Dalam menjalankan pemerintahan Khalifah dibantu seorang
penasihat bernama Iznogoud yang tersohor karena tingginya 1,5 meter (sudah
dengan selop) serta kelicikan dan satu-satunya niat yang dia tuju: menjadi
Khalifah pengganti Khalifah. Duo ini digenapi ajudan Iznogoud yang bernama
Jilat Darat.
Saya mengoleksi komik Petualangan
Iznogoud yang Tersohor karya Goscinny dan Tabary dengan semangat seorang
bocah, sebagaimana selama ini juga mengumpulkan satu demi satu komik-komik bermutu
lainnya (yang terakhir serial Cedric
dari Laudec dan Cauvin serta Agen Polisi
212 karya Daniel Kox dan Raoul Cauvin). Di banyak kesempatan komik-komik
itu menjadi bacaan menyegarkan.
Di tangan Goscinny dan Tabary kekuasaan dan ambisi menjadi
sumur yang terus-menerus mengalirkan humor. Kita boleh mengatakan Khalifah
Harun al Pusingah adalah parodi dari Khalifah Harun Ar-Rasyid (766-809) yang
tersohor. Peradaban manusia mengenal periode kepemimpinannya sebagai masa
keemasan Islam (The Golden Age of Islam).
Tapi di komik Goscinny dan Tabary tokoh utamanya bukanlah Khalifah Harun al Pusingah. Titik pusat dari seluruh cerita adalah Iznogoud. Segala
tindak-tanduk dan kelakuan penasihat Khalifah ini seolah demi kehormatan
junjungannya. Yang sebenarnya, Iznogoud menjalankan tipu-muslihat dan aneka
taktik agar Khalifah tersingkir dari singasana, lalu dia tampil sebagai
pengganti.
***
Kamis (24 Mei 2012) saya menulis ‘’Lanjutkan Sampe di Got?” yang mengkritisi diusungnya kain rentang
‘’Lanjutkan’’ di tengah perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Kotamobagu (KK)
ke-5 yang berlangsuung Rabu (23 Maret 2012). Tulisan itu sebenarnya belum
tuntas, karena masih ada tanda-tanya yang menggantung di benak saya.
Di foto perayaan HUT KK yang dipublikasi http://beritamanado.com/ dan saya rujuk,
kain rentang ‘’Lanjutkan’’ dilatari anak-anak berpakaian serba putih dan dalam
posisi sujud. Mulanya saya menduga posisi itu bagian dari gerak tari yang
dipentaskan mendahului Tari Dana-Dana. Barulah pada Sabtu (26 Mei 2012) saya
mendapatkan penjelasan lebih komprehensif dari sejumlah orang yang hadir di event tersebut.
Penjelasan yang sangat mengejutkan. Ternyata posisi sujud
itu dilakukan sebelum ribuan siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) mulai menarikan Tarian Dana-Dana. Arahnya: ke panggung
di mana Walikota KK, Djelantik Mokodompit dan jajarannya serta para undangan
duduk dengan takzim.
Gerakan itu sepegetahuan saya bukanlah bagian dari Tari
Dana-Dana. Kalau begitu, apa maksud koreografer atau pelatih Tari Dana-Dana dan
panitia yang terlibat menggelar sujud massal ke arah panggung? Pertanyaan ini
bukan sekadar keingintahuan biasa. Dan memang saya berprasangka bahwa ada
sejumlah oknum yang mengada-adakan keanehan-keanehan tak perlu untuk ‘’mencari
muka’’ dan menjilat, khususnya ke Walikota KK sebagai sosok utama di perayaan
HUT itu.
Setiap aspek dari sebuah event
publik pasti disiapkan lewat rencana yang tersusun rapi, langkah demi langkah,
tahapan demi tahapan. Apa yang ditampilkan bukan sekadar karena ada yang iseng
memasukkan di skenario, tetapi sebab ada pesan-pesan yang terkandung dan
dikandung di dalamnya.
