Penulis yang bersembunyi di balik nama A. R. Thomas itu
tentu tak berpikir sejauh itu (atau malah tidak punya pikirin). Dia terlalu
asyik bersilat, menaut-nautkan potongan-potongan tulisan saya, mencemooh dan
mencaci seolah memiliki kesumat terhadap saya pribadi.
Merasa hebat jauh dari arti hebat. Ibaratnya, si penulis itu
seperti murid pemula yang setelah berlatih beladiri beberapa bulan, berbekal sejumlah
jurus dasar, haqul yakin mampu
mengalahkan siapa saja. Begitu naik satu tingkat, dari sabuk putih ke berwarna,
kepalanya bahkan nyaris sudah meledak.
Begitu percaya dirinya, dia bahkan berani meminta lawan
tanding yang sabuknya tak ketahuan lagi apakah dulu berwarna biru, coklat atau
hitam karena saking pudarnya. Modal ‘’merasa’’ membuat tokoh pandir kita ini
lupa mengecek: di ujung sabuk berwarna entah apa itu ada delapan strip hitam yang berarti pemiliknya ada
di jajaran ‘’maha guru’’.
Tidak perlu kepalan membuat si jumawa ini pingsan. Cukup
satu jari telunjuk dan riwayat kejagoannya berakhir dengan nafas buatan.
***
Di hari Radar Totabuan
mempublikasi Metamorfosis Katamsi ke
Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1) saya
mengirim BlackBerry Messenger (BBM)
ke Fahri Damopolii. Isinya implisit bahwa saya tahu siapa penulis artikel atas
nama A. R. Thomas. Respons yang saya terima pengakuan tidak tahu-menahu. Bahkan
Fahri Damopolii menuliskan kalau dia mengetahui siapa A. R. Thomas, segera akan
diinfo.
Menjelang petang, di tengah banyak spekulasi yang dikirim
lewat pesan pendek dan BBM, saya menjelaskan ke beberapa orang bahwa A. R.
Thomas itu nama fiktif. Tidak ada hubungannya dengan Hinorimus Rafles Thomas,
seorang gembala di Tuyat yang namanya tiba-tiba ditemukan dan
dihubung-hubungkan dengan artikel itu.
Bukankah tidak adil menduga-duga dan mengaitkan artikel
caci-maki itu dengan seorang Pelayan Tuhan hanya karena ada kemiripan antara A.
R. Thomas dan H. R. Thomas. Yang membuat saya bergegas memberikan penjelasan
karena spekulasi itu berpotensi dipolitisasi
dan akhirnya ada orang tak berdosa yang terkena getah perbuatan seorang
pengecut yang berlindung di balik nama alias.
Akan halnya siapa penulis yang jadi tanya-tanya itu, tak
sekali pun saya ungkap. Dari mutu artikelnya, setelah beberapa saat orang pasti
bakal melupakan. Yang tertinggal adalah penegasan saya, bahwa setiap kritik dan
koreksi yang saya tulis berkaitan dengan kepentingan publik bukanlah komoditi
dagang atau tawar-menawar politik.
Di luar itu, ketika merespons artikel atas nama A. R.
Thomas, saya dengan sadar menuliskan ekspresi kemarahan. Menunjukkan pada yang
memprovokasi bahwa saya terpancing dan kalap karena tak berdaya.
Masa kecil saya yang sebagian besar dihabiskan di Jalan Amal
banyak diisi kesenangan memancing, baik di kolam milik nenek (dan orang lain hingga
pemiliknya memergoki) serta sungai-sungai hingga ke ujung Mongkonai. Kesukaan
ini memberi pengalaman setiap jenis ikan menyukai jenis umpan tertentu. Namun
di antara semua jenis ikan yang ada di kolam dan sungai, yang paling mudah
dipancing adalah lele dan gabus. Apa saya yang dikaitkan ke mata pancing, kudul sekali pun, dengan segera
disambar.
Kudul yang diumpankan
memang dicaplok. Satu hari setelah O,
Cuma Proklamasi Orang-Orang Bermartabat Receh (1) dilansir Radar Totabuan,
Fahri Damopolii mengirimkan BBM. O, rupanya idiot ini merasa di atas angin dan lupa
diri karena icon dan bahasa yang
digunakan memang bertujuan mengolok-olok saya (banyak orang yang menggunakan icon pesan pendek atau BBM seolah itu
hanya lambang yang tidak berisi pesan apa pun ke penerimanya).
Sudah waktunya kepala anak kemarin sore dengan kesombongan sok
pintarnya ini dikempiskan. Cukup dengan satu kelingking.
***
Siapa Fahri Damopolii ini? Apa pentingnya dia buat saya? Apa
pula signifikansinya bagi kemaslahatan Mongondow? Apa yang sudah
dikontribusikan hingga saya bersedia mencapek-capekkan diri menulis tentang
dia?
Tidak ada, kecuali dia adalah pengawai di Bagian Hubungan
Masyarakat (Humas) Pemkot KK yang dikenal dekat dengan Walikota Djelantik
Mokodompit dan putranya, anggota DPR Sulut, Razki Mokodompit. Warga KK yang
mengikuti dinamika masyarakat kota ini tahu persis hubungan itu, setidaknya
tercermin dari keterlibatan Fahri dan sejumlah birokrat yunior KK di event-event atas nama Razki Mokodompit
(seolah-olah mereka kekurangan pekerjaan sebagai birokrat).
Dia juga adalah salah seorang pegawai baru yang dengan cepat
mendapat promosi di rolling yang
baru-baru ini dilaksanakan oleh Walikota KK.
Hal terpenting yang ingin saya tunjukkan dari tulisan ini adalah:
Memang ada kelompok berusia muda dan berpendidikan tinggi di Mongondow yang semestinya punya kesempatan mengambil
peran di tengah masyarakatnya, tapi sayangnya secara mental rusak parah; atau
sedang menuju kerusakan parah. Penyebabnya adalah kesukaan mereka terhadap
politik dan politicking, yang
sesungguhnya juga menunjukkan dari sisi kompetensi mereka sebenarnya payah.
Modalnya, sebagaimanya yang sering saya tuliskan, cuma lidah dan liur.
Pembuktian terhadap kecenderungan mentalitas rusak itu
membawa kita pada pertanyaan: Apa motif di balik tulisan Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1 dan 2)?
Menurut saya setidaknya ada lima hal yang patut diduga
menjadi motif tulisan itu. Pertama, ekspresi
kritik satu anggota masyarakat terhadap yang lain berkaitan dengan kepentingan
umum. Dua, sekadar tunjung pande dan tunjung jago lalu dipercakapkan sebagai olok-olok di belakang punggung
karena berhasil mengganggu saya. Tiga,
menggunakan tulisan-tulisan saya sebagai alat menyerang Bupati Bolmong dan
menjadikan sebagai alat tawar-menawar. Empat,
mirip dengan motif ketiga, tetapi lebih politis dan konspiratif, yang tujuan
akhirnya menjatuhkan Bupati Bolmong dengan harapan menciptakan efek domino. Dan
kelima, sejalan dengan motif keempat,
menjadi dagangan ke Walikota KK yang memang kerap berseberangan dengan saya dan
menjadi rival politik kelompok yang mendukung Bupati Bolmong.(Bersambung)