Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 9, 2012

Somasi? ‘’Inta…!’’

KURANG dari 24 jam setelah diunggah, tulisan Pasal ‘’P’’ DPR ‘’Biongo’’ yang juga dipublikasi dua media terbitan Kotamobagu, Radar Totabuan dan Media Totabuan, Kamis (3 Mei 2012), ditanggapi beberapa orang yang tahu persis pangkal isunya. Sejumlah tanggapan bahkan berisi info baru yang semestinya sangat menarik bagi kalangan media.

Salah seorang ‘’orang dalam’’ yang tahu persis latar dilaporkannya wartawan Radar Totabuan, Mawardi Mamonto, ke Polsek Urban Kotabunan oleh Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR Bolaang Mongondow Timur (Boltim), James Tine, blak-blakan menceritakan kisah di balik layarnya. Sejatinya, kisah ‘’orang dalam’’ ini, Ketua BK DPR Boltim tidak bermasalah dengan berita yang ditulis Mawardi.

Bahkan ketika James Tine sudah melaporkan dugaan pencemaran nama baik lewat pemberitaan dan dia bertemu Mawardi, keduanya justru terlibat percakapan akrab dan lepas. Ketua BK baru menjelaskan ketika Mawardi yang sebelumnya diberitahu sesama wartawan bahwa dia dilaporkan ke kepolisian, mengkonfirmasi kebenaran informasi itu.

Penjelasan Ketua BK DPR Boltim (kurang lebih) bahwa dia senang institusinya dan anggota dewan yang terhormat dikritik. Perjalanan dinas, kunjungan kerja (Kunker), atau bimbingan teknis (Bimtek), silahkan diberitakan. Termasuk siapa yang kerap melakukan perjalanan dinas, siapa yang doyan Kunker dan Bimtek, pun yang rajin masuk kantor dan yang hobi bolos.

Bahwa sebagai Ketua BK yang tugasnya mengawal kehormatan anggota dewan, James Tine terpaksa melaporkan Mawardi ke kepolisian karena dia didesak sejumlah anggota DPR Boltim. Yang menjadi alasan tercemarnya kehormatan anggota DPR adalah bagian dimana Mawardi menulis telah diagunkannya Surat Keputusan (SK) pengangkatan sebagai anggota DPR ke bank.

Kalau benar demikian dasar perasaan tercemarnya kehormatan itu, ada dua cara pandang yang dapat digunakan: Pertama, SK tersebut adalah dokumen yang melekat pada seorang tokoh publik yang dipilih para konstituen lewat Pemilihan Umum (Pemilu). Dapat diartikan konstituen memang berhak tahu apa yang diperbuat wakil mereka, termasuk diperlakukan seperti apa dokumen negara yang menjadi dasar sah-nya seseorang sebagai anggota DPR.

Kedua, benar bahwa anggota DPR dipilih orang banyak, tetapi SK pengangkatan mereka adalah obyek pribadi dan karenanya konstituen tidak berhak tahu diapakan dan dikemanakan? Kalau cara pandang ini yang digunakan, lalu dari sisi publik apa dasar seseorang resmi dan berhak menyandang sabutan anggota DPR yang terhormat?

Saya sependapat cara pandang pertamalah yang lebih tepat. Dengan demikian anggota DPR yang sudah mengagunkan SK-nya tidak berhak merasa tercemar kehormatannya ketika media menyiarkan isu tersebut. Semestinya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Boltim dan rakyatlah yang merasa kehormatannya cacat sebab belum mampu menyediakan anggaran yang pantas untuk DPR.

Perlu dipikirkan kartu kawan, kotak sumbangan, sponsorship dan donasi, serta komite khusus yang melibatkan semua pemangku kepentingan DPR di Boltim, supaya kecukupan anggaran dan kesejahteraan mereka dapat dimaksimalkan. Tidak elok rasanya menuntut DPR banting tulang mewakili masyarakat mengawasi dan mengontrol pemerintahan sementara mereka juga pening memikirkan isi kantong.