Terlebih tarian. Orang paling awam seni dan kesenian pun
tahu, setiap gerakan dari satu rangkaian tarian adalah simbol dari ‘’sesuatu’’
yang ingin disampaikan sang koreografer. Sebagai satu simbol, tak ada tafsir
lain dari gerakan sujud kecuali penyerahan diri (dalam Islam gerakan ini
bermakna sangat tinggi). Di luar itu, artinya adalah kultus terhadap sesuatu.
Untunglah putra-putra saya, terutama si bungsu Iben, tidak
menjadi bagian dari ribuan siswa-siswi SD dan SMP yang bersujud massal itu,
hingga saya terbebas dari kemarahan mendidih. Saya dibesarkan dengan ajaran
bahwa sujud hanya untuk Tuhan dan orangtua. Di luar itu, prek!
Mencium tangan saja, yang kian jadi praktek biasa sebagai
bentuk penghormatan (pada yang lebih tua atau yang dianggap tokoh), saya
haramkan. Saya, sebagaimana yang juga saya ajarkan pada anak-anak, hanya
mencium tangan kedua orangtua, mertua, serta kakek dan nenek. Selebihnya,
salaman saja sudah cukup mewakili seluruh maksud penghormatan yang ingin
disampaikan.
Perkara mencium tangan, saya selalu teringat bagaimana guru
saya dan beberapa teman, Kiai Arifin Assagaf, yang refleks menampik bila ada
gelagat orang yang bersalaman akan mencium tangannya. Kalau salah satu di
antara kami mencoba-coba melakukan itu (yang sesungguhnya dia tahu sekadar
becanda), tangan kanan Kiai Arifin pasti segera mendarat di kepala diikuti
bunyi garing ‘’plak’’.
***
Kultus individu biasanya tidak lahir begitu saja. Selalu ada
yang memulai, melakukan secara terencana dan terus-menerus (di banyak kasus
dengan pemaksaan), lalu menjadi kewajiban yang bila diabaikan membawa
konsekwensi serius.
Contoh lain dari adanya upaya dan rencana kultus individu
itu adalah peristiwa berikut. Usai Lebaran 1432 H lalu, Walikota Djelantik
Mokodompit diundang menghadiri halal bi
halal Keluarga Besar Manoppo yang digelar di Kotamobagu. Mengingat
tanggungjawab dan kesibukannya, galib belaka bila Walikota terlambat tiba dan
akhirnya acara yang dihadiri sanak-kerabat Manoppo dari berbagai daerah ini
baru dimulai selewat pukul 21.00 Wita.
Pembaca, molornya
acara tidak masalah. Di keseharian saja hal itu dapat dimaklumi dan dimahfuni,
apalagi di saat halal bi halal. Yang
sangat mengganggu justru penceramah yang diundang menyampaikan hikmah pada para
hadirin, yang berulang kali menyapa Djelantik Mokodompit dengan sebutan
‘’Baginda Walikota’’.
Saya memang tidak hadir di acara tersebut. Tetapi malam itu beberapa
kerabat dekat yang gerah mengirimkan BlackBerry Messenger (BBM) dan pesan
pendek (SMS), menanyakan pendapat saya terhadap sapaan ‘’Baginda Walikota’’.
Salah satu jawaban yang saya ingat persis adalah: ‘’Mari kita bersiap satu saat
menyaksikan Walikota KK mengendarai onta atau kuda ke kantor dan di sepanjang
jalan rakyat berbaris sembari menunduk dengan khimat.’’
Tokoh rekaan Goscinny dan Tabary, Iznogoud, kini menjelma
jadi nyata di KK. Mungkin saya harus memasukkan salah satu komik favorit ini ke
lemari dan mengunci rapat-rapat, karena sudah kalah lucu dibanding ulah
sejumlah orang yang memaksakan aneka kultus ke Walikota Djelantik
Mokodompit.***