Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, May 28, 2012

Hormat Pada Baginda Walikota!

DI BAGDAD yang indah, makmur dan sentosa, Khalifah Harun al Pusingah bertahta dengan nyaman. Demikian permainya negeri yang dia pimpin hingga satu-satunya pekerjaan yang menyibukkan Baginda Khalifah adalah ‘’santai-santai dan tiduran di sofa kebesaran’’.

Dalam menjalankan pemerintahan Khalifah dibantu seorang penasihat bernama Iznogoud yang tersohor karena tingginya 1,5 meter (sudah dengan selop) serta kelicikan dan satu-satunya niat yang dia tuju: menjadi Khalifah pengganti Khalifah. Duo ini digenapi ajudan Iznogoud yang bernama Jilat Darat.

Saya mengoleksi komik Petualangan Iznogoud yang Tersohor karya Goscinny dan Tabary dengan semangat seorang bocah, sebagaimana selama ini juga mengumpulkan satu demi satu komik-komik bermutu lainnya (yang terakhir serial Cedric dari Laudec dan Cauvin serta Agen Polisi 212 karya Daniel Kox dan Raoul Cauvin). Di banyak kesempatan komik-komik itu menjadi bacaan menyegarkan.

Di tangan Goscinny dan Tabary kekuasaan dan ambisi menjadi sumur yang terus-menerus mengalirkan humor. Kita boleh mengatakan Khalifah Harun al Pusingah adalah parodi dari Khalifah Harun Ar-Rasyid (766-809) yang tersohor. Peradaban manusia mengenal periode kepemimpinannya sebagai masa keemasan Islam (The Golden Age of Islam).

Tapi di komik Goscinny dan Tabary tokoh utamanya bukanlah Khalifah Harun al Pusingah. Titik pusat dari seluruh cerita adalah Iznogoud. Segala tindak-tanduk dan kelakuan penasihat Khalifah ini seolah demi kehormatan junjungannya. Yang sebenarnya, Iznogoud menjalankan tipu-muslihat dan aneka taktik agar Khalifah tersingkir dari singasana, lalu dia tampil sebagai pengganti.

***

Kamis (24 Mei 2012) saya menulis ‘’Lanjutkan Sampe di Got?” yang mengkritisi diusungnya kain rentang ‘’Lanjutkan’’ di tengah perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Kotamobagu (KK) ke-5 yang berlangsuung Rabu (23 Maret 2012). Tulisan itu sebenarnya belum tuntas, karena masih ada tanda-tanya yang menggantung di benak saya.

Di foto perayaan HUT KK yang dipublikasi http://beritamanado.com/ dan saya rujuk, kain rentang ‘’Lanjutkan’’ dilatari anak-anak berpakaian serba putih dan dalam posisi sujud. Mulanya saya menduga posisi itu bagian dari gerak tari yang dipentaskan mendahului Tari Dana-Dana. Barulah pada Sabtu (26 Mei 2012) saya mendapatkan penjelasan lebih komprehensif dari sejumlah orang yang hadir di event tersebut.

Penjelasan yang sangat mengejutkan. Ternyata posisi sujud itu dilakukan sebelum ribuan siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) mulai menarikan Tarian Dana-Dana. Arahnya: ke panggung di mana Walikota KK, Djelantik Mokodompit dan jajarannya serta para undangan duduk dengan takzim.

Gerakan itu sepegetahuan saya bukanlah bagian dari Tari Dana-Dana. Kalau begitu, apa maksud koreografer atau pelatih Tari Dana-Dana dan panitia yang terlibat menggelar sujud massal ke arah panggung? Pertanyaan ini bukan sekadar keingintahuan biasa. Dan memang saya berprasangka bahwa ada sejumlah oknum yang mengada-adakan keanehan-keanehan tak perlu untuk ‘’mencari muka’’ dan menjilat, khususnya ke Walikota KK sebagai sosok utama di perayaan HUT itu.

