Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 16, 2012

O, Cuma Proklamasi Orang-Orang Bermartabat Receh (2)

KEMBALI pada caci-maki yang ditujukan ke saya. Sejelasnya, pertama, konsistensi seperti apa yang ingin diukur dari saya? Benar, saya menulis bahwa Salihi Mokodongan ‘’harusnya’’ layak dicalonkan sebagai Bupati Bolmong. Itu sepenuhnya benar. Ada kata ‘’harusnya’’ dan ‘’dicalonkan’’ atau ‘’sebagai calon’’.

Proses yang kemudian berlangsung membuktikan Salihi Mokodongan hanya layak ‘’dicalonkan’’ sebagai Wabup Bolmong. Apa yang salah dengan fakta tersebut? Dimana pula inkonsistensi saya?

Tidak akan diperdebatkan bahwa saya terimpresi dengan prestasi pribadinya (merintis usaha dari nol, aktivitasnya di dunia politik dan kemasyarakat); tetapi dengan catatan bahwa di banyak peristiwa politik dia terkesan hanya ‘’dimanfaatkan’’. Mengapa bagian sepenting ini tidak dikutip kelompok sok tahu di balik Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu!’’ (1 dan 2) –khususnya yang mencermati tulisan-tulisan saya tentang Salihi Mokodongan-Yani Tuuk.

Bahkan untuk licik pun ternyata kalian tak punya kecerdasan cukup. Blog saya masih di situ, demikian pula tulisan-tulisan di dalamnya. Silahkan dipelototi tulisan demi tulisan dan kalau langit kalian cukup tinggi, subtansi utamanya adalah: kesetiaan saya bukan pada orang, tetapi ide dan visi.

Kedua, Kamis (28 April 2012) ketika Salihi Mokodongan-Yani Tuuk memenangkan gugatan Pilkada Bolmong di MK, saya menulis Hore…! Di alinea ketiga terakhir, saya menyatakan: Agar mereka selalu awas, kontrol dan kritik harus terus-menerus dilakukan dengan ketat. Saya, hari ini –di saat kebanyakan warga Bolmong meneriakkan ‘’hore…!’’ menegaskan: Saya akan selalu mengambil jarak dengan kekuasaan. Artinya, sampai di sini dukungan saya terhadap Om Salihi dan Yani Tuuk. Setelah itu, dukungan saya terhadap mereka berdua adalah kritik dan koreksi yang mungkin saja bakal memerahkan kuping dan memicu amarah.

Ketiga, sangat bathil menafsir-nafsir dan menuduh sikap saya terhadap isu publik dilandasi kepentingan pribadi, apalagi mengaitkan-ngaitkan dengan kerabat. Track record  saya dalam 15 tahun terakhir menunjukkan: kritik terhadap para elit politik dan birokrasi di Bolmong tidak pernah menjadi dagangan atau nilai tawar jabatan untuk kerabat, saudara kandung sekali pun.

Berbeda tentu dengan cecungguk-cecungguk yang bahkan bersedia merendahkan harga diri demi sekadar dianggap orang dekat Walikota atau Bupati, naik sebagai kepala seksi, kepala bagian, atau kepala SKP. Saya bisa menunjuk hidung orang per orang, terutama yang terlibat di tulisan berisi serapah terhadap saya, apa saja yang mereka jual semata demi jabatan.

Benar, kerabat saya, yang pertama Kakak Ipar, bergeser posisinya di-rolling jabatan eselon II yang dilakukan Bupati Bolmong beberapa waktu lalu. Tapi dia masih berada di eselon II. Artinya, bahkan pengetahuan paling dasar masih salah, lalu apa yang bisa dibanggakan dari orang-orang di balik Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu!’’ (1 dan 2)?

Kedua, adik kandung saya, Parman Ginano, mundur sebagai Sespri Bupati Bolmong. Mundur, bukan dipecat.

Apakah saya terlibat, menyodorkan atau mendorong Parman menjadi Sespri. Sewaktu mengetahui rencana menjadikan dia Sespri Bupati, saya menegur yang mengusulkan, menyatakan ketidak-setujuan. Sepengetahuan saya, rencana itu terus berjalan sampai satu ketika Parman menelepon dan menginformasikan bahwa dia berniat mundur karena ada hal-hal prinsipil yang sudah tidak sejalan.

Tanyakan pada Bupati Bolmong apakah saya pernah menelepon, bicara atau menyinggung mundurnya adik kandung saya sebagai Sespri (posisi yang dianggap sebagai mata, telinga, tangan dan sebagian otak Bupati). Sama sekali tidak. Parman sudah dewasa, memahami dengan baik tugasnya sebagai birokrat, dan sudah menerima konsekwensi apa pun sebagai adik kandung saya.

Andai berkeinginan, apa susahnya saya meminta jabatan untuk kerabat dekat? Orang-orang yang tidak punya saham politik dan pengaruh sosial (hanya mengandalkan lidah dan liur) di Bolmong saja banyak yang menghiba melakukan itu, apalagi saya yang pantang merendahkan kepala di hadapan politikus?

Harga diri kami, keluarga dan kakak-beradik, tidak semurah itu. Kami tidak pula dibesarkan dan di sekolahkan dengan duit korupsi. Insya Allah kalau pun terantuk rintangan, kami tidak akan merendahkan diri di telapak sepatu orang-orang yang ubun-ubunnya lebih pantas dijadikan tatakan ludah.

Tuduhan di luar konteks itu pantas membuat saya marah dan akan membela harga diri kerabat-kerabat yang bertahun-tahun secara langsung jadi korban (terutama karir mereka terhambat), sebab saya bersikap kritis dan tak mau berkompromi. Bahkan bila pembelaan itu harus berdarah-darah, saya akan lakukan. Kami dilahirkan bukan sebagai penakut dan pengecut; dan tidak akan pernah menjadi penakut dan pengecut.

Cuma Kulit

Apakah tanpa hujan dan angin mendadak saya harus mengkritik Bupati Bolmong, istri dan beberapa antek di sekitarnya? Oho, orang-orang di balik tulisan penghujatan pribadi terhadap saya memang tidak penting bahkan untuk info sesepele itu. Tanyakan saja pada Bupati berapa kali isu-isu tersebut sudah disampaikan ke dia, siapa saja yang sudah menyampaikan dan apa tindakan yang diambil?

Lagipula, apa yang saya tuliskan hanyalah yang sudah dilihat, diketahui dan dipergunjingkan orang banyak. Cuma kulit semata. Saya masih menghormati Salihi Mokodongan sebagai pribadi, istri dan keluarganya. Tanpa penghormatan itu, saya bisa menulis lebih brutal dan kejam; lalu siapa pun yang keberatan boleh sama-sama kita ke pihak berwenang.

Tidak pula saya sebutkan bagaimana orang-orang yang berada di sekitar istri Bupati berlaku memalukan, hanya sekadar demi benda-benda dan fasilitas agar tampak ‘’kaya’’, ‘’punya jabatan’’ dan ‘’terhormat’’. Cuih!

Jadi, para pembela Bupati, kritik yang saya tulis dalam dua pekan terakhir tidak berbeda dengan teriakan anak kecil di The Emperor’s New Clothes. Tapi kalau Anda sekalian ingin bukan peringatan yang saya sampaikan, konsultasilah dengan Bupati. Ada hal besar yang saya tahu dan miliki, yang bukan hanya seketika menghentikan mulut-mulut kotor penuh puja-puji di sekitar Bupati, tapi bisa jadi jabatan yang kini dia duduki.

Camkan, saya tidak sedang mengertak!***