Proses yang kemudian berlangsung membuktikan Salihi
Mokodongan hanya layak ‘’dicalonkan’’ sebagai Wabup Bolmong. Apa yang salah
dengan fakta tersebut? Dimana pula inkonsistensi saya?
Tidak akan diperdebatkan bahwa saya terimpresi dengan
prestasi pribadinya (merintis usaha dari nol, aktivitasnya di dunia politik dan
kemasyarakat); tetapi dengan catatan bahwa di banyak peristiwa politik dia
terkesan hanya ‘’dimanfaatkan’’. Mengapa bagian sepenting ini tidak dikutip
kelompok sok tahu di balik Metamorfosis
Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu!’’ (1 dan 2) –khususnya yang mencermati
tulisan-tulisan saya tentang Salihi Mokodongan-Yani Tuuk.
Bahkan untuk licik pun ternyata kalian tak punya kecerdasan
cukup. Blog saya masih di situ,
demikian pula tulisan-tulisan di dalamnya. Silahkan dipelototi tulisan demi
tulisan dan kalau langit kalian cukup tinggi, subtansi utamanya adalah:
kesetiaan saya bukan pada orang, tetapi ide dan visi.
Kedua, Kamis (28
April 2012) ketika Salihi Mokodongan-Yani Tuuk memenangkan gugatan Pilkada
Bolmong di MK, saya menulis Hore…! Di
alinea ketiga terakhir, saya menyatakan: Agar
mereka selalu awas, kontrol dan kritik harus terus-menerus dilakukan dengan
ketat. Saya, hari ini –di saat kebanyakan warga Bolmong meneriakkan ‘’hore…!’’
menegaskan: Saya akan selalu mengambil jarak dengan kekuasaan. Artinya, sampai
di sini dukungan saya terhadap Om Salihi dan Yani Tuuk. Setelah itu, dukungan saya
terhadap mereka berdua adalah kritik dan koreksi yang mungkin saja bakal
memerahkan kuping dan memicu amarah.
Ketiga, sangat
bathil menafsir-nafsir dan menuduh sikap saya terhadap isu publik dilandasi
kepentingan pribadi, apalagi mengaitkan-ngaitkan dengan kerabat. Track record saya dalam 15 tahun terakhir menunjukkan:
kritik terhadap para elit politik dan birokrasi di Bolmong tidak pernah menjadi
dagangan atau nilai tawar jabatan untuk kerabat, saudara kandung sekali pun.
Berbeda tentu dengan cecungguk-cecungguk yang bahkan
bersedia merendahkan harga diri demi sekadar dianggap orang dekat Walikota atau
Bupati, naik sebagai kepala seksi, kepala bagian, atau kepala SKP. Saya bisa
menunjuk hidung orang per orang, terutama yang terlibat di tulisan berisi
serapah terhadap saya, apa saja yang mereka jual semata demi jabatan.
Benar, kerabat saya, yang pertama Kakak Ipar, bergeser
posisinya di-rolling jabatan eselon
II yang dilakukan Bupati Bolmong beberapa waktu lalu. Tapi dia masih berada di
eselon II. Artinya, bahkan pengetahuan paling dasar masih salah, lalu apa yang
bisa dibanggakan dari orang-orang di balik Metamorfosis
Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu!’’ (1 dan 2)?
Kedua, adik kandung saya, Parman Ginano, mundur sebagai
Sespri Bupati Bolmong. Mundur, bukan dipecat.
Apakah saya terlibat, menyodorkan atau mendorong Parman
menjadi Sespri. Sewaktu mengetahui rencana menjadikan dia Sespri Bupati, saya
menegur yang mengusulkan, menyatakan ketidak-setujuan. Sepengetahuan saya,
rencana itu terus berjalan sampai satu ketika Parman menelepon dan menginformasikan
bahwa dia berniat mundur karena ada hal-hal prinsipil yang sudah tidak sejalan.
Tanyakan pada Bupati Bolmong apakah saya pernah menelepon,
bicara atau menyinggung mundurnya adik kandung saya sebagai Sespri (posisi yang
dianggap sebagai mata, telinga, tangan dan sebagian otak Bupati). Sama sekali
tidak. Parman sudah dewasa, memahami dengan baik tugasnya sebagai birokrat, dan
sudah menerima konsekwensi apa pun sebagai adik kandung saya.
Andai berkeinginan, apa susahnya saya meminta jabatan untuk
kerabat dekat? Orang-orang yang tidak punya saham politik dan pengaruh sosial
(hanya mengandalkan lidah dan liur) di Bolmong saja banyak yang menghiba
melakukan itu, apalagi saya yang pantang merendahkan kepala di hadapan
politikus?
Harga diri kami, keluarga dan kakak-beradik, tidak semurah
itu. Kami tidak pula dibesarkan dan di sekolahkan dengan duit korupsi. Insya
Allah kalau pun terantuk rintangan, kami tidak akan merendahkan diri di telapak
sepatu orang-orang yang ubun-ubunnya lebih pantas dijadikan tatakan ludah.
Tuduhan di luar konteks itu pantas membuat saya marah dan
akan membela harga diri kerabat-kerabat yang bertahun-tahun secara langsung
jadi korban (terutama karir mereka terhambat), sebab saya bersikap kritis dan
tak mau berkompromi. Bahkan bila pembelaan itu harus berdarah-darah, saya akan
lakukan. Kami dilahirkan bukan sebagai penakut dan pengecut; dan tidak akan
pernah menjadi penakut dan pengecut.
Cuma Kulit
Apakah tanpa hujan dan angin mendadak saya harus mengkritik
Bupati Bolmong, istri dan beberapa antek di sekitarnya? Oho, orang-orang di
balik tulisan penghujatan pribadi terhadap saya memang tidak penting bahkan
untuk info sesepele itu. Tanyakan saja pada Bupati berapa kali isu-isu tersebut
sudah disampaikan ke dia, siapa saja yang sudah menyampaikan dan apa tindakan
yang diambil?
Lagipula, apa yang saya tuliskan hanyalah yang sudah
dilihat, diketahui dan dipergunjingkan orang banyak. Cuma kulit semata. Saya
masih menghormati Salihi Mokodongan sebagai pribadi, istri dan keluarganya.
Tanpa penghormatan itu, saya bisa menulis lebih brutal dan kejam; lalu siapa
pun yang keberatan boleh sama-sama kita ke pihak berwenang.
Tidak pula saya sebutkan bagaimana orang-orang yang berada
di sekitar istri Bupati berlaku memalukan, hanya sekadar demi benda-benda dan
fasilitas agar tampak ‘’kaya’’, ‘’punya jabatan’’ dan ‘’terhormat’’. Cuih!
Jadi, para pembela Bupati, kritik yang saya tulis dalam dua
pekan terakhir tidak berbeda dengan teriakan anak kecil di The Emperor’s New Clothes. Tapi kalau Anda sekalian ingin bukan
peringatan yang saya sampaikan, konsultasilah dengan Bupati. Ada hal besar yang
saya tahu dan miliki, yang bukan hanya seketika menghentikan mulut-mulut kotor penuh
puja-puji di sekitar Bupati, tapi bisa jadi jabatan yang kini dia duduki.
Camkan, saya tidak sedang mengertak!***