Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 23, 2012

Motif Culas dan Batas Api (2)

BILA Radar Totabuan menolak, saya akan ke Dewan Pers dan memproses sebagaimana mestinya. Setelah itu, Radar Totabuan sudah berkonsekwensi hukum dengan saya: boleh jadi pidana bekerjasama dengan niat jahat, dapat pula perdata karena ada kerugian-kerugian yang saya derita.

Penulis yang bersembunyi di balik nama A. R. Thomas itu tentu tak berpikir sejauh itu (atau malah tidak punya pikirin). Dia terlalu asyik bersilat, menaut-nautkan potongan-potongan tulisan saya, mencemooh dan mencaci seolah memiliki kesumat terhadap saya pribadi.

Merasa hebat jauh dari arti hebat. Ibaratnya, si penulis itu seperti murid pemula yang setelah berlatih beladiri beberapa bulan, berbekal sejumlah jurus dasar, haqul yakin mampu mengalahkan siapa saja. Begitu naik satu tingkat, dari sabuk putih ke berwarna, kepalanya bahkan nyaris sudah meledak.

Begitu percaya dirinya, dia bahkan berani meminta lawan tanding yang sabuknya tak ketahuan lagi apakah dulu berwarna biru, coklat atau hitam karena saking pudarnya. Modal ‘’merasa’’ membuat tokoh pandir kita ini lupa mengecek: di ujung sabuk berwarna entah apa itu ada delapan strip hitam yang berarti pemiliknya ada di jajaran ‘’maha guru’’.

Tidak perlu kepalan membuat si jumawa ini pingsan. Cukup satu jari telunjuk dan riwayat kejagoannya berakhir dengan nafas buatan.

***

Di hari Radar Totabuan mempublikasi Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1) saya mengirim BlackBerry Messenger (BBM) ke Fahri Damopolii. Isinya implisit bahwa saya tahu siapa penulis artikel atas nama A. R. Thomas. Respons yang saya terima pengakuan tidak tahu-menahu. Bahkan Fahri Damopolii menuliskan kalau dia mengetahui siapa A. R. Thomas, segera akan diinfo.

Menjelang petang, di tengah banyak spekulasi yang dikirim lewat pesan pendek dan BBM, saya menjelaskan ke beberapa orang bahwa A. R. Thomas itu nama fiktif. Tidak ada hubungannya dengan Hinorimus Rafles Thomas, seorang gembala di Tuyat yang namanya tiba-tiba ditemukan dan dihubung-hubungkan dengan artikel itu.

Bukankah tidak adil menduga-duga dan mengaitkan artikel caci-maki itu dengan seorang Pelayan Tuhan hanya karena ada kemiripan antara A. R. Thomas dan H. R. Thomas. Yang membuat saya bergegas memberikan penjelasan karena  spekulasi itu berpotensi dipolitisasi dan akhirnya ada orang tak berdosa yang terkena getah perbuatan seorang pengecut yang berlindung di balik nama alias.

Akan halnya siapa penulis yang jadi tanya-tanya itu, tak sekali pun saya ungkap. Dari mutu artikelnya, setelah beberapa saat orang pasti bakal melupakan. Yang tertinggal adalah penegasan saya, bahwa setiap kritik dan koreksi yang saya tulis berkaitan dengan kepentingan publik bukanlah komoditi dagang atau tawar-menawar politik.

Di luar itu, ketika merespons artikel atas nama A. R. Thomas, saya dengan sadar menuliskan ekspresi kemarahan. Menunjukkan pada yang memprovokasi bahwa saya terpancing dan kalap karena tak berdaya.

Masa kecil saya yang sebagian besar dihabiskan di Jalan Amal banyak diisi kesenangan memancing, baik di kolam milik nenek (dan orang lain hingga pemiliknya memergoki) serta sungai-sungai hingga ke ujung Mongkonai. Kesukaan ini memberi pengalaman setiap jenis ikan menyukai jenis umpan tertentu. Namun di antara semua jenis ikan yang ada di kolam dan sungai, yang paling mudah dipancing adalah lele dan gabus. Apa saya yang dikaitkan ke mata pancing, kudul sekali pun, dengan segera disambar.

Kudul yang diumpankan memang dicaplok. Satu hari setelah O, Cuma Proklamasi Orang-Orang Bermartabat Receh (1) dilansir Radar Totabuan, Fahri Damopolii mengirimkan BBM. O, rupanya idiot ini merasa di atas angin dan lupa diri karena icon dan bahasa yang digunakan memang bertujuan mengolok-olok saya (banyak orang yang menggunakan icon pesan pendek atau BBM seolah itu hanya lambang yang tidak berisi pesan apa pun ke penerimanya).

Sudah waktunya kepala anak kemarin sore dengan kesombongan sok pintarnya ini dikempiskan. Cukup dengan satu kelingking.

***

Siapa Fahri Damopolii ini? Apa pentingnya dia buat saya? Apa pula signifikansinya bagi kemaslahatan Mongondow? Apa yang sudah dikontribusikan hingga saya bersedia mencapek-capekkan diri menulis tentang dia?

Tidak ada, kecuali dia adalah pengawai di Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkot KK yang dikenal dekat dengan Walikota Djelantik Mokodompit dan putranya, anggota DPR Sulut, Razki Mokodompit. Warga KK yang mengikuti dinamika masyarakat kota ini tahu persis hubungan itu, setidaknya tercermin dari keterlibatan Fahri dan sejumlah birokrat yunior KK di event-event atas nama Razki Mokodompit (seolah-olah mereka kekurangan pekerjaan sebagai birokrat).

Dia juga adalah salah seorang pegawai baru yang dengan cepat mendapat promosi di rolling yang baru-baru ini dilaksanakan oleh Walikota KK.

Hal terpenting yang ingin saya tunjukkan dari tulisan ini adalah: Memang ada kelompok berusia muda dan berpendidikan tinggi di Mongondow  yang semestinya punya kesempatan mengambil peran di tengah masyarakatnya, tapi sayangnya secara mental rusak parah; atau sedang menuju kerusakan parah. Penyebabnya adalah kesukaan mereka terhadap politik dan politicking, yang sesungguhnya juga menunjukkan dari sisi kompetensi mereka sebenarnya payah. Modalnya, sebagaimanya yang sering saya tuliskan, cuma lidah dan liur.

Pembuktian terhadap kecenderungan mentalitas rusak itu membawa kita pada pertanyaan: Apa motif di balik tulisan Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1 dan 2)?

Menurut saya setidaknya ada lima hal yang patut diduga menjadi motif tulisan itu. Pertama, ekspresi kritik satu anggota masyarakat terhadap yang lain berkaitan dengan kepentingan umum. Dua, sekadar tunjung pande dan tunjung jago lalu dipercakapkan sebagai olok-olok di belakang punggung karena berhasil mengganggu saya. Tiga, menggunakan tulisan-tulisan saya sebagai alat menyerang Bupati Bolmong dan menjadikan sebagai alat tawar-menawar. Empat, mirip dengan motif ketiga, tetapi lebih politis dan konspiratif, yang tujuan akhirnya menjatuhkan Bupati Bolmong dengan harapan menciptakan efek domino. Dan kelima, sejalan dengan motif keempat, menjadi dagangan ke Walikota KK yang memang kerap berseberangan dengan saya dan menjadi rival politik kelompok yang mendukung Bupati Bolmong.(Bersambung)