Lengkapnya, berita
bertajuk Terkait Kejelasan Izin AMDAL:
Besok, Komisi III Hearing BLH dan Perusahaan Tambang, mengutip Chairun, ’’Untuk
menuju kemadirian keuangan daerah, harusnya Pemda cerdas memanfaatkan SDA pertambangan,
itu bisa dikelola dalam bentuk WPR, koperasi daerah dan BUMD. Nantinya ini akan
menopang PAD, kenapa itu harus diberikan kepada investor, bukan Pemda yang
mengelolanya untuk kepentingan hajat hidup rakyat Bolmong.
Jika rekomendasi ini
(PT JRBM) berlanjut, maka Pemda tidak ada keberpihakan kepada masyarakat di
wilayah Kecamatan Lolayan.’’
Keseriusan Ketua
Komisi III DPR Bolmong itu didramatisir wartawan yang menulis dengan
menggambarkan kalimat-kalimat panjang itu ditukas dengan nada kesal. Bagaimana
kira-kira nada kesal itu? Kata demi kata yang dikutip tidak menunjukkan
pernyataan itu adalah ekspresi kekesalan. Menurut hemat saya, justru lebih
memperlihatkan anggota DPR yang bersangkutan asal malontok.
***
Kekayaan sumber
daya alam Bolmong yang selama ini (atau pernah) sangat diunggulkan adalah
potensi pertanian, perkebunan, dan peternakan. Daerah ini bahkan sempat
dijuluki ‘’Lumbung Padi Sulawesi Utara’’ karena pertaniannya yang maju pesat
(lebih khusus di Dumoga), ditopang irigasi modern yang disuplai Bendungan
Kosinggolan dan Bendungan Toraut.
Di sektor
perkebunan, macam-macam komoditas berhasil memakmurkan petaninya. Mulai dari
kopi (dataran tinggi Modayag menghasilkan salah satu jenis kopi berkualitas
tinggi), aneka buah (jeruk satu ketika jadi buah lokal primadona), coklat,
hingga cengkih dan kelapa. Khusus perkebunan kelapa, biasanya juga dipadu
dengan peternakan atau penggemukan sapi.
Saya tidak akan
menyebut kehutanan sebagai salah satu sektor penting. Sepengetahuan saya belum
pernah ada perusahaan yang bergerak di industri ini yang meninggalkan jejak
sukses. Para pengusaha kehutanan (baik yang legal maupun ilegal) terbukti
berandil sangat besar terhadap sejumlah kerusakan hutan parah di seantero
Mongondow. Berbeda dengan para pemainnya –terlebih ilegal-- yang justru
bersulih jadi tokoh publik, bahkan kini mencoba-coba vokal dan mencitrakan diri
sebagai ‘’orang bersih’’.
Tapi apa relevansi
sektor-sektor itu dengan pernyataan Ketua Komisi III DPR Bolmong? Jawabannya
adalah pengelolaan potensi lewat koperasi dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Berapa
banyak Koperasi Unit Desa (KUD) dan koperasi dengan skalanya lebih luas yang
didirikan, lebih khusus untuk menopang sektor pertanian dan perkebunan di Bolmong?
Kalau Anda punya data, pertanyaan berikut: Berapa banyak yang hari ini tetap beroperasi
dan sehat wal afiat?
Seingat saya
Bolmong adalah salah satu ‘’kuburan subur’’ koperasi dan KUD. Kenyataan ini
berbanding terbalik dengan bekas pengelola koperasi dan KUD itu, atau mereka
yang mengaku-ngaku pejuang koperasi, yang tetap makmur, bahkan menjadi
tokoh-tokoh publik terkemuka. Contohnya Walikota Kota Kotamobagu (KK),
Djelantik Mokodompit, dan mantan Ketua DPR Sulut, Syarial Damopolii.
Fakta lain adalah
BUMD perkebunan, Perusahaan Daerah (PD) Gadasera, yang (terus-terang) tak saya
ketahui sudah berusia berapa tahun. Seingat saya, sejak masa kanak, PD Gadasera
sudah beroperasi dengan menguasai ratusan ribu hektar perkebunan kelapa di
wilayah Mongondow.
