Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 9, 2012

Horor-Horor Staf Sespri Bupati Bolmong (1)

HUJAN mengguyur Jakarta, Senin pagi (7 Mei 2012), ketika saya terjaga. Awal pekan selalu melelahkan. Secangkir kopi dan browsing berita menjadi pembuka yang semestinya mengasyikkan.

Ternyata tidak. Ada banyak pesan pendek dan BlackBerry Messenger (BBM) yang menderas masuk ke dua nomor selular saya. Rata-rata menanyakan ada apa hingga saya menulis Surat untuk Bupati Bolmong: Dibaca atau Tidak, Tidak Masalah. Selain itu, sebagian besar bersetuju memang ada orang yang kini menempatkan diri dekat dengan Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, secara terus-menerus membuat kerusakan yang menjurus ke penghancuran mekanisme, sistem, tata cara dan etika normatif yang semestinya melekat pada seorang Bupati.

Mengusung Bangkai

Perilaku menghancurkan seperti itu sangat saya ketahui. Yang seperti itulah yang saya kritik bertahun-tahun di masa pemerintahan Bupati Marlina Moha-Siahaan. Di akhir masa jabatannya, saya menangkap ada kesadaran lewat sejumlah perubahan besar, termasuk menyingkirkan beberapa orang yang kelakuannya sangat destruktif, yang hanya ‘’asal Bunda senang’’.

Hebatnya, menusia jenis berbahaya yang ‘’asal bapak atau ibu senang’’ adalah kegigihannya mencari celah mendekat ke kekuasaan. Mereka juga pintar menunjukkan seolah-olah mengabdi dengan tulus, padahal sesungguhnya terus-menerus memanfaatkan kedekatan itu secara abusive.

Setelah Salihi Mokodongan terpilih sebagai Bupati Bolmong di Pilkada 2011 lalu, salah seorang diantaranya yang saya amati dengan saksama adalah Linda Lahamesang. Secara pribadi saya tidak punya persoalan dengan yang bersangkutan, yang saya kenal sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Kotamobagu.

Ihwal Linda Lahamesang ini, jauh hari sebelumnya sudah dimulai ketika mengkritik tata cara sholat Idul Fitri Bupati Marlina Moha-Siahaan pada 2008 (sebagian pembaca blog ini pasti ingat peristiwa itu karena sempat menjadi polemik panjang di media massa cetak terbitan Manado). Perempuan yang memayungi Bupati Marlina selama sholat Idul Fitri berlangsung, yang fotonya kemudian dipublikasi sejumlah media, tak lain Linda Lahamesang.

Lama kemudian saya tak mengetahui sepak-terjangnya. Yang saya tahu dia dipindahkan menjadi Sekretaris Kecamatan (Lolak), lalu di era Pejabat Bupati Gun Lapadengan lewat nota dinas perbantukan ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD) hingga ada keputusan lebih lanjut. Apa artinya? Bagi kalangan birokrat itu menunjukkan yang bersangkutan sedang bermasalah hingga harus ‘’dibina’’ dan ditertibkan setertib-tertibnya.

Yang mengundang kewaspadaan saya lagi karena tiba-tiba dia ada di sekitar Ibu Bupati terpilih. Padahal, setengah penduduk Bolmong tahu persis, dialah yang menjadi salah satu sumber olok-olok penghinaan terhadap Salihi Mokodongan di masa pencalonan Bupati-Wabup Bolmong, seperti plesetan SBM sebagai ‘’Salihi Belajar Membaca.’’

Begitu dekat, di beberapa kesempatan dia bahkan show of force seolah-olah sudah punya hubungan sangat dekat sejak berabad-abad. Diawali dengan menemani ke pesta dan hajatan, menjadi tukang payung dan tukang kipas (supaya Ibu Bupati terpilih tidak terpapar terik matahari dan kegerahan), atau menjaga agar dandanan Ibu Bupati tetap sempurna –termasuk mempertunjukkan di depan umum bagaimana dia mengelap bintik-bintik keringat dengan tisu.(Bersambung)