribu hektar perkebunan kelapa di wilayah Mongondow.

Selain punya ribuan hektar perkebunan kelapa, pengetahuan saya terhadap PD Gadasera nyaris nol, kecuali perusahaan ini kebanyakan rugi daripada untung. Tak pernah jelas benar komposisi komisaris dan direksinya. Berapa persen penguasaan saham oleh Pemkab Bolmong. Berapa luas lahan perkebunan yang dikuasai, jumlah dan usia pohon kelapa yang masih tegak, tingkat produktivitasnya, dan yang tak kalah penting: berapa besar sumbangan BUMD ini terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bolmong?

Mengelola sektor yang relatif dikuasai cukup banyak warga Bolmong (terlebih mereka yang berlatar pendidikan tinggi pertanian atau ekonomi) masih jauh dari becus, eh, sudah pula mengadang-gadang mandiri mengeksploitasi sumberdaya pertambangan yang kompleksitasnya puluhan kali lipat. Beda rencana dan angan-angan adalah yang pertama dapat diwujudkan dengan sejumlah syarat dan disiplin ketat; sedang yang kedua cuma cocok sebagai bunga-bunga leyeh pengantar tidur siang sembari dihembus angin sepoi-sepoi.

***

Tambang sebagai industri tidaklah sesederhana operasi tromol atau tong sianida, yang berhasil menetaskan segelintir warga Mongondow jadi jutawan lokal. Mengelola tambang dengan cara yang benar, berstandar tinggi, modern, dan berkelanjutan dari sisi keseimbangan lingkungan, adalah perpaduan pencapaian pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia (SDM) handal, ditopang kapital skala besar.

Belum pernah ada penemuan cebakan emas (bahan tambang paling umum di Bolmong) hanya dengan bertanya pada jailangkung atau orang kesurupan. Eksplorasi sebagai tahap paling awal dari rangkaian proses yang harus dilalui setiap pelaku usaha tambang memerlukan biaya jutaan dolar Amerika Serikat (AS). Bila terbukti di satu wilayah terdapat cebakan emas yang cukup ekonomis, tahap besar berikut adalah kontruksi yang juga menuntut investasi hingga ratusan juta atau milyaran dolar AS.

Setelah masa konstruksi, fase produksi pun tetap harus dibiayai, demikian pula dengan pasca tambang. Operasi tambang yang ideal harus diakhiri dengan proses penutupan demi menjaga keseimbangan lingkungan, yang menuntut kesiapan pembiayaan setara lebih dari sepertiga total investasi yang mesti disiapkan.

Menggunakan referensi pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang sudah jadi praktek berurat-berakar di Bolmong sebagai titik-tolak mengelola sumberdaya pertambangan lewat WPR, koperasi daerah, atau BUMD, adalah usul seenak perut yang tidak bertanggungjawab. Memangnya cukup tersedia SDM pertambangan di Mongondow, khususnya di Pemkab Bolmong, demikian pula dengan teknologi dan dana?

Pemain industri tambang besar dan mapan saja punya potensi menimbulkan masalah jangka panjang, apalagi amatir yang sekadar bermodal angan-angan.

Apakah dengan dikelola WPR, koperasi rakyat, atau BUMD, ada jaminan kontribusi terhadap PAD lebih baik dari pengelolaan oleh perusahaan tambang profesional? Tidak dapatkah kita menjadi lebih bijaksana dengan memetik pelajaran dari kondisi PD Gadasera?

Karena itu, ketimbang ‘’asal malontok’’ menunjukkan ketidaktahuan, pelajari seluruh undang-undang dan regulasi yang mengatur sektor tambang di Indonesia. Jangan lupa perkembangan terkini praktek pertambangan modern, lengkap dengan standar dan tanggungjawab yang harus dipenuhi.

Dengan begitu, setiap kali mendengar atau membaca pernyataan tokoh-tokoh publik di Mongondow tentang sektor tambang, kami (rakyat banyak ini) tak perlu balas menyemburkan keketusan: ‘’Kalu cuma modal tahu pantongan, jang bicara. So bukang depe zaman ini. So lama manusia mendarat di bulan, kong ada kamana kasiang Bapak Anggota DPR Bolmong yang Terhormat?’’***