Selain punya
ribuan hektar perkebunan kelapa, pengetahuan saya terhadap PD Gadasera nyaris
nol, kecuali perusahaan ini kebanyakan rugi daripada untung. Tak pernah jelas
benar komposisi komisaris dan direksinya. Berapa persen penguasaan saham oleh
Pemkab Bolmong. Berapa luas lahan perkebunan yang dikuasai, jumlah dan usia
pohon kelapa yang masih tegak, tingkat produktivitasnya, dan yang tak kalah
penting: berapa besar sumbangan BUMD ini terhadap Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Bolmong?
Mengelola sektor
yang relatif dikuasai cukup banyak warga Bolmong (terlebih mereka yang berlatar
pendidikan tinggi pertanian atau ekonomi) masih jauh dari becus, eh, sudah pula
mengadang-gadang mandiri mengeksploitasi sumberdaya pertambangan yang
kompleksitasnya puluhan kali lipat. Beda rencana dan angan-angan adalah yang
pertama dapat diwujudkan dengan sejumlah syarat dan disiplin ketat; sedang yang
kedua cuma cocok sebagai bunga-bunga leyeh pengantar tidur siang sembari dihembus
angin sepoi-sepoi.
***
Tambang sebagai
industri tidaklah sesederhana operasi tromol
atau tong sianida, yang berhasil menetaskan segelintir warga Mongondow jadi jutawan
lokal. Mengelola tambang dengan cara yang benar, berstandar tinggi, modern, dan
berkelanjutan dari sisi keseimbangan lingkungan, adalah perpaduan pencapaian
pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia (SDM) handal, ditopang kapital
skala besar.
Belum pernah ada
penemuan cebakan emas (bahan tambang paling umum di Bolmong) hanya dengan
bertanya pada jailangkung atau orang kesurupan. Eksplorasi sebagai tahap paling
awal dari rangkaian proses yang harus dilalui setiap pelaku usaha tambang
memerlukan biaya jutaan dolar Amerika Serikat (AS). Bila terbukti di satu
wilayah terdapat cebakan emas yang cukup ekonomis, tahap besar berikut adalah
kontruksi yang juga menuntut investasi hingga ratusan juta atau milyaran dolar
AS.
Setelah masa
konstruksi, fase produksi pun tetap harus dibiayai, demikian pula dengan pasca
tambang. Operasi tambang yang ideal harus diakhiri dengan proses penutupan demi
menjaga keseimbangan lingkungan, yang menuntut kesiapan pembiayaan setara lebih
dari sepertiga total investasi yang mesti disiapkan.
Menggunakan
referensi pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang sudah jadi praktek
berurat-berakar di Bolmong sebagai titik-tolak mengelola sumberdaya
pertambangan lewat WPR, koperasi daerah, atau BUMD, adalah usul seenak perut
yang tidak bertanggungjawab. Memangnya cukup tersedia SDM pertambangan di
Mongondow, khususnya di Pemkab Bolmong, demikian pula dengan teknologi dan
dana?
Pemain industri
tambang besar dan mapan saja punya potensi menimbulkan masalah jangka panjang,
apalagi amatir yang sekadar bermodal angan-angan.
Apakah dengan
dikelola WPR, koperasi rakyat, atau BUMD, ada jaminan kontribusi terhadap PAD
lebih baik dari pengelolaan oleh perusahaan tambang profesional? Tidak dapatkah
kita menjadi lebih bijaksana dengan memetik pelajaran dari kondisi PD Gadasera?
Karena itu,
ketimbang ‘’asal malontok’’ menunjukkan ketidaktahuan, pelajari seluruh
undang-undang dan regulasi yang mengatur sektor tambang di Indonesia. Jangan
lupa perkembangan terkini praktek pertambangan modern, lengkap dengan standar
dan tanggungjawab yang harus dipenuhi.
Dengan begitu, setiap
kali mendengar atau membaca pernyataan tokoh-tokoh publik di Mongondow tentang
sektor tambang, kami (rakyat banyak ini) tak perlu balas menyemburkan
keketusan: ‘’Kalu cuma modal tahu
pantongan, jang bicara. So bukang depe zaman ini. So lama manusia mendarat di
bulan, kong ada kamana kasiang Bapak Anggota DPR Bolmong yang Terhormat?’’***