Setiap aspek dari sebuah event publik pasti disiapkan lewat rencana yang tersusun rapi, langkah demi langkah, tahapan demi tahapan. Apa yang ditampilkan bukan sekadar karena ada yang iseng memasukkan di skenario, tetapi sebab ada pesan-pesan yang terkandung dan dikandung di dalamnya.

Terlebih tarian. Orang paling awam seni dan kesenian pun tahu, setiap gerakan dari satu rangkaian tarian adalah simbol dari ‘’sesuatu’’ yang ingin disampaikan sang koreografer. Sebagai satu simbol, tak ada tafsir lain dari gerakan sujud kecuali penyerahan diri (dalam Islam gerakan ini bermakna sangat tinggi). Di luar itu, artinya adalah kultus terhadap sesuatu.

Untunglah putra-putra saya, terutama si bungsu Iben, tidak menjadi bagian dari ribuan siswa-siswi SD dan SMP yang bersujud massal itu, hingga saya terbebas dari kemarahan mendidih. Saya dibesarkan dengan ajaran bahwa sujud hanya untuk Tuhan dan orangtua. Di luar itu, prek!

Mencium tangan saja, yang kian jadi praktek biasa sebagai bentuk penghormatan (pada yang lebih tua atau yang dianggap tokoh), saya haramkan. Saya, sebagaimana yang juga saya ajarkan pada anak-anak, hanya mencium tangan kedua orangtua, mertua, serta kakek dan nenek. Selebihnya, salaman saja sudah cukup mewakili seluruh maksud penghormatan yang ingin disampaikan.

Perkara mencium tangan, saya selalu teringat bagaimana guru saya dan beberapa teman, Kiai Arifin Assagaf, yang refleks menampik bila ada gelagat orang yang bersalaman akan mencium tangannya. Kalau salah satu di antara kami mencoba-coba melakukan itu (yang sesungguhnya dia tahu sekadar becanda), tangan kanan Kiai Arifin pasti segera mendarat di kepala diikuti bunyi garing ‘’plak’’.

***

Kultus individu biasanya tidak lahir begitu saja. Selalu ada yang memulai, melakukan secara terencana dan terus-menerus (di banyak kasus dengan pemaksaan), lalu menjadi kewajiban yang bila diabaikan membawa konsekwensi serius.

Contoh lain dari adanya upaya dan rencana kultus individu itu adalah peristiwa berikut. Usai Lebaran 1432 H lalu, Walikota Djelantik Mokodompit diundang menghadiri halal bi halal Keluarga Besar Manoppo yang digelar di Kotamobagu. Mengingat tanggungjawab dan kesibukannya, galib belaka bila Walikota terlambat tiba dan akhirnya acara yang dihadiri sanak-kerabat Manoppo dari berbagai daerah ini baru dimulai selewat pukul 21.00 Wita.

Pembaca, molornya acara tidak masalah. Di keseharian saja hal itu dapat dimaklumi dan dimahfuni, apalagi di saat halal bi halal. Yang sangat mengganggu justru penceramah yang diundang menyampaikan hikmah pada para hadirin, yang berulang kali menyapa Djelantik Mokodompit dengan sebutan ‘’Baginda Walikota’’.

Saya memang tidak hadir di acara tersebut. Tetapi malam itu beberapa kerabat dekat yang gerah  mengirimkan BlackBerry Messenger (BBM) dan pesan pendek (SMS), menanyakan pendapat saya terhadap sapaan ‘’Baginda Walikota’’. Salah satu jawaban yang saya ingat persis adalah: ‘’Mari kita bersiap satu saat menyaksikan Walikota KK mengendarai onta atau kuda ke kantor dan di sepanjang jalan rakyat berbaris sembari menunduk dengan khimat.’’

Tokoh rekaan Goscinny dan Tabary, Iznogoud, kini menjelma jadi nyata di KK. Mungkin saya harus memasukkan salah satu komik favorit ini ke lemari dan mengunci rapat-rapat, karena sudah kalah lucu dibanding ulah sejumlah orang yang memaksakan aneka kultus ke Walikota Djelantik Mokodompit.***