Bisik-Bisik Somasi

Hampir sepekan dipublikasi di media massa cetak, saya mengira isu dilaporkannya wartawan Radar Totabuan, Mawardi Mamonto, SH, telah surut dan ‘’diam-diam dibereskan’’ (sebagai langkah elegan menyelamatkan muka pihak-pihak terkait dan tersebut) di Polsek Urban Kotabunan. Eh, ternyata tidak, bahkan kini melebar dengan ‘’katanya’’ ada rencana yang sedang digodok untuk melayangkan somasi ke saya.

Saya menerima kabar rencana somasi itu pada Rabu sore (9 Mei 2012) dari salah seorang wartawan yang meminta tanggapan lewat BlackBerry Messenger (BBM. Reaksi pertama saya adalah geli dan menyakini rencana itu semata gosip mendinamisasi dinamika sosial dan politik di Boltim. Saya tidak percaya DPR Boltim sebagai institusi dan anggotanya  orang per orang sukarela terjerumus ke lobang yang sama: mengambil tindakan yang keliru dari semua aspek.

Namun rencana itu tampaknya bukan sekadar bise-bise dan spekulasi. Wartawan yang kemudian saya telepon itu bahkan menegaskan, ‘’Info terakhir akan ada rembuk apakah somasi itu dilakukan atau tidak.’’ Cross check yang saya lakukan terhadap beberapa orang di Boltim, meng-amin-kan bahwa apa yang disampaikan itu mengandung kebenaran.

Nah, dengan berprasangka baik, selain memberi pernyataan pada wartawan yang melaksakan kewajiban jurnalistiknya, mengingat keterbatasan ruang di sebuah berita, sebelum DPR Boltim atau anggota-anggotanya (sekali lagi) bertindak gegabah, saya ingin menjelaskan: Pertama, di bagian mana dari tulisan saya yang akan disomasi? Judul yang ‘’kejam’’, Pasal ‘’P’’ DPR ‘’Biongo’’-kah? Kalau ini yang dipermasalahkan, cermati dengan hati-hati sebab ada ratusan DPR kabupaten, provinsi, ditambah DPR RI, di negeri ini.

Kedua, bila yang disoal adalah penggunaan kata ‘’biongo’’, saya kutipkan lagi sebagaimana yang telah dipublikasi: Dengan memahami UU Pers dan fakta-fakta tentang Radar Totabuan dan pemberitaan yang jadi musabab perkara, menurut hemat saya tidak ada satu alasan pun yang masuk akal perihal laporan BK DPR Boltim ke Polsek Urban Kotabunan. Kecuali, DPR Boltim lewat BK-nya, ingin menunjukkan kualitas sejumlah anggotanya memang hanya dapat didefinisikan dengan satu kata: biongo!

Di alinea tersebut saya tidak menuding DPR Boltim, BK DPR Boltim, tetapi ‘’sejumlah anggotanya memang hanya dapat didefinisikan dengan satu kata: biongo!’’ Para ahli hukum tidak akan berdebat bahwa siapa pun yang mengajukan somasi terhadap tulisan saya, pasti bukan DPR atau BK DPR Boltim sebagai institusi; melainkan orang per orang anggota DPR Boltim yang merasa dituding ‘’biongo’’.

Sembari terus menyakini bahwa rencana somasi yang bakal dilayangkan itu sekadar rumor tidak bertanggungjawab, saya menunggu penuh penasaran, adakah anggota DPR Boltim yang bersedia unjuk jari mengakui dirinya ‘’biongo’’. Kalau pun ada, babak berikut pasti seru. Saya akan menolak mencabut tulisan yang jadi pangkal soal, apalagi minta maaf.

Himbauan saya, siapkan saja pikiran, tenaga, dan biaya, karena prosesnya mesti berlangsung di Jakarta (saya menulis dan mengunggah tulisan itu dari rumah di Jakarta Selatan). Siapkan pula ahli hukum, ahli di bidang komunikasi dan jurnalistik, ahli bahasa, bahkan kalau perlu ahli kutukan; karena setelah itu saya pasti balik menggugat pidana dan perdata.***